DUA BELAS

117 14 9
                                    

"Cukup senyum kamu yang ku mau, Jangan pergi lagi.
Jangan lukis lukamu lagi". – Langit –

****

Keduanya masih duduk di sofa itu Air mata Amarta juga masih saja mengalir tak henti-hentinya. "Gua janji bakalan jagain lo Ta." Ujar Langit lantas menghapus air mata yang mengalir di pipi gadis di depannya itu.

"Untuk apa? Gua bukan orang yang lo kenal. Gua juga ngga normal. Gua hanya manusia yang tidak bisa lepas dari masa lalu." Amarta memundurkan badannya sedikit menjauh dari Langit.

"Gua ngga tahu, kenapa gua pengen banget jagain lo. Intinya gua pengen ngelakuin itu semua tulus buat lo Ta."

"Lo Cuma kasian sama gua Langit." Langit menggelengkan kepalanya menolak pernyataan yang di lontarkan Amarta.

"Bukan karena kasihan, bukan karena iba, semua ini Tulus Ta. Gua benar-benar pengen menjadi orang yang bisa jaga lo." Amarta menggelengkan kepalanya, ia lantas menyunggingkan senyumnya. "Dulu Bagaskara juga bilang seperti ini, dia bilang juga bakalan jagain gua setelah Ayah gua pergi. Tapi nyatanya apa, dia ngga pernah ada. Dia buang gua Langit." Air mata itu semakin menjadi mengalir.

"Gua bukan Bagaskara Ta, gua ngga bakalan ingkari ucapan gua sendiri. Apalagi gua ketua geng motor. Cemen banget sampai ingkar janji. Gua janji, ngga bakalan nyakitin lo." Langit menyerahkan kelingkingnya kearah Amarta.

"Janji?" Tanya Amarta dan di sambut anggukan oleh Langit. Kini kedua kelingking mereka jadi bertaut mengikrar janji. Ada senyum yang benar-benar tulus dari wajah Amarta, ini senyum pertama yang di lihat Langit.

"Hemm... hemmm" tiba-tiba Fanny terbatuk dari balik pintu.

"Bunda?" Keduanya bergeges melepaskan kaitan kelingking mereka masing-masing.

"Maaf Tante tadi Langit anterin Amarta pulang, dia tadi kehujanan jadinya Langit numpang neduh bentar." Dengan tergesa-gesa langit mengambil kunci motor yang ia letakkan sembarangan di meja.

"Tante saya pamit dulu ya." Langit benar-benar salah tingkah dan kalang kabut tak jelas.

"Langit." Langkah Langit terhenti saat hendak keluar menyalami tangan Fanny.

"Iya tante." Langit pun mengalihkan pandangannya kearah Fanny.

"Yakin kamu mau pulang?" Langit mengangguk mantap.

"Dengan pakaian ini?" menyadari itu Langit merasa sangat malu. Wajahnya bahkan benar-benar memerah saat ini. Sementara Amarta dan Fanny keduanya sama-sama tertawa melihat tingkah Langit yang sangat malu saat ini.

****

"Tante kita pulang dulu ya Tan, maafin temen saya ya Tan. Dia emang gini suka ngerepotin orang tiap harinya." Ujar Arsen. Iya Langit menghubungi Arsen agar menjemputnya dan pastinya meminta Arsen untuk membawakan baju ganti yang layak untuk dia pakai.

"Ngga papa kok Arsen, saya sudah biasa di repotin. Sering-sering main kerumah ya, biar rame terus rumah ini." Ujar Fanny yang memang merasa senang, akhirnya rumahnya kembali ramai. Dulu yang datang mungkin hanya Bagaskara. Hampir setiap hari dia datang, berbeda dengan Hannah dan Caraka. Keduanya kalau ada tugas kelompok saja mau datang kerumah Amarta. Entah mungkin mereka berdua punya kesibukan masing-masing.

"Siap tante, kalau tante kesepian panggil kita-kita aja, nanti kita bakalan hidupin mercon depan rumah tante biar rame." Dengan polosnya Arsen mengatakan itu hingga kepalanya mendapat pukulan keras dari Langit.

"Lo mau di demo satu kompleks ngidupin mercon di sini?" Tanya Langit.

"Ya kan kek gitu bisa rame lagi ni rumah." Ujarnya tanpa merasa bersalah sama sekali.

NestapaWhere stories live. Discover now