enam puluh satu

16.4K 4.8K 989
                                    

Bab ini ga bikin nangis, kok.

Jangan lupa mampir ke Madu In Training, yes.

***

Ketika 61

Malik jadi lebih sering melamun sepeninggal Magnolia ke desa Pagiran. Di depan Dimas, dia tidak lagi bisa membohongi perasaan kepadanya. Selama bertahun-tahun memaksa pikirannya sendiri untuk menganggap Magnolia hanya sekadar adik Dimas, nyatanya, dialah yang paling terpukul usai Magnolia meninggalkannya sendirian di depan rumah. 

Mereka sempat berhenti di Penyanjungan setelah perjuangan keluar dari desa selama hampir satu jam. Malik meminta izin untuk keluar dari mobil sementara Dimas memilih untuk menenangkan diri di dalamnya. Malik baru kembali sekitar sepuluh menit kemudian dengan mata merah dan melempar ponselnya dengan gusar ke atas dashboard mobil. Jelas, barusan dia mencoba menghubungi Magnolia tapi berakhir gagal. Dia tahu, wanita itu tidak bakal sudi menerima panggilannya sampai kapan pun. Bahkan, hingga detik ini, Magnolia belum juga menerima permintaan mengikuti dari dirinya, baik dari Instagram atau juga Facebook. 

"Lo nggak bilang kalau kita ke sini buat ngantar dia selamanya." 

Setelah keheningan selama lima menit dan helaan napas berat membuat Malik tidak tahan lagi. Dia menumpahkan kekesalannya kepada Dimas yang dengan tega merahasiakan semua ini kepadanya.

"Gue kira lo tahu. Dia bawa dua tas besar. Kalau cuma buat satu atau dua hari, nggak bakal kayak gitu. Dia juga datang ke rumah buat pamit. Lo pikir, kenapa dia mau-mau aja dipermalukan Mama kalau ujung-ujungnya dia masih harus pulang ke rumah? Kami bisa aja berangkat langsung ke terminal, tapi, dia bilang, akan sangat nggak sopan bila kami pergi begitu aja. Mama juga mesti tahu apalagi gue ikut nganter dia dan nggak bisa langsung pulang hari itu juga."

Tidak peduli saat ini Malik sedang mengurut pelipis, Dimas terus saja bicara, "Dia tahu Mama benci banget sama dirinya, begitu juga Keke. Tapi dia nggak pernah melakukan hal yang sama kepada mereka. Yaya benar-benar tahu diri. Lo tahu? Nggak terhitung banyaknya dia minta maaf sama gue selama di Pagiran. Dia selalu berharap Papa sama ibunya nggak perlu ketemu, supaya keluarga kami nggak hancur. Dia lebih milih nggak dilahirkan supaya Mama tetap tersenyum. Tapi, lo tahu kenyataannya gimana?"

Dimas menyeka air mata dengan ibu jari dan telunjuk saat dia bicara lagi, "Seumur hidup dia nggak pernah bahagia. Nggak pernah. Gue saksi mata betapa banyak dia menghabiskan waktu untuk tetap kuat tetapi, kenyataannya, tiap malam dia sering nangis di dalam kamar. Gue selalu ngajak dia ngobrol sampai tengah malam supaya dia nggak kesepian. Karena kalau dia sudah sendiri, dia pasti nangis. Tapi di Pagiran, dia selalu tersenyum. Apalagi setelah tahu dia bukan anak haram." 

Dimas berhenti untuk menarik napas. Selama ini dia tidak pernah bercerita kepada Malik karena tahu, Malik bakal tidak menyukainya. 

"Gue nggak pernah lihat dia kayak gitu, apalagi saat dicium oleh bibi dan neneknya. Hati gue sakit lihat dia seolah direbut paksa dari gue, Mamasnya yang selama ini cuma dia punya. Tapi, gue egois banget kalau maksa dia lebih lama tinggal di tempat  di mana nggak ada orang yang peduli sama dia lagi."

Dimas menarik tisu dari tempat tisu yang berada di atas kepalanya. Air matanya tumpah makin banyak. 

"Gue bahkan belum pernah bahagiain dia. Selama ini, dia selalu bantu keuangan gue kuliah. Adik bungsu gue yang selama bertahun-tahun jualan lap, kopi. Lo tahu, gue malu banget sama diri sendiri."

Dimas membersit ingus. Sejak dari rumah Nenek Een tadi dia sudah menahan emosi. Tapi, sekarang, tidak bisa lagi. Setelah ini, tidak ada lagi si bungsu yang selalu memanggilnya Mamas dan tentu saja, jadwal kunjungan ke Kopi Bahagia atau kos-kosan Anita juga telah berakhir. Selamanya.

"Nanti lo bakalan sibuk banget, Mas. Lo bakal jadi dokter paling sukses. Nggak apa-apa kalau sekarang merasa sedih karena gue pergi. Tapi, setelahnya, lo bakal lebih kuat."

Setelah mengetahui kondisi neneknya tidak baik-baik saja, Magnolia menjadi makin mantap untuk tinggal di Pagiran. Mulanya Dimas merasa dia bakal bisa membujuk adiknya untuk pulang. Tapi, melihat betapa telatennya Magnolia merawat Nenek Een, dia mengurungkan niat. 

"Yaya nggak sempat berbakti sama Ibu. Mumpung masih punya waktu, mau berbakti sama Nini. Boleh, ya, Mas?"

Karena itulah Dimas banyak membisu sebelum kepulangannya dan sekarang, kepada Malik, dia mencoba meluapkan segala yang dia rasakan selama ini. Hatinya hancur dan benar-benar terluka. Rasanya jauh lebih buruk dibandingkan dengan patah hati, seperti mengantarkan Magnolia ke suatu tempat dan dia tahu, tidak akan bisa melihat si bungsu lagi.

"Dia pasti balik. Pagiran nggak kayak Jakarta. Dia nggak bakal tahan. Nggak ada mal, nggak ada pasar besar." Malik mencoba menghibur diri. Tetapi gelengan Dimas membuyarkan semuanya.

"Ijazah, akta kelahiran, transkrip nilai, semua berkas penting yang dia punya sudah di Pagiran. Dia nggak akan pulang ke Jakarta lagi. Yaya sudah diterima di SD dekat rumah Nininya bahkan sebelum dia menginjakkan kaki di sana. Pilihan yang dia punya cuma mati atau tinggal di sana."

Sekali lagi, Malik menarik kerah baju Dimas. Matanya masih memerah dan dia tidak peduli bila saat ini sahabatnya tahu, dia sendiri juga mengalami patah hati yang sama.

Sangkal terus, tolak dia terus. Sekarang dia pergi dan setan jadi yang pertama tertawa melihat kebodohan lo, Malik Galih Kencana! Malik memaki dirinya di dalam hati. 

"Lo lebih berhak mencegah dia daripada dirinya sendiri. Lo walinya, lo abangnya. Kenapa nggak lo tahan. Dia nggak mungkin milih mati. Dia wanita paling kuat yang pernah gue kenal, lo seharusnya tahu."

Dimas tersenyum tipis lalu mendorong tubuh Malik hingga menabrak jendela, "Harusnya lo yang nahan dia. Harusnya lo yang buat dia tinggal. Tapi berkali-kali lo nyakitin hati adek gue. Lo tolak dia habis-habisan, padahal lo tahu, dari dulu cuma lo yang ada di kepalanya. Nggak guna lo bilang sayang atau cinta setelah dia di sana. Kenapa? Karena dia bakal berpikir, lo begitu demi gue. Seumur hidup lo doktrin dia, adik Dimas, maka dia nggak punya alasan lagi buat nganggap seorang Malik Galih Kencana harapan dia."

Dimas keluar dari mobil, tak sengaja membanting pintu lalu memilih untuk menenangkan diri di bawah sebuah pohon pisang. Dia masih ingin memaki Malik, tetapi kemudian sadar, ini semua adalah pilihan. Magnolia tidak akan suka melihatnya seperti ini dan dia masih memiliki mama dan Kezia untuk dia lindungi dengan sepenuh hati. 

"Jaga Mama, ya, Mas. Jaga Keke juga. Kalau lo senggang, tolong kirim foto atau video mereka. Nanti gue transfer duit tiap gajian. Tolong bantu beliin obat dan vitamin buat Mama kayak biasa, OK?"

"Yaya." Dimas mengusap air matanya. Dia tidak pernah menangis tersedu-sedu seperti ini, bahkan saat papa menghembuskan napas terakhir atau saat jasadnya ditimbun tanah. Dia belum pernah sekacau ini. Janjinya kepada papa untuk menjaga Magnolia tidak bisa lagi dia lakukan. Magnolia kecil yang selalu dia jaga kini telah terbang, kembali ke tempat dia dilahirkan dan dicintai oleh keluarganya. 

"Belum apa-apa, Mamas sudah rindu, Dek."

***

Pendek aja. Biar kalian penasaran. Wkwkkw


(Unpub Acak )Ketika Cinta Lewat Depan RumahmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang