DELAPAN

116 15 3
                                    

"Aku tak tahu sudah sejauh mana aku mencintaimu.

Bagiku melihat senyummu saja sudah cukup membuatku tenang.

Berjanjilah untuk tetap tersenyum, meski yang kau lihat bukan aku."

****

Ruangan itu masih hening menyisakan kebisuan yang tak pernah terbayangkan oleh seorang Langit Maharaja, dia yang selama ini hidup dengan kesedihan dan kepedihan dalam hati harus seketika terpaut dengan kesedihan seseorang yang memeluknya saat ini. Sejenak Langit teringat seseorang yang pernah berharga dalam hidupnya, Mama. Sudah sangat lama Langit tidak merasakan pelukan sehangat ini. Dulu setiap langit akan pergi sekolah Mama selalu memeluknya dan mencium keningnya. Kenangan itu terlintas begitu saja hingga membuat air matanya menetes.

Langit memandang Fanny, mencoba bertanya apa yang harus dia lakukan saat ini. Namun Fanny hanya menganggukkan kepala membiarkan Amarta memeluk Langit sedikit lebih lama.

"Bagaskara jangan tinggalin aku lagi, aku kesepian kalau ngga ada Bagaskara!" Pelukan Amarta semakin erat seakan tak mau orang yang dia cintai berlalu dan menghilang lagi dari hadapannya.

"Bagaskara janji ya jangan tinggalin aku lagi!" Amarta menatap Langit penuh dengan luka, entah sudah sedalam apa luka yang di rasakan gadis ini saat ini, mata sayu itu, mata yang mengisyaratkan kelelahan berhasil membuat Langit menganggukkan kepalanya berjanji.

"Aku janji ngga akan pergi lagi, aku akan selalu ada disisi kamu Ta. Kapan pun dan di mana pun." Tanpa pikir panjang Langit mengatakan itu, dan lihatlah mata Amarta kembali berkaca-kaca, ada sedikit kebahagiaan palsu yang ia lontarkan dari sorot matanya itu. Amarta kembali memeluk Langit. Kali lebih erat.

"Terima Kasih." Ujar Amarta sembari membenamkan wajahnya di dada bidang Langit.

***

"Tante minta maaf ya Langit, kamu jadi keseret masalah keluarga tante." Fanny menepuk pundak Langit yang duduk di sebelahnya. Amarta sudah tertidur di dalam.

"Tidak banyak yang tahu dengan apa yang terjadi pada Amarta. Semenjak kejadian itu semuanya berubah, keceriaannya yang sempat terenggut karena Ayahnya meninggal, kembali dia rasakan saat kecelakaan bersama Bagaskara." Fanny menundukkan kepalanya mencoba menghapus air mata yang sudah menetes satu persatu membasahi pipinya.

"Kenapa tante tidak menjelaskan kejadian sebenarnya kepada Amarta tan?" Tanya Langit mencoba mencari tahu.

"Sudah, tante sudah mencoba menjelaskan semuanya, bahkan tante ajak Amarta bertemu dengan Bagaskara. Namun semua itu tidak memperbaik keadaan, justru sebaliknya Amarta menyalahkan dirinya sendiri, bahkan marah-marah tak terkendali. Semenjak saat itu, tante tidak ingin lagi membuat Amarta merasa bersalah. Tante harus merahasiakan keadaan Bagaskara darinya."

"Tapi sampai kapan tante? Amarta bukan sembuh tan, malah dia akan semakin terpuruk. Langit mungkin bisa menjadi Bagaskara untuk Amarta. Tapi jika suatu saat nanti Amarta sadar jika semua itu hanya ilusi, entah apa yang akan terjadi tan."

Fanny menghembuskan napasnya panjang, apa yang di katakan Langit adalah kebenaran yang selama ini ia pendam, ia kubur begitu dalam. "Tante minta tolong sama kamu, jaga rahasia ini dari Amarta. Tante mohon."

"Langit tidak bisa janji tan, tapi Langit akan terus menjaga Amarta meskipun bukan nama Langit yang dia sebut." Langit lantas berdiri dan meninggalkan Fanny begitu saja. Sebenarnya dia tak ingin pergi meninggalkan Fanny dengan kesedihannya di sana, namun jika dia tetap di sana batinnya akan semakin tersiksa. Amarta sudah sangat menderita, tetapi penderitaannya bertambah saat kebenaran harus ditutupi dari dirinya.

NestapaWhere stories live. Discover now