DUA

242 28 3
                                    

"Aku tak tahu bagaimana mengungkapkannya,

semakin aku mencoba melupa, semakin kuat aku mencinta.

Lalu bagaimana cara aku berpaling darimu?"

****


Gadis itu duduk di jendela dekat kamar, angin berhembus menyelip disetiap helai rambutnya. Amarta menatap bulan yang bersinar terang, dia tak henti-hentinya memandang bulan itu seraya mengingat kenangan masa lalunya bersama Bagaskara.

"Eh liat tuh, si Amarta nangis. Cengeng banget ya!" ujar salah satu anak laki-laki dengan seragam merah putih yang ia gunakan. Anak laki-laki itu terus mengejek Amarta kecil yang menangis di tengah lapangan, dia menangis karena Funny belum juga datang menjemputnya.

"Nih!" Bagaskara kecil menyerahkan sebungkus cokelat pada Amarta. Seketika tangis Amarta terhenti.

"Kamu jangan nangis, aku temenin ya!" Ujar Bagaskara kecil tersenyum padanya.

"Kalian semua pergi ya, ngga usah gangguin sahabat aku!" Perintah Bagaskara pada anak-anak yang mengejek Amarta dan entah mengapa mereka semua mau mengikuti perintah Bagaskara.

"Nih ambil!" Sekali lagi Bagaskara menyodorkan cokelat itu pada Amarta. Kali ini Amarta mengambil cokelat itu.

"Kenalin nama aku Bagaskara, nama kamu siapa?" Bagaskara kecil menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan. Ragu-ragu Amarta menyalami tangan Bagaskara.

"Na-nama aku Amarta." Bagaskara kini tersenyum, setidaknya dia sudah berhasil membuat makhluk kecil ini tersenyum.

"Mulai sekarang kita jadi sahabat ya Ta!" Mendengar itu Amarta tersenyum sangat lebar dan menganggukkan kepalanya.

Amarta tersenyum mengingat kejadian beberapa tahun itu, tak akan pernah dia lupa, bagaimana semua persahabatan itu di mulai. Amarta menghembuskan napasnya berat, dalam benaknya seketika berpikir, apakah masih pantas di katakan sahabat jika salah satu dari sahabat itu memiliki rasa.

"Kebiasaan banget sih bengong di sini? Woy Amarta!" Bagaskara menyentuh pundak Amarta, spontan Amarta berteriak terkejut tiba-tiba ada seeorang di belakangnya.

"Ini gua Ta, ampun dah." Bagaskara bergegas menenangkan Amarta.

"LAGIAN LO KURANG KERJAAN BANGET SIH JADI ORANG." Amarta sudah beranjak dari jendela, tangannya kini berada di pinggang pertanda dia sedang dalam emosi yang tinggi.

"Lo ngapain sih malam-malam gini, manjat kelantai dua. Ketahuan orang di teriakin maling tahu rasa lo."

"Lah malah nyalahi gua. Gini ya, dari tadi gua itu manggil-manggil nama lo, tapi lo sibuk aja ngayal. Ngayalin apaan sih lo? Udah deh kagak usah ngayalin gua, kurang kerjaan banget lo." Mendengar itu pipi Amarta mendadak bersemu merah.

"Geer banget sih lo jadi orang. Udah sana pergi!" Amarta berusaha mengusir Bagaskara, namun bukan Bagaskara namanya jika ia tak menerobos masuk kamar Amarta.

"Gas gua bilang pergi, bukan malah masuk. Lo nilai bahasa Indonesia dapat berapa sih sampai ngga paham apa yang gua suruh."

"Bahasa Indonesia gua enam lima, lu lupa ya?" Jawab Bagaskara sekenanya, kini dia sudah duduk di atas tempat tidur Amarta.

"Lu itu ya ngeselinnya ngga pernah ilang. Terus tadi ngapain lu ngga kesekolah?" Tanya Amarta yang tak mendapatkan jawaban apapun dari Bagaskara.

"AMARTA!!!" Teriak Fanny dari luar pintu kamar Amarta.

"Iya Bunda!" Jawab Amarta lalu mendekat kearah pintu kamarnya, namun sebelum itu ia bergegas menyuruh Bagaskara untuk pergi.

"Buruan pergi!!!" Perintah Amarta dan Bagaskara dengan santainya hanya tersenyum menanggapi perintah sahabatnya itu.

"Gas buruan!!!"

"AMARTA BUKA PINTUNYA!!!" Teriak Fanny dari luar.

"Iya Bun!!!" Teriak Amarta menjawab teriakan Fanny. Setelah memastikan Bagaskara keluar, Amarta akhirnya membukakan pintu. Alangkah terkejutnya Amarta saat melihat Bundanya masuk dengan tongkat bisbol di tangannya.

"Di mana dia? Di mana Amarta?" Fanny mengelilingi setiap sudut kamar Amarta, namun tak satu pun seseorang dia temukan di sana.

"Bunda tadi denger suara gaduh dari arah kamar kamu, ada maling ya? Mana malingnya? Amarta malingnya mana?" Heboh sendiri Fanny menanyakan semua kemungkinan yang belum tentu kebenarannya itu.

"Apaan sih Bunda, ngga ada maling. Tadi Fanny lagi latihan buat drama di sekolah." Amarta Berbohong.

"Latihan? Jam segini?" Fanny benar-benar heran bagaimana anaknya latihan drama di jam sebelas malam. Sementara Amarta mengangguk mantap meyakinkan bundanya.

"Ya ampun sayang, ini sudah malam, kamu tidur ya! Istirahat!" Fanny akhirnya dapat bernapas lega, dia pun keluar dari kamar Amarta dan melanjutkan tidurnya lagi.

"Huff hampir aja." Amarta memperhatikan kearah luar jendela, tak ada siapapun di sana, seakan tak pernah ada seseorang sama sekali masuk dalam kamarnya. Amarta bergegas menutup jendela kamarnya dan tidur.

****

"Amarta! Tunggu Please!" Panggil Caraka yang mencoba mengimbangi langkahnya.

"Apa sih Ka?" Amarta masih berjalan malah lebih cepat langkahnya.

"Kenapa tadi malam kamu ngga angkat telepon dari aku?"

"Penting?" Tanya Amarta menatap Caraka sekilas.

"Penting Ta." Mendengar itu Amarta menghentikan langkahnya.

"Seberapa penting sih Ka, ada kabar apa? Ada berita apa?"

"Ngga ada sih..." jawab Caraka yang kini sudah menundukkan kepalanya.

"Iya berarti ngga penting Caraka! Please deh ngga usah ganggu waktu aku." Amarta melangkah meninggalkan Caraka begitu saja.

"Penting Ta! Semuanya penting banget. Karena gua suka dan cinta sama lu." Amarta menghentikan langkahnya.

"Gila ya lu Ka."

"Iya gua gila Ta, gua gila karena suka sama lu, gua gila karena berharap cinta gua bisa terbalas. Ya meskipun gua tahu, sampai kapan pun lu hanya cinta sama Bagaskara dan bukan gua."

"Nah itu lu paham, jadi ngapain ngomong suka sama gua. Lu itu gila apa oon sih, ah ngga ada bedanya juga."

"Iya gua oon, tapi Ta gua ngga bisa pendem ini lagi, semakin aku mencoba melupakan rasa ini, semakin sesak rasanya di dada. Gua bingung kalau kayak gini siapa yang harus gua salahin. Yang jelas gua suka sama lu."

"Gua kecewa sama lu Ka, gua udah anggap lu itu sahabat gua yang paham akan apa yang gua rasa. Lu tempat gua curhat Ka, tapi kenapa lu jadi kayak gini. Lu kan tahu gua hanya bisa cinta sama Bagaskara, dan ngga bisa berpaling sedikit pun."

"Meski lu sakit hati terus, meski lu harus terima kenyataan kalau Bagaskara lebih memilih orang lain dari pada lu. Lu hanya sekedar sahabat bagi dia Ta, sadar Ta." Oceh Caraka.

"Lu seharusnya ngaca Ka, gua juga hanya anggap lu sahabat."

"Tapi gua bisa bahagiain lu Ta."

"Gua juga bisa bahagiain Bagaskara, Ka."

NestapaWhere stories live. Discover now