Delapan Belas

58 9 6
                                    


"Jika orang di depan lo ini suka sama lo gimana,Ta?" Seketika Jagung yang tadinya hendak Amarta lepaskan dari mulutnya mendadak menetap. Tubuhnya kaku, ia tidak pernah menduga jika Langit akan berkata seperti ini.

"Lo nggak harus jawab sekarang kok, Ta. Besok, lusa juga nggak apa-apa. Tapi jangan tahun depan ya!" Seketika Amarta tertawa mendengar apa yang dikatakan Langit barusan, bagaimana bisa seseorang yang sedang menembak cewek juga diselingi candaan.

"Lo serius nggak sih Langit?" tanya Amarta sambil tertawa, sempat ia menatap wajah Langit sesaat sebelum akhirnya kembali menatap matahari yang sudah benar-benar terbenam, bersamaan dengan ungkapan perasaan Langit tadi.

"Iya biar nggak tegang aja, biar nggak kaku aja kitanya. Lo nggak suka ya?" tanya Langit, kini ia membenarkan posisi duduknya, meletakkan jagung bakarnya di piring plastik berwarna hijau didekatnya.

"Hemmm" gumam Amarta.

"Iya kalau lo nggak suka sama gua sih nggak papa." Langit yang mulai memerah wajahnya dan juga rasa kecewa yang mulai menghampiri membuatnya bingung harus berbuat apa. Kakinya berkali-kali menendang rerumputan yang tidak bersalah.

"Jadi gini Langit, gua belum bisa buka hati gua buat siapapun sebelum gua tahu, apa penyebab gua kecelakaan sampai akhirnya gua nggak pernah bisa ketemu sama Bagaskara. Hal ini nggak pernah gua ceritakan kesiapapun termasuk ke Bunda. Gua tahu, gua sakit, gua tahu penyebab kita berdua kecelakaan karena gua ribut sama Bagaskara dulu. Gua tahu, semua tentang Bagaskara yang gua liat selama ini hanyalah palsu, tapi lo nggak bisa bayangin kan bagaimana kepalsuan itu bisa membuat gua jauh lebih bahagia. Gua tahu semua, terlebih saat Bunda diam-diam nangis di kamar nangis karena gua yang nggak sehat, gua yang gila." Tetes air mata itu resmi sudah membasahi pipinya.

"Stop, Ta! Lo nggak gila."

"Kalau gua nggak gila, gua nggak mungkin tiap hari ngeliat wajah Bagaskara, gua sadar gua halu, gua sadar yang gua ajak ngomong selama ini hanya bayangan yang nampak sangat nyata bagi gua. Apalagi kalau bukan gila namanya. Tapi gua diemin aja, karena gua nyaman asalkan gua bisa ngelihat wajah Bagaskara. Dan lo masih yakin mau sama gua?" Amarta menatap Langit penuh dengan pertanyaan, meyakinkan Langit bahwa dia nggak layak untuk dicintai.

"Sejak awal ketemu sama lo, di tempat tawuran, gua udah respect sama lo dan entah kenapa ada getaran di hati gua Ta. Nggak peduli lo separah apapun sakitnya, gua nggak peduli kalau seandainya gua nggak pernah ada di hati lo. Tapi satu, Ta. Izinkan gua buat jagain lo, izinkan gua buat mencintai lo."

"Kita pulang yuk! Bunda pasti udah nungguin." Langit menghembuskan napasnya lalu tersenyum kepada Amarta dan mengiyakan ajakan pulangnya itu. Selama perjalanan pulang mereka berdua diam tanpa kata, mereka seakan enggan untuk membahas apapun lagi, padahal sebelumnya mereka sangat bahagia, makan es cream, dan menatap langit senja bersama. Sesampainya dirumah, Amarta langsung turun, namun sebelum masuk kedalam rumah Fanny terlebih dahulu keluar dari dalam rumah.

"Tante." Sapa Langit, ia lalu turun dan mencium punggung tangan Fanny. "Langit pulang dulu ya, Tan. Maaf sudah bawa pulang Amarta terlambat." Fanny tersenyum melihat kesopanan Langit.

"Hati-hati Langit!" ujar Fanny.

"Gua pulang dulu, Ta." Pamit Langit kepada Amarta. Namun beberapa langkah Langit menjauh, Amarta memanggilnya lalu mengejar Langit.

"Langit!" Langit membalikkan badannya, dan tepat saat tubuhnya sudah benar-benar menghadap Amarta, ia langsung menerima ciuman lembut dipipinya. Amarta mencium Langit begitu saja di depan Fanny. Setelah itu Amarta langsung memeluk Langit.

"Terima kasih ya untuk hari ini, lo hati-hati pulangnya! Nggak boleh ngebut!" Langit yang mematung tidak mampu berkata-kata lagi, ia juga sebenarnya malu dilihat oleh Fanny.

NestapaWhere stories live. Discover now