Empat

14.8K 4.2K 197
                                    

"Bentar lagi. Pasar masih rame, ih." Magnolia menguap sekali lagi. Dia benar-benar mengantuk. Akan tetapi, dirinya masih yakin bakal ada yang membeli sisa dagangannya. 

"Rame-rame, dari belah mana?" Jajang mengoceh, "Lo jalan sampe sempoyongan gitu. Abang lo mana? Biasanya dia suka lewat jam segini."

Jajang dan Dimas punya sifat bagai anak kembar jika sudah membahas soal Magnolia. Walau yang satu adalah anak rumahan dan yang lainnya anak jalanan, tapi, keduanya bakal ribut bila melihat kondisi Magnolia berbeda dibanding dirinya yang biasa. Lagipula, kenapa, sih mereka mesti ribut dan menyuruhnya pulang? Seolah Magnolia adalah anak lemah yang tidak tahu cara menjaga diri.

"Pulang, dah." Jajang menyuruh lagi. Khawatir dengan kondisi Magnolia. Tapi, yang punya badan memilih menggeleng.

"Tanggung. Habis Magrib gue jualan ke terminal. Udah bawa termos sama kopi. Lo mau?" Magnolia menunjuk ke arah bawah pohon seri, tidak jauh dari tempat mereka saat ini berada. Dia tidak mau pulang karena sudah berencana melanjutkan ke terminal jualan usai pasar sepi.

"Astaga. Kata lo lagi ulangan. Bukannya belajar malah jualan."

Magnolia menggaruk rambut tepat saat dagangannya ditolak oleh seorang wanita berbadan montok dengan lipstik merah menyala.

"Nggak guna gue sekolah. Ngabisin duit. Ujung-ujungnya, pas tamat gue tetap jualan kain lap sama kopi. Mending gue jualan kayak gini. Eh, gue lagi ngumpulin modal biar bisa jualan cabe kayak Bang Beni. Laris banget dianya." 

Jajang menoleh ke arah lapak cabai milik Beni, seorang pedagang yang lumayan akrab dengan mereka. Beni juga sering mengajari Magnolia cara berdagang dan tidak jarang meminta Magnolia menggantikannya bila Beni berhalangan.

"Ambil di pasar induk. Mayan loh untungnya. Laku sekilo, untung lima ribu. Kalau belinya eceran, lebih lagi."

"Kacau ini bocah." ujar Jajang. Baru sekali ini dia melihat anak perempuan berusia lima belas nekat memilih menjadi pedagang cabai untuk bertahan hidup. Magnolia sudah bercerita kepada Jajang tentang statusnya di dalam keluarga. Dia bersimpati, namun tidak bisa berbuat banyak. Dirinya sendiri juga bernasib mirip. Bedanya, Jajang terpaksa kabur dari kampung karena tidak tahan hidup bersama keluarganya yang kerap mengatur. 

"Sirik aja lo." Magnolia menjulurkan lidah. Di saat yang sama, Jajang melihat sosok Dimas, kakak laki-laki gadis itu berdiri di sudut jalan, memperhatikan adiknya dalam diam. Selang beberapa detik, Dimas yang saat itu ditemani oleh bocah sebayanya, yang Jajang tahu adalah sahabatnya alias gebetan Magnolia, melambai memanggil adiknya. 

"Noh, balik. Dicariin ama mandor lo." Jajang menoel bahu Magnolia. Gadis manis berlesung pipi tersebut menoleh ke arah Dimas dan terlonjak girang karena melihat kehadiran Malik di sebelah sang abang.

Tanpa pamit, dia berlari meninggalkan Jajang dan menyongsong dua bocah lelaki tersebut.

"Iiih, ada Abang. Sengaja ke sini jemput Yaya, ya?"

Padahal tadi Jajang melihat dengan mata kepala begitu lesu dan tidak bersemangatnya gadis itu dan sinar matanya benar-benar redup ketika membahas soal dia yang tidak berniat melanjutkan sekolah. Kini, di menit yang berbeda, dia nampak berubah. Seolah habis kena charge menggunakan kabel paling mahal di dunia. 

Sayangnya, kabel charger super tampan yang saat ini sedang memandangi bocah tetangga yang super centil itu, tidak tahu sama sekali, suatu hari dialah yang menjadi penyebab Magnolia memutuskan untuk pergi.

***

Wajah Dimas agak sedikit cemas saat melihat adiknya berjalan dengan wajah amat ceria menuju ke arahnya. Dia tahu jelas alasan adiknya jadi seperti itu. Kehadiran Malik yang kini sedang duduk memegang stang motor matik berwarna biru tua miliknya telah membuat si gadis penjual lap dapur menjadi amat ceria. Magnolia bahkan tidak malu sama sekali walau saat ini, di bahu kanan dan kirinya tersampir beberapa lap kotak-kotak bergaris biru, hijau, merah, dan hitam, yang memang menjadi dagangannya hari itu.

"Abang kangen, ya, ama Yaya makanya mampir?"

Dimas yang sudah berdiri di samping motor segera menjitak kepala adiknya, "Sembarangan aja kalau ngomong. Gue yang minta tolong sama Malik buat nganterin gue ke sini, mastiin lo udah balik. Taunya masih jualan. Ayo balik." 

Magnolia mengusap pelipis kanannya. Walau Dimas cuma main-main, jitakannya tetap saja kuat, "Males, ah, balik. Mau lanjut ke terminal abis ini. Lo nggak usah jemput, gue bawa sepeda."

Magnolia menunjuk ke arah batang pohon tempat dia memarkirkan sepedanya. Karena itu juga pandangan Dimas tertuju ke arah sepeda adiknya dan dia menghela napas sebelum bicara lagi dengan menahan sedikit kesal, "Dek, lo besok masih UN."

Memang selama beberapa hari ini dia harus mengikuti UN, Ujian Nasional yang harus dilewati setiap anak SMP agar bisa lulus dan melanjutkan ke SMA yang mereka mau. Tapi, seperti ucapan Magnolia kepada Jajang, dia tidak tahu fungsi melanjutkan sekolah bila saat ini saja dia sudah bisa mendapatkan uang tanpa perlu belajar. 

"Iya, sih. Tapi sayang, Mas. Di terminal, kalau habis Magriban, banyak yang suka ngopi-ngopi dulu."

Magnolia tahu, meski saat ini dia bicara dengan suara cukup keras supaya Malik bisa mendengarnya, bocah tampan itu memilih untuk pura-pura tuli. Pandangan matanya sejak tadi hanya lurus ke arah jalan dan dia sama sekali tidak memedulikan Magnolia. Tujuan Malik datang ke tempat itu sejak semula sudah jelas sekali, mengantarkan Dimas. 

"Sudahlah. UN cuma empat hari, lho, Dek. Ini sudah hari ketiga. Besok pelajaran IPA. Mau masuk SMANSA, kan? Biar bisa sama-sama gue."

Magnolia ingin menjawab tidak, karena dia tahu, lulus atau tidak lulus hanya akan membuat hidupnya tambah sulit. Tetapi, tawaran Dimas tentang mereka tetap bersama-sama di sekolah yang sama setelah dua tahun terpisah, sedikit membuatnya tertarik. Meski begitu, ketika menemukan Malik tetap tidak memberikan sedikit perhatian sama sekali pada obrolan mereka, Magnolia merasa tidak bersemangat. 

"Ketemu lo tiap hari di rumah juga gue bisa."

Jawaban Magnolia membuat Dimas menggelengkan kepala, "Yang benar aja! Rumah sama sekolah itu beda." Dimas lalu memajukan kepalanya ke arah Magnolia dan bicara sambil berbisik, "Bukannya lo senang sama Malik? Di SMA bisa lihat dia sampai puas."

Magnolia melirik Malik yang kini menguap tanda bosan. Dia sebenarnya senang melihat bocah tampan itu masih mau menemani Dimas ke pasar demi menemui adiknya. Tapi, Magnolia yakin, tidak sedikit pun Malik setuju untuk sekadar ngobrol atau membalas sapaannya seperti tadi. 

Apalagi dia tahu, di SMANSA JUARA tempat Malik dan Dimas bersekolah saat ini, Dimas dinobatkan sebagai murid paling pintar dan tampan. Sudah pasti penggemarnya bakal meningkat dan penggemar goblok dan berwajah rata-rata macam dirinya hanya akan dianggap jigong oleh Malik, seperti biasa. 

Standar manusia yang bisa diajak ngobrol dengan bocah itu selain Dimas, paling banter hanya Kezia. Magnolia, si anak haram, tidak pernah masuk hitungan.

***

(Unpub Acak )Ketika Cinta Lewat Depan RumahmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang