SEPULUH (Bagian 2)

36 12 0
                                    

Saat itu aku sekelas dengan Pradja yang masih bernama Supradja. Ia adalah anak kurus kering yang pemalu dan tidak punya teman. Saat istirahat, ia hanya duduk di bangkunya yang berada di pojok ruang sambil merajut. Ya, merajut yang itu. Membawa-bawa benang wol sintetis dan jarum rajut ke mana-mana. Memang dia ini dianugerahi kemampuan merajut yang luar biasa. Ia bisa membuat apa saja dari benang itu. Kecuali membuat dirinya dianggap ada.

Anak kurus itu membiarkan poninya panjang menutupi wajah. Prestasinya pun tidak terlalu cemerlang. Seakan kehadirannya hanya bayang-bayang saja—ada atau tidak ada, tidak ada bedanya.

Berbeda sekali denganku, yang selalu kehabisan waktu istirahat sebab setiap saat kawan-kawan selalu datang bergantian. Kawan lelaki selalu meminta saran tentang akademik, olahraga atau bahkan percintaan. Sementara kawan perempuan datang sambil memainkan rambut panjang, mengerjap untuk menarik perhatian.

Kami memang berkebalikan seratus delapan puluh derajat, tapi kami sama-sama tertarik pada satu hal: pertukangan kayu. Di sela waktu saat tidak ada kawan yang mengajakku bicara, aku selalu duduk di bangkunya. Dan di sela-sela aku mendatangi bangkunya, ia selalu mengerjap malu karena ketahuan selalu mengawasiku.

Ayahnya adalah seorang desainer interior yang cukup berada. Ibunya seorang pebisnis mebel sehingga ia sering membawa majalah-majalah atau katalog ibunya. Sebenarnya itulah alasan utamaku mau berteman dengannya.

Diskusi kami selalu berlangsung cepat dan singkat. Namun, dari diskusi-diskusi kecil itulah kami merasa punya kesamaan. Walau begitu, ia selalu saja luput dari daftar kawan yang akan kuajak pergi makan atau pergi main. Sudah kujelaskan di awal, dia itu bagai bayang-bayang. Sebenarnya ada tapi tak pernah dipanggil namanya.

Hingga suatu kali di perkemahan Sabtu-Minggu saat kelas tujuh.

Dalam kegiatan susur alam, aku terpisah dari rombongan. Sendirian saja di tengah hutan pinus bukanlah hal yang menyenangkan bagi seorang anak berumur empat belas. Dan lagi, hari sudah mulai gelap. Saat itulah datang seseorang yang menepuk bahuku. Seorang lelaki berjenggot lebat. Awalnya aku ketakutan, tapi dia bilang bahwa dia adalah seorang penebang kayu yang tinggal di dekat situ. Ia akan membawaku kembali ke perkemahan, tapi setelah aku ikut dengannya ke gubuknya. Aku menolak, takut kalau dia ini adalah orang jahat. Menanggapi hal itu, dia bilang di gubuknya, ada anak seusia denganku yang mengaku bernama Supradja. Aku bingung. Bagaimana Pradja bisa ada di gubuk Paman Penebang Kayu?

Oleh karena rasa penasaran, aku turut sang paman pergi ke gubuknya.

Di gubuknya yang kumuh, seseorang tengah mengamati pahatan kayu sang paman dengan mata berbinar. Supradja, anak itu, melompat-lompat girang saat mengetahui kedatanganku. Kutanya, bagaimana ia bisa berada di sini. Dengan wajah malu-malu, ia bilang kalau ia terus menerus memperhatikanku saat kegiatan susur alam sehingga ia pun tahu-tahu ikut tersesat bersamaku (alasan aneh yang tidak terasa aneh kalau Supradja yang lakukan).

Lalu kami berpamitan kepada paman tukang kayu. Namun, sang paman berkata bahwa hari sudah malam dan ia akan mengantar kami ke perkemahan besok pagi. Aku menolak dan bersikeras memintanya mengantar kami ke perkemahan saat itu juga. Sang paman berkata, baiklah ia akan mengantar kami, tapi ia ingin memahatku dulu.

Aku bingung dengan perkataannya itu. Sang paman bilang, ia kagum dengan dirku, seorang anak lelaki yang manis dengan wajah memukau. Ia ingin mengabadikan pertemuanku dengannya dengan cara membuat pahatan diriku. Saat itu, aku merasa pancaran mata sang paman yang berubah. Maka, aku segera menarik tangan Pradja dan memintanya ikut pergi bersamaku. Namun, Pradja justru menahan tanganku. Ia berkata, ingin dipahat oleh paman itu. Makanya ia minta pada sang paman untuk memahat dirinya saja menggantikanku. Sang paman tentu saja menolak tapi Pradja terus merengek. Akhirnya sang paman menyerah. Aku dibiarkan pergi dan Pradja ditinggal. Dengan berjalan lurus dari gubuk sang paman, tidak disangka aku sudah bisa mencapai bumi perkemahan. Rupanya sang Paman memang berniat menahan kami semalaman.

Tea at The End of The WorldWhere stories live. Discover now