Dua Puluh Tujuh

62 8 0
                                    

"Aku tidak bisa membedakan caramu bersembunyi dariku,

aku tidak tahu bahwa kau benar-benar tidak ingin memandangku lagi."



Langit sudah berjalan bersama Amarta dikoridor rumah sakit, Amarta yang masih nampak bingung berusaha mengejar langkah kaki Langit. Ini kali pertama Langit mengajak Amarta pergi kesuatu tempat pagi-pagi sekali kecuali kesekolah.

"Kita mau ketemu siapa sih Langit?" tanya Amarta mencoba mengimbangi langkah Langit. Namun hingga tiba disebuah ruangan yang masih tertutup langkah Langit terhenti.

"Sebentar lagi kamu juga bakalan tahu." Langit menatap Amarta.

Langit kini mendekat kearah Amarta, dipeluknya sebentar gadisnya itu seakan ia tidak ingin kehilangan orang yang saat ini benar-benar ia sayang dan ia suka.

"Ta, setelah ini aku nggak bakalan tahu apa yang akan terjadi. Aku juga nggak bakalan tahu kamu masih akan menyukai ku atau tidak. Aku juga nggak tahu bagaimana dengan hubungan kita setelah ini. Aku akan terima semua keputusan dari kamu, asalkan kamu benar-benar bahagia dan tidak ada air mata lagi diwajahmu." Langit melepas peluknya lalu menatap Amarta.

"Janji ya untuk selalu tersenyum dan tidak ada air mata lagi." Amarta meraih tangan Langit, ia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Langit. Ia genggam tangan itu erat-erat mencoba mencari jawaban atas apa yang dikatakan oleh Langit, kekasihnya itu.

"Kita masuk yuk!" Langit membuka pintu ruangan itu, tangannya juga masih menggenggam tangan Amarta. Detak jantung mereka berdua mulai beradu cepat, Amarta yang penuh tanda tanya dan Langit yang sebenarnya belum siap melihat Amarta pergi meninggalkannya. Didalam ruangan itu nampak seorang ibu-ibu dan juga suaminya, mereka berdua sama-sama memandang kehadiran Amarta dan juga Langit. Namun tatapan mereka lebih ketidak menyangka dan terkejut saat melihat Amarta tengah berdiri didepan mereka.

Sama halnya dengan pasangan suami istri itu, Amarta juga tidak kalah terkejudnya melihat dua sosok orang yang ia sangat kenal. Saat pikirannya sudah jernih Amarta memperhatikan sekitar ruangan itu dan kali ini matanya berkaca-kaca saat melihat laki-laki yang sebenarnya sangat ia rindukan selama berbulan-bulan. Air matanya langsung menetes, ia pun lepaskan genggaman tangan Langit, Amarta berlari mendekat kearah Bagaskara.

Kalian tahu bagaimana rasanya menjadi Langit? Saat tangannya dihempaskan begitu saja ia sudah mulai merasakan bahwa ia akan kehilangan kekasihnya. Ia sudah mulai merasa bahwa pelukan tadi adalah pelukan terakhir yang ia berikan kepada Amarta. Terlebih saat melihat Amarta memeluk Bagaskara sembari sesegukan menangis seakan meluapkan rindunya yang sudah tertimbun sejak lama. Langit hanya bisa membeku kaku tak bisa berbuat apa-apa, ia seakan menyesali keputusan yang ia buat hari ini. Air mata tak tertahan menetes, ia pun segera membalikkan badan menghapus air mata dan keluar dari ruangan itu.

***

Tak pernah Amarta bayangkan, sosok yang ia sayangi selama ini terbaring lemah dengan selang infus yang masih menancap ditangan tangannya. Tak sengaja Amarta langsung melepas genggaman tangan Langit, ia langsung memeluk orang yang benar-benar ia rindukan selama ini, orang yang selalu ia bayangkan kehadirannya, entah ini ilusi atau nyata seakan tidak bisa ia bedakan. Air matanya sudah membanjiri baju pasien yang digunakan Bagaskara. Ia peluk erat laki-laki itu dengan sangat erat seakan tidak ingin melepasnya lagi, ia tidak ingin membuat kesalahan yang kedua. Sebegitu sayangnya ia dengan sosok laki-laki yang selama ini ia rindukan, ia sadar selama ini yang ia lihat adalah ilusi namun ia senang dengan ilusi itu, ia seakan Kembali ke masa-masa di mana ia selama Bagaskara selalu berdua.

NestapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang