Sembilan

12.2K 3.7K 208
                                    

Hayooo ngebut komen lagi, siapa tahu dua jam lagi eke khilaf up lanjutannya. Hahaha.

***

Ketika 08

Kokok ayam dan suara sapu lidi yang bergesekan dengan tanah membuat Magnolia membuka mata. Lampu tiga watt di dalam kamar masih menyala dan dia bisa melihat sinar matahari menembus dinding papan kamarnya.

Jam berapa ini? Dia harus segera bangun. Ujian IPA berlangsung pukul tujuh lewat tiga puluh. Kepalanya terasa berat dan Magnolia ingat, tadi malam Dimas sempat menyebutkan kalau badannya panas.

Apakah dia demam? Magnolia tidak paham. Tetapi, ketika dia berusaha bangun dari atas kasur, pandangannya berputar-putar. Magnolia kemudian menutup matanya dengan lengan kiri.

“Gue mesti ke sekolah.” ucap Magnolia kepada dirinya. Dikuatkannya diri untuk bangkit dari atas kasur. Perasaannya tidak enak dan dia memang merasa tidak sehat. Pandangannya kemudian terarah pada jam kecil yang terletak di atas rak buku kayu dekat kepalanya dan saking terkejutnya dia menarik jam kecil tersebut lalu mendekatkannya ke telinga kanan.

“Ya Allah, jam setengah sembilan.” 

Dia tidak sadar telah tertidur selama itu. Tiga hari berturut-turut belajar hingga larut dengan Dimas dan sepulang sekolah dia mesti berjualan di pasar, membuat tubuhnya ambruk. Tidak mungkin dia bakal diizinkan masuk kelas. Lagipula dia mesti mandi dan bersia-siap. Perjalanan ke sekolah cuma sepuluh menit. Tetapi dia yakin, ketika tiba di sana hari sudah pukul sembilan. Sehingga daripada melompat ke kamar mandi untuk bersiap-siap, yang dia lakukan adalah mengembalikan jam ke tempatnya lalu mengusap wajah dengan kedua tangan dan memandangi kakinya yang terbalut selimut dengan perasaan gamang.

“Mamas pasti marah kalau tahu gue nggak ikut UN hari ini.”

Magnolia menghela napas. Dia sebenarnya tidak terlalu semangat untuk ikut ujian dan saat bangun kesiangan seperti ini dia tidak merasa kehilangan sama sekali. Dari awal dia telah merencanakan untuk tidak melanjutkan sekolah ke jenjang SMA. selain tidak ada guna, dia bingung harus membagi waktu antara jualan dan menimba ilmu. Lagipula, dia sudah tahu biaya masuk SMA 1 Jakarta Raya tidaklah murah. Selain uang bangunan dan pendaftaran, dia mesti mempersiapkan sejumlah uang untuk pembelian seragam dan buku pelajaran.

Bahkan kepalanya sudah sakit sebelum dia sempat membayangkan berapa juta uang yang mesti dikeluarkan hanya untuk menjadi siswa sekolah paling bergengsi di ibukota.

“Duit gue nggak bisa beli gengsi apalagi sekolah di sana.”

Magnolia kemudian mencoba untuk bangkit dari kasur. Jika dia tidak ke sekolah hari ini, berarti dia punya banyak waktu untuk berjualan. 

“Tapi badan gue rasanya nggak sehat.” 

Magnolia kembali duduk dan kini sekarang dia memeluk lutut karena rasanya lebih nyaman bila dia melakukan hal tersebut. Dia sudah tidak mungkin lagi ke sekolah dan pikiran berangkat ke pasar jauh lebih menggoda dibanding tetap diam di dalam kamar. Tidak ada orang di rumah saat ini. Kezia dan Dimas sudah lebih dulu berangkat, begitu juga mama yang harus berangkat bekerja pagi-pagi sekali.

“Minum paracetamol aja, deh. Habis itu gue mandi dan langsung ke pasar.”

Setelah meregangkan otot-otot tangannya, Magnolia menghela napas lagi. Dia harus segera bangun dan mandi. Kondisi pasar sedang ramai-ramainya dan dia masih memiliki sepuluh lusin lap untuk dijual hari ini.

“Mandi, Ya. Jualan dulu hari ini. Biar aja nggak usah ujian. Paling juga gue nggak lulus.”

Mengabaikan kepalanya yang masih berputar, Magnolia menguatkan diri untuk bangkit dan membuka pintu kamar. Dia tidak perlu membuka jendela dan membiarkan angin masuk. Papan-papan di warung sudah reot dan kena angin sedikit saja udara langsung masuk, begitu juga cahaya. Toh setelah mandi dia tinggal memakai kaos dan jaket, lalu segera pergi. Dia tidak perlu berdandan cantik seperti Kezia, selain karena dia tidak memiliki peralatan make up seperti milik Kezia, akan sangat aneh berjualan di pasar dengan dandanan yang mencolok. 

 Begitu membuka pintu kamar, Magnolia melihat mama sedang berbicara dengan Laura Hasjim di depan pagar mereka. Matanya terpicing karena jarak antara kamar dan pagar sekitar sepuluh meter. Di saat yang sama mama telah selesai berbicara dengan tetangganya dan ketika berbalik dia menemukan putri tirinya membeku di depan kamarnya sedang memegang handuk tipis dan pakaian yang akan dia pakai nanti.

“Oh, Si Tuan Putri baru bangun. Enak banget, ya. Udah numpang hidup, bangun siang lagi.”

Magnolia yakin, mama sebenarnya akan memuntahkan banyak makian untuknya selain yang dia katakan barusan. Tetapi mama memilih meninggalkannya begitu saja dan langsung menuju rumah. Meski begitu, walau hanya bicara sebaris kalimat, kata-kata barusan membuat perasaan Magnolia sedikit sedih.

“Mama nggak kerja? Mama sakit?”

Mama tidak menjawab dan membalas gadis itu dengan bantingan di pintu. Dia kentara sekali amat anti mendengar atau membalas perhatian dari anak tirinya. Tapi, dibanding kata-kata sebelumnya, perbuatan mama yang barusan membuat hatinya lebih sedih. Dia cuma berusaha menanyakan kabar walau responnya kurang menyenangkan. 

Untung saja dia tidak pernah memasukkan semua kata-kata dan sikap mama ke dalam hati. Siapa yang bisa menahan perasaan seperti yang dialami mama saat ini? Hidup seatap dengan anak dari wanita lain sementara suaminya pergi meninggalkan dirinya selamanya. Jika hal tersebut terjadi dengan dirinya sendiri, dia sudah pasti tidak bisa sekuat mama. 

“Kayaknya mama sehat.” Magnolia bicara dengan dirinya sendiri. Dia kemudian menutup pintu kamar lalu bergegas menuju kamar mandi. Pasar masih menunggu kedatangannya dan dia tidak boleh menyia-nyiakan diri lebih lama di rumah. 

***

Hari sudah lewat pukul dua sewaktu Jajang memanggil Magnolia yang sedang memberikan uang kembalian kepada seorang pembeli. Gadis itu menoleh ke arahnya dengan mata terpicing menahan silau dan panas matahari yang masih terik walau sudah lewat tengah hari. Setelah pembeli barusan beranjak pergi dan dia mengucapkan terima kasih, barulah Magnolia membalas panggilan Jajang.

“Kenapa, Bang?”

Jajang memberi kode dengan telunjuk tangan kanannya dan Magnolia mengikuti arah tangan pria tersebut. Begitu dia menemukan sosok Dimas dengan seragam SMANSA JUARA kebanggaannya berjalan menuju pintu masuk pasar, senyumnya mengembang.

Ada Mamas. Udah makan belum dia? Gue tadi beliin mie ayam. 

Magnolia yang girang melihat kedatangan abangnya segera berlari-lari kecil untuk menyongsongnya. Bila banyak kakak dan adik bertengkar, tidak demikian dengan Magnolia dan Dimas. Dia sangat menyayangi abangnya. Tapi, tidak hanya kepada Dimas, Magnolia juga amat sayang kepada mama dan Kezia sekalipun mereka tidak pernah menganggapnya sama seperti dia mencintai mereka. 

"Mamas, udah balik? Udah makan belum? Tadi Yaya…"

Magnolia berhenti bicara begitu jarak mereka tinggal lima puluh sentimeter lagi. Belum pernah dilihatnya wajah Dimas seserius itu seumur hidupnya, bahkan saat dia marah sekalipun. Tatapan matanya tajam, seolah hendak menelan adiknya bulat-bulat.

"Eh, kenapa?" Magnolia bingung melihat raut muka sang abang. Belum sempat dia bertanya lagi, Dimas sudah bersuara, dengan nada dingin yang membuat Magnolia amat ketakutan, "Pulang ke rumah sekarang!"

Magnolia tidak menjawab. Tangan kanannya bahkan ditarik paksa oleh pemuda tampan tersebut dan Dimas yang sudah tahu posisi sepeda Magnolia menyeret adiknya tanpa menoleh dan peduli sama sekali pada sekitar.

"Mamas, tangan Yaya sakit. Yaya bisa jalan sendiri."

Dimas tetap tidak menjawab dan dia sama sekali tidak peduli, bahwa saat itu tubuh adiknya masih belum kuat, suhu badannya masih tinggi, tapi, Magnolia tetap nekat berjualan. Yang ada dalam pikirannya saat ini hanya satu, adik bungsu kesayangannya telah membuatnya kecewa.

Amat sangat kecewa.

***

(Unpub Acak )Ketika Cinta Lewat Depan RumahmuWhere stories live. Discover now