♪¹⁶

4.1K 644 56
                                    

*+:。.。HAPPY READING。.。:+*
























"Di sini suka sakit, ya?"

Felipe bertanya pelan. Menunjuk pinggang Yelo. Titik dimana dia yakini sering menganggu adik bungsunya.

Kini Yelo sudah dia baringkan di ranjang. Hari sudah malam, tapi Yelo belum terlelap. Felipe pun dengan senang hati menemani. Dia belum ada gairah untuk menginjakkan kaki di rumah. Sedangkan Lonnie dan Faustin dia paksa pulang. Di sini pun hanya menganggu si pasien kecil.

"Ko tau? Elip kaya dukun jadinya." Yelo sok tau.

Felipe terkekeh pelan tapi terdengar hambar. Dia berniat menggenggam tangan kecil Yelo, tapi si empu malah menarik tangannya. Tidak seperti tadi, Yelo kini enggan dan kembali menolak perlakuan yang dia beri.

"Kata dokter di sini sakit, badan adek lagi nakal. Ada monster yang lagi rusak organ di dalam tubuh adek. Jadi, secepat mungkin harus diobatin." Felipe menjeda sejenak. Kedua tangannya meremat kuat. Dia ingin menggenggam kedua tangan dingin Yelo, tapi tidak ingin memaksa.

"Kita obatin ya?"

"Engga." Tanpa ragu Yelo menolak. Wajahnya datar seolah tidak terkejut. Yelo tidak terlalu paham walau Felipe sudah menjelaskan dengan bahasa yang sangat mudah dipahami. Yelo tahu dia sakit, tapi rasanya dari dulu memang dia terus merasa sakit di tubuhnya. Bukan hanya saat Yelo datang menjadi salah satu itik Carlos.

Entah sakit karena tidak makan. Sakit di pukul preman yang memalak uang. Sakit karena tidak sengaja di serempet saat mengamen di lampu merah. Dan sakit di hati saat omongan orang mencaci makin juga memandang jijik dirinya. Yelo sudah terbiasa.

"Kenapa?" Felipe tentu terkejut. Kedua matanya terasa memanas. Sungguh, dia sangat ingin merengkuh tubuh kurus Yelo. Tapi tidak bisa. Entah kenapa.

"Memang apa yang harus diobati. Yelo oke ko, Yelo ga mau nanti punya hutang sama Elip. Yelo ga punya apa-apa, Yelo juga ga punya siapa-siapa yang mau bantu bayarin kalau Yelo punya hutang. Jadi Yelo gamau," jelasnya sambil menggeleng kepala.

Bibir bawah Felipe dia gigit kuat. Tarikan napasnya panjang dan bergetar. Dadanya terasa ada yang menggores dalam. Kenapa sih Yelo selalu membuatnya seperti ini disetiap tutur kata nya yang begitu lugu. Seolah menampar telak bagaiamana bajingannya dia dan keluarga memperlakukan Yelo sebagai orang asing.

"Elip kan kakak Yelo, keluarga Yelo. Jadi, ga ada namanya hutang antar saudara. Uang Elip uang Yelo juga." Felipe tetap berusaha membujuk. Dia tersenyum lembut. Sorot matanya nampak begitu memohon.

"Iya, Yelo tahu kok Elip keluarga Yelo. Utin sama ani-ani juga. Calos Papa Yelo kan? Yelo tahu, Elip~"

Felipe langsung mengangguk. "Iyaa, kita keluarga," ucapnya terdengar haru. Reflek dia genggam tangan Yelo. "Kita keluarga, jangan berfikir kamu orang asing, dek."

Namun, Yelo menggeleng di akhir kalimat Elip. Membuat senyum laki-laki 20 tahun luntur.

"Tetep aja Yelo orang asing. Emangnya karena kita keluarga terus tiba-tiba Yelo yang sebelumnya orang jalanan masuk ke keluarga Elip, Yelo jadi engga asing lagi ya?" Bola mata Yelo bergulir ke atas. Berfikir keras. Sungguh dia tidak paham dengan konsep dari keluarga.

Yelo tidak tau. Yelo terbiasa hidup sendiri. Semua yang datang kepadanya akan pergi. Yelo terbiasa. Dia sudah biasa dengan hidup seperti itu.

"Dek...." panggil Felipe lirih. Air mata yang dia tahan sedari tadi akhirnya tidak bisa dibendung lagi. Dia menjadi sosok cengeng jika berhadapan dengan bocah ini. Persis seperti dulu bersama mendiang mamanya. Sosok Felipe yang keras dan angkuh akan hilang entah kemana. Hanya ada sosok rapuh dan hangatnya.

Yelo Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang