Bab 16 Marahan

5.5K 808 340
                                    

Cuaca berawan menutupi langit pesantren, menyembunyikan bias cahaya mentari di balik kabutnya. Begitupun senyum yang tadinya secerah mentari kini sudah lenyap berganti aura suram yang begitu menakutkan.

Tangan kekar lelaki itu terkepal erat sampai kuku-kukunya memutih, rahangnya mengeras akibat menahan letupan amarah yang tiba-tiba meledak dalam dadanya. Irham tahu, dan sangat paham perasaan gadis itu bukan untuknya. Tapi, kenapa? Kenapa harus diam saja ketika tubuhnya bersentuhan dengan tubuh pria lain? Apa dia pacarnya?

Tidak tahan melihat adegan pelukan itu Gus Irham menutup jendela serta gorden dengan kasar.

"Tidak tahu malu sekali mereka! Berani-beraninya pelukan di area pesantren. Mau cari mati itu bocah?" Sambil berjalan ke lantai dasar lelaki itu tidak berhenti berdumel. Ingin sekali menyeret gadis itu sekarang juga.

"Cil, bangun cil. Gantian sekali-kali Aa' mau liat sinetron. Biar tahu caranya ngatasin perebut bini orang!" Gus Irham memaksa duduk di sofa panjang tempat Adzkia tiduran, padahal tempat itu sudah sempit. Gadis itu sampai terjatuh ke lantai.

"Aa' apaan sih? Ganggu aja! Tadi senyum-senyum gak jelas, sekarang marah-marah. Aa' sehat? Perlu Kia masukin rumah sakit jiwa, gak?" kesal Adzkia.

"Hush, durhaka sekali lisannya, cil." Irham merebut remot di tangan adiknya, hingga gadis itu berdecak kesal.

Karena Adzkia sedang tidak ingin beradebat, bertengkar, atau apapun itu akhirnya ia mengalah dan duduk di sofa tunggal sambil menikmati camilan kacang kulit di atas meja. Namun bukannya menonton televisi dengan tenang, ia malah di dera pusing. Bagaimana tidak? Sang kakak hanya menggonta-ganti saluran berkali-kali. "Aa' mau nonton gak sih? Heran dah," protes Adzkia tidak ditanggapi sama sekali.

"Hish!" Irham melempar remot ke atas meja.

Adzkia yang sudah bersandar pada sandaran sofa terlonjak kaget.

"Apa-apaan itu tadi! Berani sekali lelaki itu memeluk istri orang! Gadis itu juga, kenapa pasrah sekali dipeluk pria lain? Apa ada yang kurang dari suaminya?" omelnya tidak jelas sambil menunjuk-nunjuk permukaan layar televisi.

Adzkia mengerutkan kening, bingung sekaligus heran. Siapa yang kakaknya maksud? Pasalnya yang terpampang di televisi saat ini adalah kartun bocah kembar gundul yang berasal dari Negeri Jiran.

Apa yang kakaknya maksud kak Ros? Ah, tapi tidak mungkin. Kak Ros kan masih jomlo.

"Ck, apa saja yang dilakukan gadis itu? Lama sekali." Irham kembali bergerutu. "Cil, cepat seret perempuan itu masuk," suruhnya pada Adzkia sembari mengambil kembali remot di meja.

Yang di suruh menyatukan alisnya bingung. Siapa yang kakaknya maksud? "A' ngomong yang jelas. Siapa maksud Aa'?"

Seakan tersadar. "Hah? Tidak. Bukan siapa-siapa. Sudahlah." Irham merebahkan tubuhnya di sofa. Terdiam untuk waktu yang lumayan lama. Bisa-bisanya dia menandatangani perjanjian bodoh yang gadis itu buat. Kalau begini kan Irham tidak bisa leluasa mengklaim dia itu miliknya. Sial!

Pletak!

"Astaghfirullahalazim," kaget Adzkia ketika remot di lempar lagi ke meja. "Aa' kaget tau! Lagi kenapa coba? Aneh."

"Tidak bisa dibiarkan. Aku harus berbuat sesuatu." Irham bangun dari sofa lalu berlari ke kamar.

Adzkia yang menyaksikan tingkah aneh kakaknya hanya bisa melongo. Apalagi tak lama dari itu Gus Irham keluar lagi dari kamar dengan pakaian rapi. Kakak keduanya itu mengenakan kemeja putih, peci putih, sarung hitam, tak lupa sorban kotak-kotak abu-putih yang disampirkan di bahu kanannya.

"A' mau ngajar apa mau tebar pesona?" ledek Kia.

"Mau tauran. Puas!" Lalu melenggang pergi.

***

Pangeran Pesantren [New Version]Where stories live. Discover now