dua puluh satu

14.3K 4.2K 443
                                    

Rabu lagi
Apdet lagi.

Ramein kolom komen ya

Di KBM dan KK udah bab 51, siapa yang udah bacak, ngacung!

***

Ketika 20

Setelah dua bulan menjadi siswa SMA, Magnolia kemudian mendengar kabar burung yang cukup santer mengenai seorang gadis yang kini keberadaannya dekat dengan Malik. Setiap dia bertanya kepada abangnya, respon Dimas hanya berupa sebuah kedikan di bahu.

“Nggak tahu gue, Dek. Urusan pribadi Malik nggak pernah gue ikut campur. Kalau dia naksir cewek emang kenapa?”

Sebuah jawaban yang menurut Magnolia amat salah. Dia tidak henti bersikap ketus kepada Dimas setelah abangnya memberikan jawaban seperti itu. 

“Mamas kan temennya. Seharian sama Abang. Masak, sih, nggak tahu siapa cewek gila yang nekat deketin dia? Ada gue, loh.”

Sudah hampir pukul sepuluh malam sewaktu Magnolia menginterogasi abangnya. Dimas baru kembali dari belajar bersama di rumah keluarga Hasjim dan Magnolia baru kembali dari berjualan di terminal. Dia sudah tahu gosip tersebut sejak pagi dan teman-teman satu tim di ekskul voli sudah bergosip tentang cowok paling ganteng dan pandai di sekolah tersebut tanpa memikirkan perasaan Magnolia sama sekali.

“Gila, gila. Lo kali yang gila.” Dimas menggelengkan kepala.

Dimas memperhatikan bibir Magnolia yang cemberut saat dia memarkikan sepeda di semak sebelah kamar. Adiknya seolah hendak mengatakan sesuatu tetapi dipendamnya dalam hati dan Dimas yang menangkap perbedaan itu kemudian bicara, “Lo boleh aja naksir Malik, tapi, nggak boleh memaksakan perasaan itu sama dia kecuali memang dia punya perasaan buat lo. Selain dari itu, jangan lo nekat ganggu perasaan atau hubungan orang. Papa nggak ngajarin kita jadi pengemis dan lo tahu benar soal itu, sampai lo nekat jualan. Begitu juga dengan perasaan. Jangan sampai lo ngemis.”

“Gue nggak ngemis perasaan ke dia.” balas Magnolia ketika dia berhasil memarkirkan sepeda, “Gue suka dia dan dia tahu.”

“Dia tahu tapi nggak wajib balas perasaan lo. Gue yang jadi abang lo aja terganggu sama sikap norak lo ke dia setiap hari, apalagi dia yang ngerasain langsung.”

Magnolia terdiam memperhatikan Dimas mengacak-acak rambutnya sendiri. Sejak pagi dia sudah membenamkan diri dengan pelajaran, pembahasan soal demi mewujudkan mimpi dan saat malam tiba, dia merasa otaknya disedot dengan vacuum cleaner. Jika Magnolia bekerja demi uang, dia menghabiskan waktunya belajar tanpa henti agar cita-citanya menjadi mahasiswa kedokteran terkabul.

“Beneran lo terganggu sama gue?” bisik Magnolia pelan tepat saat Dimas hendak melangkah masuk rumah. Pemuda tujuh belas tahun tersebut menoleh dan mendapati adiknya tersenyum tipis, “Kasih gue alasan…”

Dimas menggeleng, “Jangan mulai, Ya. Kita sudah bahas ini ratusan kali. Selama masih ada gue di rumah ini, lo nggak boleh pergi.” 

Magnolia memilih duduk di undakan depan pintu kamarnya yang sudah lapuk. Dia bertopang dagu dan memandangi barisan mawar dan begonia dalam pot milik mama yang dua hari ini lupa dia siram.

“Kalau Abang udah punya pacar, gue nggak punya alasan lagi buat bertahan di sini.” Magnolia menjawab. Senyumnya mengembang tapi pandangannya mulai kosong.

“Lo kira, gue tinggal di sini nungguin apa, Mas? Mama sama Keke nggak suka sama gue.”

Dimas merasa kalimat yang adiknya ucapkan barusan menusuk tepat ke arah ulu hatinya dengan amat kuat. Dia langsung berjongkok di hadapan Magnolia dan memegangi lengannya.

“Lo nggak mikirin gue sama sekali?”

Magnolia menggeleng pelan, “Nggak sampe satu tahun lagi lo bakal jadi mahasiswa, bakal sibuk kuliah, ninggalin gue membusuk di warung lapuk di belakang kita ini. Sementara kalau pergi…”

Magnolia berhenti bicara karena Dimas mendekapnya dengan amat erat. Meski begitu dia kemudian melanjutkan bicara tidak peduli Dimas mulai terisak, “Gue janji sama Papa buat jaga lo.”

“Selama ini gue berusaha hidup demi lo juga. Tapi lama-lama gue sadar, makin tua umur gue, makin nggak diharapkan sama Mama. Kemarin lusa, dia ngoceh di dapur. Muka gue mirip emak gue yang ngerebut Papa darinya.”

Magnolia merasakan cengkraman Dimas di punggungnya tapi dia tidak berhenti sekalipun tenggorokannya terasa sakit buat melanjutkan.

“Gue pengen banget ketemu emak gue. Ngeliat makamnya terus bilang, gue masih hidup. Tapi, gue nggak tahu mesti ke mana.”

Dimas melepaskan dekapannya. Meski air mata adiknya sudah meleleh, Magnolia masih tersenyum.

“Umur gue lima belas. Kalau gue mulai berangkat cari makam emak gue, mungkin sebelum umur tiga pu… Mas lo jangan peluk-peluk gue kayak gini. Gue cuma mau tahu di belahan dunia sebelah sana masih ada nggak keluarga gue yang hidup dan menganggap gue manusia.”

Dia tidak pernah bercerita kepada Dimas bahwa akhir-akhir ini mama mulai sering menyakiti fisiknya entah itu mencubit, sengaja menabrakkan diri ke tubuh putri tirinya, atau menendang kaki Magnolia ketika lewat. Gadis itu memilih diam karena dia tahu, mama ingin melampiaskan kesedihan di hatinya. Tapi, setelah berhari-hari, dia merasa tidak sanggup. Bukan pukulan fisik yang membuatnya hancur melainkan ucapan mama bahwa dirinya bagai pinang dibelah dua dengan ibu kandungnya.

Mama tahu identitas ibunya tetapi setiap Magnolia bertanya, dia akan mendapat hadiah sebuah pukulan atau tamparan.

“Beraninya lo anak haram bicara sama gue.”

“Nggak boleh. Lo nggak boleh pergi ninggalin gue.” Dimas menggeleng-gelengan kepalanya, “Jangan pergi, Ya. Gue nggak kasih izin.”

Magnolia mengusap air mata yang meleleh di kedua pipi Dimas, “Kalau lo udah menikah, sudah sibuk sama keluarga baru lo, masih lo bakal nganggap gue beban nomor satu dalam hidup lo nanti?”

“Dek, lo bukan beban.”

Dimas benci saat Magnolia hanya tersenyum tanpa bersuara seperti saat ini. Cuping hidungnya bahkan tidak mengembang seperti biasa saat dia sedang berbohong.

“Izinin gue.” pinta Magnolia dengan suara lembut.

“Nggak.” Dimas menolak. Air matanya turun dengan deras. Dia tidak mau adiknya pergi karena jika hal tersebut terjadi, dia tahu, Magnolia tidak akan kembali lagi.

“Kasih gue kesempatan cari tahu keluarga gue yang lainnya. Gue juga mau dipeluk mereka ketika gue butuh.”

“Gue yang bakal peluk lo. Lo mau gue peluk, ini gue peluk. Asal lo janji… jangan tinggalin gue, Dek.” 

Dimas mendekap tubuh Magnolia seerat yang dia bisa tapi tidak bisa menghentikan senyuman di bibir Magnolia yang sepertinya punya tekad amat kuat untuk pergi meninggalkan abang yang paling dia sayang.

“Gue perlu pergi. Gue mesti tahu asal-usul gue. Lo jahat kalau melarang gue cari keberadaan keluarga gue, Mas.”

“Dimas menarik tangan kanan Magnolia dan mengarahkannya ke dadanya sendiri, “Ini abang lo, abang kandung lo. Keluarga lo, Dek.”

Magnolia mengunci bibirnya dan lebih memilih menundukkan kepala. Dia punya Dimas, tentu saja, tapi, itu tidak cukup. Dia perlu tahu keluarganya yang lain, tentang kelahirannya, dia ingin tahu kebenaran tentang anak haram yang selalu mama dengung-dengungkan. Dimas tidak mengerti bahwa dia hanya ingin mendapatkan haknya sebagai manusia.

Setidaknya, setelah tahu bahwa Malik telah melabuhkan hati pada sosok yang dia inginkan, inilah satu-satunya alasan buat Magnolia meyakinkan diri bahwa hampir tidak ada lagi alasan untuk dia tetap tinggal di rumah ini.

Tidak ada.

***

(Unpub Acak )Ketika Cinta Lewat Depan RumahmuWhere stories live. Discover now