Enam Belas

86 8 10
                                    


"Senyum ini terkadang bukan benar-benar senyum tulus yang merekah , terkadang ini hanya senyum palsu agar kau juga bisa ikut tersenyum bahagia. Karena aku tidak ingin kamu kembali terluka"

                                                                                                                                                                             – Langit –



~~~~~~~~


"Papa suruh kamu pulang tadi malam kenapa malah pulangnya jam segini?" Tanpa menghiraukan ucapan Gunawan, Langit langsung masuk ke kamarnya.

"Kalau kamu terus berperilaku seperti ini, mau tidak mau papa akan kirim kamu ke Amerika." Bentak Gunawan dengan suara amat lantang. Bahkan Sandra yang ada di dalam kamarnya mendengar teriakan Gunawan. Sementara Langit di dalam kamarnya hanya merebahkan tubuhnya sembari memasang earphone di kedua telinganya.

Hal seperti ini sudah sering sekali terjadi di rumah yang sangat besar ini, terkadang Langit memang enggan tinggal, namun ia tidak bisa sebegitunya tidak menghiraukan Gunawan. Dia adalah satu-satunya orang tua yang ia miliki sekarang. Tetapi sayangnya hubungan mereka berdua tidak pernah baik semenjak ibunya meninggal beberapa tahun lalu. Sebenarnya Sandra juga tidak bisa tinggal lama-lama di rumah ini, ia selalu lebih banyak tinggal di rumah kakeknya, menurut Sandra ia akan lebih tenang jika tidak mendengarkan keributan setiap harinya.

"Langit!!!" Panggil Sandra dari balik pintu kamar Langit. Sandra memutuskan untuk menemui Langit setelah Gunawan pergi. "Bukain dong, Papa udah pergi tuh." Ujar Sandra menyakitkan Langit. Tak lama pintu itu pun terbuka, wajah Langit yang tampan namun penuh akan rasa kantuk itu malas-malas kembali ketempat tidurnya membiarkan pintu kamarnya terbuka dan Sandra masuk kedalam kamarnya.

Sandra kini duduk di dekat Langit yang sedang tidur dengan memeluk guling bermotif daun-daun hijau. Ia tatap adik satu-satunya itu dengan seksama, hingga akhirnya ia menyentuh rambutnya dan mengelus-elus rambut adiknya itu. Setalah ibu mereka berdua tidak ada, Sandra mengambil alih peran ibu untuk Langit. Sandra menjadi tempat Langit bercerita, bermanja bahkan menangis.

"Kak, Amarta bisa sembuh nggak sih kak?" Tiba-tiba Langit membuka matanya dan menanyakan itu pada Sandra. Kini ia mengubah posisi tidurnya, guling yang tadi dipeluknya juga masih belum ia lepas. Langit kini menghadap kakaknya yang tepat berada di atas wajahnya. Sandra mengangguk mengiyakan pertanyaan Langit.

"Bisa, jelas sangat bisa. Dengan bantuan orang-orang disekitarnya Amarta bisa sembuh, dia butuh support dan dukungan yang kuat. Terlebih agar dia lupa dengan traumanya dan seseorang yang sampai saat ini ia pikirkan selalu ada disekitarnya." Dengan sangat penuh perhatian dan juga pengalaman yang sangat luas Sandra menjelaskan semua kemungkinan itu kepada Langit. Kepribadian Sandra inilah yang membuat Langit selalu nyaman bercerita tentang apapun itu kepada kakaknya.

"Apa Langit bisa buat Amarta sembuh?" kembali lagi Sandra menganggukkan kepalanya.

"Bisa. Selama Langit ikhlas dan tulus melakukan itu buat Amarta maka Amarta akan sembuh. Kamu suka sama dia?" Seketika Langit memandang wajah Sandra.

"Apaan sih kak. Hanya mau nolongin dia aja kok." Pipi Langit memerah lalu membalikkan tubuhnya keposisi semula, memunggungi Sandra.

"Alahhhh akak udah tahu sifat kamu, nggak usah bohong deh sama kakak." Goda Sandra semakin menjadi.

NestapaWhere stories live. Discover now