Enam

13.8K 4.3K 325
                                    

Teman-teman, banyakin komen dan vote biar trending yaaa

Tenkiyu

***

Anak-anak tersebut juga dipaksa dewasa oleh keadaan, seperti yang sekarang dia alami. Dia juga, kan, naksir Malik bukan buat minta dinikahi. Magnolia sungguh sadar diri. Statusnya bakal membuat malu keluarganya dan dia bisa membayangkan betapa murkanya mama bila dia nekat melakukan hal tersebut. 

Dimas tidak sengaja melewati lubang besar berisi kerikil yang tidak rata dan seketika, sepeda berguncang keras hingga membuat Magnolia terlonjak dari boncengan belakang.

"Aduh."

"Sori, Dek. Lo nggak apa-apa, kan?" Dimas mencoba menoleh ke belakang. Tetapi, Magnolia melarang. 

"Udah. Jalan aja." suruh Magnolia. Dia kemudian memegangi ujung kemeja kotak-kotak yang dipakai oleh Dimas dan berharap momen seperti ini berlangsung selamanya, tidak ada mama yang selalu melotot kepadanya atau juga Kezia yang bermuka masam setiap melihat wajahnya.

"Anak haram, lo."

Anak haram juga manusia, Ke. Punya hati, punya perasaan. Kalau dibolehin, gue bakal minta sama Allah nggak lahir dari hubungan haram. Tapi, nggak bisa. Siapalah gue? 

Oh, iya, gue lupa.

Gue cuma anak haram.

"Hapalan lo sudah sampai mana?" suara Dimas memecah keheningan setelah beberapa puluh meter dia mengayuh dan saat ini hampir mencapai kompleks perumahan Abdi Sejahtera, tempat mereka tinggal. 

"Nggak ngapal." balas Magnolia pelan. Dia merasakan nyeri di paha, mungkin karena benturan tadi atau karena dia terlalu lama berdiri.

"Kok nggak hapal, sih? Lo ini selalu kayak gitu kalau ulangan, pakai sistem SKS, Sistem Kebut Semalam. Jangan gitu, dong. Katanya mau jadi orang sukses." 

Magnolia menyandarkan kepalanya di pinggung Dimas. Dia tidak menjawab pertanyaan sang abang dan lebih memilih untuk memejamkan mata. Kepalanya baru terasa pening setelah seharian lebih terjaga dan malam ini dia akan melanjutkan belajar dengan Dimas demi menyenangkan hatinya.

"Dedek, kalau nanti Papa pergi, kamu harus menuruti kata-kata Mamas. Dia yang bakal jaga kamu dari gangguan orang-orang jahat. Mamas juga yang akan jadi walimu jika menikah…"

Dia tidak tahu tentang masa depannya nanti. Dia tidak mau membuat teman-teman dan keluarganya malu bila suatu hari nanti mama berteriak kalau dia bukan anak kandungnya dan pernikahannya ternyata tidak sah. 

Jangan mikir aneh-aneh. Lo jualan lap aja. Kalau sudah laris dan modal terkumpul banyak, ikut Bang Benie ngulak di pasar induk. Kerjanya sampai subuh. Bisa langsung pulang dan lanjut sekolah. 

Tapi, badan gue rasanya remuk. Mesti belajar, mesti cari duit sampai malam. Mamas mana mau paham. Dia cuma tahu kalau gue mesti belajar, belajar, belajar, sampai otak gue nyamain otak dia dan Abang. Biar dia bangga sama gue. Padahal, mau diapain juga, otak gue ya segini-segini aja, nggak bisa lebih. 

"Ya? Lo dengerin gue nggak? Ntar abis Isya, abis lo makan, kita belajar, ya. Di teras. Gue sengaja nggak belajar sama Malik. Seminggu ini gue sudah kasih tahu dia, mau ngajarin lo supaya bisa dapet nilai bagus pas UN. Makanya, lo jangan bikin malu gue. Kredibilitas gue sebagai abang lo dipertaruhkan."

Magnolia menggumam dan mengatakan kalau dia mendengarkan kata-kata abangnya, akan tetapi matanya masih terpejam dan dia berharap jarak perjalanan menuju rumah masih jauh. Matanya terasa makin berat dan dia tidak sanggup lagi membuka mata.

"Kalau lo lulus dengan nilai gede, gue bakal traktir makan bakso rusuk. Lo tahu, kan, Inggit anaknya Tante Zuraida yang rumahnya dekat gerbang kompleks? Sekarang gue ngajarin dia, privat. Nggak banyak, sih, cuma dua ratus ribu sebulan. Tapi kalau dibeliin bakso, dapet banyak banget."

Suara Dimas berputar-putar di kepala Magnolia. Apa kata abangnya tadi? Dia mesti lulus dengan nilai bagus supaya bisa ditraktir makan bakso? Magnolia ingin sekali tertawa mendengarnya. Hampir setiap hari dia makan nasi dengan bakso, walau kuahnya lebih banyak dibanding pentol dan Magnolia selalu menyiapkan nasi putih dalam kotak bekal yang saat ini tersimpan di kresek hitam di sebelah kantong lap, dalam keranjang sepedanya. Dia selalu makan menu yang hampir sama setiap harinya demi mengumpulkan uang, supaya bisa jadi berjualan seperti penjual sayur yang lain dengan harga murah. Jajang telah memesan satu lapak dekat parkiran, agak sedikit jauh dari lapak Bang Beni supaya mereka tidak berebut pembeli. 

Tapi, dia mengucapkan terima kasih atas tawaran Dimas. Tidak setiap saat abangnya bisa mentraktir dan dia tahu, Magnolia tidak akan suka makan uang pemberian mama karena wanita tersebut sudah mengharamkannya sejak beberapa tahun lalu. 

"Sudah sampai. Ayo turun."

Magnolia mengangkat kepala. Mereka berdua sudah berada di depan pagar dan dengan mata terpicing karena tadi dia sempat tidur-tidur ayam sambil memeluk abangnya, Magnolia berusaha turun dengan berhati-hati, takut termos kesayangannya jatuh.

"Ditungguin dari tadi, Mas. Taunya kamu jemput tuan putri, ya? Ckckck."

Wajah kusut mama yang muncul di teras pada akhirnya membuat Magnolia cepat-cepat melepaskan pegangan tangannya di kemeja Dimas. Wanita anggun itu sudah memakai mukena, bersiap untuk salat Magrib. Dia mengucap salam tapi mendapat angin lalu dari ibu tirinya yang memutuskan untuk cepat-cepat masuk. Karena itu juga, Magnolia menoleh kepada Dimas yang nampak kikuk waktu memarkirkan sepeda milik adiknya ke pekarangan.

"Biar gue aja yang bawa ke samping." Magnolia menunjuk bagian samping kamarnya, ada jalan setapak kecil di pinggir semak yang sengaja tidak dipotong supaya orang tidak tahu, di dalam bekas warung, ada kamar anak perempuan berusia lima belas tahun yang tinggal sendirian di sana.

"Dek, gue tunggu habis Isya, ya. Gue nanti beliin lo nasi goreng."

Magnolia mengangguk. Dia mengurai senyum tipis sembari mendorong sepedanya menjauh dan membiarkan Dimas mengunci pagar. Abangnya harus segera masuk. Mama biasa salat Magrib bersama anak-anak kandungnya dan Magnolia hanya bisa menahan iri dalam hati karena dia tidak pernah diajak bergabung oleh keluarganya tersebut.

Tidak apa-apa. Sendiri pun dia bisa berdoa, berharap Allah melindungi dan mengampuni papa di sana, sembari menyampaikan pesan, dia masih baik-baik saja. Hatinya memang sedang terluka, tapi dia, akan semakin kuat.

***

(Unpub Acak )Ketika Cinta Lewat Depan RumahmuWhere stories live. Discover now