Dua

16.2K 4.3K 205
                                    

“Jadi anak SMA enak nggak sih, Mas?” tanya Magnolia di suatu malam sebelum Dimas hendak berangkat ke rumah Malik untuk belajar bersama. Saat itu Magnolia duduk di kelas delapan dan beberapa bulan lagi dia akan menjadi murid kelas sembilan, sedangkan Dimas duduk di kelas sebelas. Kesempatan ngobrol berdua seperti ini amat jarang terjadi. Sang abang selalu sibuk belajar, ikut les tambahan, atau seperti sekarang, belajar bersama Malik demi mencapai tujuannya, menjadi mahasiswa fakultas kedokteran.

“Enak, lah. Kenangan paling indah masa sekolah itu adanya di masa SMA. Ngapain lo tanya-tanya?PR udah? Jangan ngecengin Malik terus.”

Dimas saat itu sedang memakai jaket kesayangannya yang berwarna putih sementara Magnolia sendiri sedang berdiri di depan teras yang diberi penerangan seadanya. Mama beralasan mereka butuh berhemat dan memasang lampu dengan watt besar adalah sebuah pemborosan. Tapi, Magnolia tahu bukan itu. Mama sengaja melakukannya supaya Magnolia tidak sering-sering nongkrong di teras. Bila suasana teras tidak nyaman, putri tirinya pastilah tidak betah dan bakal mengurung diri di dalam kamarnya.

Mama akan senang karena hal tersebut berarti dia tidak bakal sering-sering melihat wajah Magnolia. 

“Gue suka dia, kok.” Magnolia membalas tanpa malu dan mengabaikan usianya yang baru empat belas sehingga Dimas hanya mampu menggelengkan kepala, “Belajar yang giat, baru boleh naksir orang. Kalo lo pinter, juara terus, cowok mana aja bakal antre deketin.”

Dimas tahu, Magnolia akan selalu menuruti kata-katanya. Akan tetapi, khusus kasus Malik, dia tidak pernah dituruti. Malik sudah seperti sebuah obsesi yang bisa membuat Magnolia yang pendiam jadi agresif dan sedikit menyebalkan.

"Idih, itu, mah, mereka antre buat minta dikasih contekan PR atau ulangan." Magnolia berkilah hingga membuat Malik terkekeh mendengarnya.

“Selain lo, dia yang paling gue sayang. Tapi, gue tahu diri, Mas. Malik Galih Kencana nggak bakalan mau noleh ke arah gue, udah jelek, anak haram lagi. Memangnya lo pikir gue nggak bakal diketawain sama kalian semua karena nggak tahu diri…”

Magnolia berhenti bicara karena Dimas yang sebelum ini sedang mengancingkan resleting jaket segera meremas kedua lengan Magnolia kuat-kuat.

“Berhenti bilang lo anak haram. Lo adek gue.”

Wajah Dimas menyiratkan kemarahan yang tidak dia sembunyikan sama sekali. Dadanya berdebar amat kencang dan matanya berkilat tanda tidak suka mendengar apa yang baru saja keluar dari bibir adik kandungnya tersebut. Sementara, Magnolia sendiri menoleh ke arah sekeliling sebelum dia membentuk isyarat telunjuk di ujung jari supaya Dimas tidak mengeraskan suara.

“Awas, nanti Mama dengar. Dia nggak bakalan suka.” Magnolia mengedipkan kelopak mata kanannya lalu berjalan mundur sambil berusaha melepaskan tangan abangnya.

“Titip salam, ya, buat Bang Malik. Malam ini gue juga mau belajar walau nggak tahu buat apa gue belajar, toh, jualan di pasar bisa dapet duit banyak, sih. Tapi, gue milih terus sekolah karena lo yang minta walaupun sekolah nggak lagi asyik. Nggak ada kalian berdua dan Keke selalu jutek kalau lihat gue.”

Meski disatukan oleh darah yang sama, Kezia tidak sepemaaf Dimas. Seperti sang ibu, Kezia tidak lagi menyayangi Magnolia seperti dulu. Dia malah menyalahkan kehadiran adik bungsunya sebagai penyebab kehancuran keluarga mereka. 

Untunglah, hanya Mama dan Kezia yang menganggapnya berbeda. Orang tua Malik dan tetangga mereka yang lain selalu memandang Magnolia seperti dirinya yang biasa. Bahkan, Laura Hasjim tidak pernah memarahi Magnolia sekalipun gadis remaja berambut sepunggung tersebut secara terang-terangan naksir putranya.

Malik Galih Kencana yang berusia enam belas tahun adalah bocah yang amat cemerlang. Wajahnya tampan dan alis matanya tebal. Rambutnya lebat dan kulitnya bersih. Hidungnya mancung dan simetris. Malik memiliki bibir berwarna kemerahan dan barisan gigi rapi yang selalu membuat Magnolia terpesona bila dia tersenyum. Tapi, tidak hanya Magnolia. Di kampung dan di sekolah, Malik bisa dikatakan seorang idola. Karena itu juga, Laura Hasjim tidak terlalu terkejut melihat Magnolia begitu terobsesi kepada putranya. 

"Cuma perasaan lo aja." Dimas bangkit karena didengarnya sebuah panggilan dari arah pagar. Baik dirinya dan Magnolia kemudian bergegas menuju sang sumber suara. Malik sudah berdiri di sana, menunggu sahabatnya. Begitu melihat wajah Magnolia dari balik punggung Dimas, Malik kemudian mengunci bibirnya rapat-rapat dan segera berbalik menuju rumahnya tanpa banyak bicara.

"Bang Malik, udah makan belom?" Magnolia melonjak-lonjak sembari melambaikan tangan dengan harapan mendapatkan balasan. Tapi, sebenarnya dia tahu, Malik tidak bakal memberi jawaban. Bocah tampan tersebut selalu bersikap seperti itu sekalipun Dimas adalah sahabatnya. 

"Berisik. Masuk sana. Belajar biar pinter!" Dimas mengibas-ngibaskan tangan kanan berusaha menghalau adiknya saat dia menutup pintu pagar. Rambut kuncir kuda Magnolia bergoyang sewaktu dia menggeleng, akan tetapi, tatapan Dimas yang menyuruhnya berhenti bersikap konyol pada akhirnya membuatnya diam dan hanya bisa menyunggingkan senyum lebar sampai bayangan abangnya dan Malik menghilang ke teras rumah keluarga Hasjim.

"Dadah Bang Malik. Titip Mamas, ya. Kalau bandel, jewer aja." seru Magnolia untuk terakhir kali sebelum Malik benar-benar menutup pintu rumah dan membiarkan fans setianya memandangi rumah tetangganya dalam diam selama beberapa detik. 

Tidak butuh waktu lama, Magnolia kemudian menghela napas dan memperhatikan pintu rumah mereka yang baru beberapa detik lalu dikunci oleh Kezia. Dia tidak protes karena kamarnya sendiri berada di luar rumah, sebuah bekas warung yang kemudian tidak lagi dipakai Mama untuk berjualan beberapa tahun lalu. Magnolia resmi tinggal di sana dua hari setelah Papa dimakamkan karena Mama menolak berada di dalam satu ruangan yang sama dengan dirinya. 

Hal tersebut juga sempat membuat Dimas amat kecewa kepada ibunya, akan tetapi, dia tidak bisa banyak berontak. Bagaimanapun juga, dia masih butuh sokongan dana dari ibunya agar bisa terus melanjutkan sekolah.

"Jangan pikirin Yaya. Ada langit dan bulan jadi teman kalau kesepian. Lagipula, keliling terminal, bawa termos dan kopi saset lumayan nambah duit."

Dia tidak perlu merasa khawatir kena marah Mama karena pulang larut malam, tidak peduli dirinya masih seorang remaja yang seharusnya berada di rumah. Untunglah, usai belajar bersama dengan Malik, Dimas bakal menyusulnya ke terminal lalu mengajak Magnolia pulang bersama. Sebagai ucapan terima kasih, sang adik selalu membelikan makanan untuk menghangatkan perut mereka yang kadang keroncongan menjelang tengah malam. 

Meski berbeda ibu, mereka tetap saudara dan Dimas tidak pernah bisa membiarkan si bungsu sendirian. Dia terlalu sayang kepada saudarinya melebihi nyawanya sendiri dan dia telah berjanji kepada Papa untuk selalu membuat Magnolia tetap berada di rumah.

 Walau bertahun-tahun kemudian, dia harus merelakan adiknya pergi demi menjauh dari semua orang yang dia cintai.

    ***

(Unpub Acak )Ketika Cinta Lewat Depan RumahmuWhere stories live. Discover now