Dua Puluh Delapan

64 7 0
                                    

28

"Asing banget rasanya sekarang ya, kau menyatakan
bahwa aku selamanya tapi hatimu masih singgah di hati orang lain"

Hari ini, Amarta sudah berada dirumah sakit ia penuh perhatian merawat Bagaskara, ia lap tubuh Bagaskara dengan penuh perhatian. Sejak subuh sebelum ia berangkat ke sekolah Amarta sudah berada di rumah sakit. Terkadang ia sembari bercerita banyak hal kepada Bagaskara yang sejatinya tidak pernah mendengar apa yang dikatakan olehnya. Entah sudah beberapa kali Amarta menangis dipagi hari sembari mengelap tangan Bagaskara.

"Kamu tahu Bagas, aku itu selama nggak ada kamu rasanya rumah itu sepi, nggak ada kamu yang minta makan ke Bunda. Bunda kayaknya juga kangen banget sama kamu, cepet buka mata dong. Kita main di taman dekat rumah, bersepeda. Aku juga kangen banget kita bisa makan ketopraknya pak Iwan. Terus pulangnya beli es cream macha diseberang jalan sana." Ujar Amarta lalu meletakkan kain lapnya di nakas dekat tempat tidur Bagaskara.

"Ya sudah, aku berangkat sekolah dulu ya, nanti aku balik lagi kesini ya. Tunggu aku! Aku harap nanti kamu udah buka mata saat aku balik ya." Setelah ritualnya itu selesai Amarta langsung pergi dari ruangan itu, tak lupa ia juga berpamitan kepada ayah dan ibu Bagaskara.

Langitku ~ : Aku sudah di bawah

Notif pesan dari Langit sudah ada diponsel itu sejak lima belas menit yang lalu, Amarta segera membalas pesannya itu dan langsung turun menggunakan lift. Sesampainya dibawah Amarta melihat Langit dengan duduk Bersama satpam rumah sakit, seperti biasa ia mengenakan danim hitam kesayangannya, Amartal lantas menghapiri Langit.

Melihat Amarta datang mendekat, Langit lantas bergegas berpamitan kepada satpam yang sejak tadi ia ajak bicara, sembari menghilangkan rasa penat, ia sengaja tidak datang ketempat Bagaskara karena ia tidak ingin merasakan cemburu. Untuk saat ini mungkin ia sudah bisa mengendalikan rasa cemburunya itu. Namun saat itu, hari setelah ia mempertemukan Bagaskara dengan Amarta, keesokan harinya Amarta tidak berada dirumahnya, padahal setiap pagi Amarta selalu menunggunya datang untuk menjemputnya berangkat ke sekolah. Tapi pagi itu ia tidak menemukan siapa pun, sepi, bahkan tidak ada pesan apapun dari orang yang ia sayangi itu.

Entah dari mana pikirannya langsung tertuju pada Bagaskara, tanpa ragu Langit langsung bergegas menuju rumah sakit, sengaja ia cepatkan laju motornya hingga ia dengan cepat sampai rumah sakit. Tergesa-gesa juga ia langsung menuju tempat Bagaskara dirawat, dan benar saja Amarta ada di sana, sedang memeluk Bagaskara yang sedang tertidur. Jangan ditanya bagaimana perasaan Langit, sangat jelas ia sangat patah. Apa arti selamanya itu? Apa artinya hatinya katanya hanya untuk dirinya saja. Lalu untuk apa ia tanpa pamit langsung berada ditempat ini bahkan berani memeluk Bagaskara.

Langit sangat kecewa hari itu, ia turun, namun sebelum pergi ia mengirim pesan terlebih dahulu ke Amarta, sebuah pesan singkat yang seakan-akan tak terjadi apapun.

Aku hari ini tidak bisa jemput, papa minta aku untuk ikut dengannya.

Send

Setelah pesan itu ia kirim, Langit langsung pergi ke markas, ia lampiaskan amarahnya pada samsak yang sudah tersedia disana, seluruh emosinya ia kerahkan, seluruh kekesalannya ia lampiaskan pada samsak itu. Emosinya benar-benar meluap, peluh bahkan sudah membasahi bajunya hingga bentuk tubuhnya semakin terlihat nyata. Butuh berjam-jam ia melampiaskan amarahnya, bahkan apapun barang yang ada di dekatnya langsung ia buang dan hamburkan begitu saja. Lantas tidak lama setelah itu Langit berteriak sekencang-kencangnya.

Jangan tanyakan bagaimana ekspresi teman-temannya di sana, mereka tidak ada yang berani ikut campur, bahkan menegurnya saja tidak ada yang berani termasuk itu pun sahabatnya sendiri.

***

Bukan Langit Namanya jika ia benar-benar membiarkan Amarta pulang seorang diri. Langit memutuskan untuk menjemput Amarta di sekolahnya. Langit mencoba melihat sekelilingnya, ia tak melihat batang hitung Amarta sama sekali, hingga Langit bertemu Caraka.

"Cak, lo liat Amarta?" Cegat Langit begitu saja yang memang berhasil membuatnya terkejut.

Caraka menggelengkan kepalanya. "Nggak ada, eh tadi kayaknya sama Hannah deh. Nggak lo hubungi dulu kah?" Tanya Caraka mencoba mengingatkan Langit. Sebenarnya Langit sengaja tidak menghubungi Amarta, lebih tepatnya ia masih merasa cemburu pada pacaranya ini.

"Ya udah, gua duluan ya!" Caraka meneruskan laju motornya meninggalkan Langit sendirian didekat parkiran sekolah.

Langit akhirnya menyerah, ia hubungi Amarta, namun jawaban dari Amarta membuatnya semakin naik pitam. Amarta ternyata sudah berada di rumah sakit tempat Bagaskara dirawat, mau tak mau ia harus datang ke tempat itu dan Kembali menunggu diparkiran rumah sakit. Ada hamper sejam Langit menunggu Amarta di sana, Amarta tahu kalua dirinya sedang di tunggu oleh Langit, ia pun berlarian menghampiri Langit yang wajahnya sudah penuh dengan kekesalan.

"Udah lama ya?" Tanya Amarta sembari menyunggingkan senyumnya ragu, ia tahu betul ia membuat kesalahan, namun menurutnya ini tidak semuanya kesalahan dia Langit juga salah, tadi ia bilang kalua tidak bisa jemput, ya sudah Amarta memutuskan untuk pergi ke rumah sakit sendiri.

"Nggak kok baru juga sejam." Sontak jawaban ini membuat Amarta bungkam, semakin merasa bersalah dirinya. Amarta hanya menundukkan kepalanya tak berbicara sama sekali.

"Ya udah pakai ini!" Amarta menerima helm yang diberikan Langit meskipun sebenarnya Langit kesal dengan Amarta tetapi hari ini, seakan tak ada rasa cemburu Langit tersenyum kearah Amarta, seberapa berat pun ia sakit hati rasa sayangnya kepada Amarta tidak akan pernah lepas.

"Pakai ini, dan jangan lupa pegangan dengan erat." Ujar Langit sembari membenarkan helm yang dipakai Amarta, lalu mereka berdua melaju dijalan raya, tidak ada yang berbicara saat perjalanan. Mereka berdua membisu seakan tidak ada yang perlu dibicarakan. Entah apa sebenarnya yang mereka berdua pikirkan.

Hingga dijalanan yang hampir mendekati rumah Amarta memberanikan diri untuk berkata terlebih dahulu. "Maafin aku ya!" Langit yang tak mengerti dengan pembicaraan Amarta hanya diam tak menjawab apapun.

"Kamu marah ya?" Sekali lagi Amarta bertanya, dan kali ini Langit menatap lekat mata kekasihnya ini. Lalu dia menyentuh kedua pipi Amarta.

"Kamu masuk ya, kayaknya kamu Lelah banget hari ini, nanti mandi dulu pakai air hangat minum susu langsung istirahat ya. Jangan bergadang!" diusapnya kepala Amarta dengan penuh kasih sayang. Amarta hanya menunduk tidak mampu berkata-kata, ia ingin menangis namun tak bisa. Akhirnya ia hanya mampu memeluk Langit begitu erat.

"Maafkan aku, maaf aku tidak bisa menjaga perasaan kamu. Maaf tidak bisa menjadi kekasih yang benar-benar bisa menjaga hatimu. Tapi aku mohon jangan berubah Langit, jangan menjauh dan jangan tinggalkan aku." Tumpah sudah air mata Amarta, ia menangis dipelukan Langit, semakin erat ia peluk lelakinya ini.

"Sampai kapan pun aku tidak akan melupakanmu Amarta sayang, kamu akan selalu jadi wanitaku tidak akan pernah terganti." Setidaknya itulah perkataan yang selalu dirindukan Amarta, sebuah kasih sayang yang sama sekali ia tak pernah dapat dari orang lain, rasa cinta yang benar-benar cinta bukan hanya sekedar cinta sebagai saudara atau sahabat. Tetapi sebagai kekasih. Air matanya semakin deras mengalir, ia benamkan wajahnya didada Langit. Dan malam itu adalah malam terlama bagi mereka untuk berpelukan. Semilir angin pun seakan mendukung suasana ini, sejuknya dan sepinya membuat mereka berdua semakin nyaman berlama-lama berdua.

Sementara jauh dari tempat mereka, seseorang Tengah sibuk mencari barang dirumahnya, semua laci ia buka namun barang itu tidak ia temukan.

"Ahgg pakai ilang segala. Itu barang kalua tiba-tiba ditemukan orang lain habis sudah riwayatku." Ujarnya. Laki-laki paruh baya ini akhirnya duduk dan matanya masih mencari dimana barang itu ia simpan sebelumnya.




You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 05, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

NestapaWhere stories live. Discover now