♪⁸

6.9K 692 132
                                    

*+:。.。 HAPPY READING。.。:+*







Entah apa yang ada dipikiran ketiga keturunan Laurencius berbeda generasi itu. Wajah tegas yang kentara nampak khawatir menjadi salah satu hal tak wajar untuk sosok iblis hitam seperti mereka.

Ada setitik rasa khawatir saat melihat bocah lugu yang mereka tolak hadirnya tampak begitu polos saat ini. Aliran darah dari hidung sedari tiga menit lalu belum menandakan ada tanda-tanda untuk berhenti.

Dengan santainya Yelo membuka baju, mempertontonkan tubuh ringkih penuh luka itu. Mulai dari lebam, cambukan, serta sundutan rokok yang entah bagaimana bocah itu dapatkan. Yelo mengelap lantai yang kotor oleh darah miliknya dengan baju. Menatap lugu ketiga pria yang menatapnya.

"Maaf lantainya kotor, nanti Yelo pel kok," katanya merasa bersalah. Salah satu tangan kecil berada di antara hidung dan mulutnya, berusaha meminimalisir darah yang menetes. Padahal, cairan merah kental itu sudah mengalir melewati sela-sela jari si kecil.

Faustin yang melihat itu segera mengangkat tubuh Yelo ke gendongannya. Ia memeluk erat dengan pandangan kosong. Tiba-tiba kilas masa lalu tentang mendiang mama nya tergambar jelas oleh ingatannya. Faustin merasa de javu.

Perasaan resah akan kehilangan tiba-tiba singgah saat wajah pucat Yelo masih bisa merekahkan senyum polos. Seolah keadaan yang menimpa hanya hal biasa. Yelo seolah merasa baik saja, dan Faustin tak suka.

"Baju Utin kotor, jangan dekat-dekat." Yelo berusaha menjauhkan wajahnya dari dada bidang Faustin. Namun, pemuda itu menekan kepala Yelo agar terus bersandar.

Ia berjalan menjauh dari sana menuju garasi. Berniat membawa Yelo ke rumah sakit. Sebelum tarikan kuat dari Carlos membuat tubuh nya hampir terhuyung. Beruntung Faustin memiliki reflek yang baik.

"Lepas. Anak ini harus segera di tangani," tekan Faustin menyorot tajam.

Carlos tak mengacuhkan ucapan Faustin. Ia merebut kasar tubuh Yelo, kemudian berlalu meninggalkan kedua putra kandungnya. Berjalan dengan langkah panjang menuju suatu ruangan. Membuat seruan tak terima dari Faustin terdengar dari belakang.

Sedangkan Lonnie masih terdiam. Berusaha mencerna situasi tentang keadaan Yelo saat ini. Bukan, ia bukan peduli, Lonnie hanya simpati. Sedikit. Bagaimana pun ia tak mungkin dengan mudah menerima Yelo di sini.

Namun, mengapa hatinya sesak melihat tubuh kecil itu terluka. Wajah pucat nya yang tak berdaya masih berusaha terlihat baik-baik saja membuat Lonnie merasa tak suka. Padahal, bukankah seharusnya ia senang bahwa anak yang menjadi sebab dari hancurnya keluarganya menderita.

Sorot matanya menatap Faustin dan Carlos yang berdebat. Bocah yang berada di gendongan Carlos nampak pasrah. Entah karena tubuhnya yang tak berdaya atau bagaimana. Yelo juga masih berusaha menyeka darah dari hidungnya.

Hingga tanpa sengaja, keduanya saling bertukar pandang.  Binar polos Yelo terfokus pada Lonnie yang menatap tajam. Sebelum perlahan, netra bulat itu mulai sayu. Kepalanya mulai menyender lemas pada bahu lebar Carlos. Hingga di beberapa detik selanjutnya mata Yelo mulai tertutup rapat.

***

"Bukankah lebih baik Papa bawa ke rumah sakit?" Faustin bertanya cemas pada Carlos yang tengah memeriksa keadaan Yelo.

Yelo Where stories live. Discover now