SATU

576 95 6
                                    

Teh kering dalam kotak penyimpanan sudah nyaris habis. Jadi, hari ini aku memutuskan untuk tidak menyeduhnya.

Dalam keadaan dunia yang sudah berubah ini, teh yang semula dimaknai sebagai barang yang tidak begitu penting, kini menjadi tinggi sekali nilainya. Mengalahkan apa-apa yang di dunia sebelumnya dianggap begitu berharga.

Sayang sekali. Tidak tahu lagi ke mana harus mencari jika teh ini habis nanti.

"Koaaak!"

Koak burung gagak yang terdengar tiba-tiba cukup mengagetkanku. Untung saja tidak sampai teriak. Bisa habis umurku detik ini juga.

Kububuhkan satu lagi coretan pada buku harian. Oh, tinta penanya sudah nyaris habis. Tampak dari coretan di ujung ekor huruf g pada akhir kalimat—hanya berupa guratan tipis di atas kertas.

Kuraba buku harian itu lalu kuamati. Kertasnya sudah berwarna kekuningan dan sudah mengkerut di mana-mana. Entah sudah berapa kali buku harian ini kecemplung air atau tertetes air hujan. Bagaimanapun aku berusaha menyimpannya, tetap saja kena basah.

Kawan, bagiku ini bukan buku harian biasa. Ini adalah rahasia di antara kita. Ini adalah penyambung nyawa. Ah, tidak. Bukan penyambung nyawa, melainkan penyambung eksistensi.

Tulisannya kubuat serapat dan sekecil mungkin supaya kertasnya tidak cepat habis. Aku yakin dalam keadaan seperti ini, kertas-kertas sudah dibakar untuk membuat api. Makanya jangan heran jika suatu saat nanti—saat kalian menemukannya, kalian harus ekstra teliti saat membacanya. Mungkin kalian tidak akan bisa membedakan tanda bacanya. Toh aku sudah tidak peduli lagi dengan tanda baca. Pada keadaan seperti ini, lebih baik memprioritaskan isi.

"Koaaak!"

Ah, burung gagak lagi. Sepertinya dari tadi makhluk itu hanya berputar-putar saja di atas kepalaku. Aku heran, mengapa burung ini masih bisa bertahan di dunia dengan keadaan seperti ini? Barangkali karena memakan bangkai? Ya, ya, tentu saja. Ada terlalu banyak bangkai yang tersedia buat makan malam mereka.

Andai saja aku adalah burung gagak. Pasti aku sudah kekenyangan. Dengan sayap-sayap hitam itu aku bisa terbang bebas ke manapun aku mau, tanpa perlu menanjaki bukit-bukit yang kini mulai meninggi rumputnya sampai mengaburkan pandangan atau harus bersusah payah memanjat pohon kelapa ketika sudah musimnya berbuah.

Tidak, tidak. Aku tidak boleh berkata seperti itu. Padahal sudah begini lama aku bisa tetap bertahan hidup—ngomong-ngomong, aku tidak tahu sudah lewat berapa lama sejak Peristiwa Itu terjadi karena matahari terbit-tenggelam dengan tenggang waktu yang tidak pernah sama. Harusnya aku bersyukur, saat ini masih kuat berjalan, kuat cari makan, dan kuat buang air besar. Jika aku menyerah sekarang dan minta untuk jadi burung gagak, itu artinya diriku tidak ada bedanya dengan Orang-Orang Lain.

Apa? Aku tidak takut, pikirmu? Huh, jangan salah. Aku sa-ngat takut. Aku bicara padamu seperti ini sebenarnya untuk mengusir rasa takut. Rasa takut akan apa? Banyak. Tidak bisa aku sebutkan satu-satu. Lama kelamaan kau juga akan mengerti, Kawan.

"Uhuk! Uhuk!"

Aku terbatuk dua kali. Lalu setelahnya pusing menghinggapi kepala. Pusing ini semakin sering mendera. Seperti ada gumpalan benang wol yang menyumbat di beberapa titik, tapi aku tak tahu bagaimana cara menariknya keluar. Mungkin dari lubang telinga? Entah, tidak pernah terpikir untuk mencoba.

Untuk mengusir pusing, kubuka masker gas yang nyaris setiap hari kupakai dan kuhirup sesedikit mungkin udara terbuka. Kemudian, kuelus kening dan kupukul-pukul sedikit—dengan begitu kukira pusingku akan hilang, tapi ternyata tidak. Aduh...

Daripada memikirkan kepala yang pusingnya tidak seberapa, aku lebih memilih untuk membuka katup pena dengan cara memutarnya, lalu menarik selongsong bening berisi cairan tinta. Benar saja, cairan tinta hitam itu hanya nongol pada ujung bawah selongsong, tinggal sedikit saja. Kebiasaanku kalau sudah begini, akan kutiup-tiup lubang selongsong lalu kukocok sedikit, dengan harapan tinta beku yang tinggal sedikit akan meleleh kembali.

Jangan menganggap remeh tindakanku ini—yang memang merupakan tindakan remeh sebelum Peristiwa Itu terjadi. Aku berlaku begini karena tinta ini amat berarti bagiku dan tentunya bagi kalian di masa depan. Seperti yang sudah kuceritakan di awal.

Setidaknya tinta ini harus bertahan hingga aku menyerah kelak—yang aku pun tidak tahu kapan. Dan sama denganku, rupanya tinta pena ini belum menyerah. Setelah kukembalikan pena ke wujud semula lalu mengelus brewok yang sudah rimbun hingga nyaris menutupi setengah wajah bagian bawahku, aku mencoba menulis—kali ini huruf a di paragraf awal. Oh, syukurlah. Huruf a itu tertulis sempurna.

Jadi, aku melewatkan sore itu dengan menulis buku harian beberapa baris lagi, mulai membuat api dari ranting dan dedaunan yang kukumpulkan tadi siang, membuka-buka tas untuk mencari beberapa kaleng sarden sebagai menu makan malam, lalu tentu saja—melamun.

Selalu begitu. Melamunkan masa lalu. Suatu masa yang beberapa hal di dalamnya mulai menghilang perlahan-lahan dari ingatanku. Bagai menyublim. Kenapa kupakai kata menyublim, alih-alih menguap? Sebab menurutku memori itu berbentuk padat, bukan cairan. Saking padatnya, sampai-sampai kau harus menyiapkan pisau tajam untuk mengkorek isi bagian terdalamnya.

"Oh, sebuah buku harian," kata seseorang dari belakang punggungku saat kuambil kaleng sarden dari atas api. Agak terlonjak karena suaranya yang muncul tiba-tiba dan tanpa sempat memakai masker gas, aku pun berbalik untuk melihat wujud orang itu.

"Oh, hai," sapa sosok itu dengan mata bulatnya yang memuakkan. Pantas, suaranya yang artifisial itu...

"Oh, tidak. Jangan lagi," bisikku di antara koak burung gagak.

+++

Tea at The End of The WorldWo Geschichten leben. Entdecke jetzt