SEPULUH (Bagian 4)

30 9 0
                                    

Dunia telah berakhir.

Kalimat berisi tiga kata itulah yang melintas di benak saat aku telah berbaur dengan dunia yang sebenarnya. Bahuku melorot saat melihat keadaan di luar kafe. Kegelapan tadi secara aneh membuat beberapa hal lenyap. Bangunan tinggi yang merupakan simbol keserakahan manusia, jalanan aspal dan kendaraan sebagai simbol keinginan manusia merambah dunia secara cepat, semua hancur akibat sesuatu yang tak terdeteksi. Seakan bukan kiamat atau akhir dunia. Ini lebih mirip sebagai pembersihan. Penyucian kembali.

Aku berjalan tersaruk-saruk sembari menggenggam buku catatan yang diisyaratkan Pemilik. Beberapa kali aku termenung oleh pemandangan yang mengerikan. Tubuh-tubuh bergelempangan tertimpa bangunan, teriakan histeris orang-orang yang kehilangan segalanya, dan api yang menyambar di mana-mana. Kumasukkan buku catatan itu ke dalam tas selempangku saat kulihat ada beberapa orang yang berlarian ke arahku.

"Hei, apa yang terjadi?" aku bertanya pada seorang pemuda yang berlari ke arahku itu.

"Tidak tahu! Tidak tahu!" ia berteriak-teriak. Kedua tangannya terlipat di dada, tampak penuh dengan—apa itu? Ah, pakaian dan kantung-kantung plastik... Di belakangku berlarian banyak orang dari arah sebaliknya. Orang-orang itu menuju satu arah yang sama: sebuah bekas mall yang ambruk separuh.

Orang-orang menggila. Di satu sisi ada orang-orang yang menangis merenungi nasib yang berubah tiba-tiba, di sisi lain ada yang memecah kaca-kaca toko dan mengambil apa yang bisa diambil.

"Polisi! Polisi! Di mana polisi di saat seperti ini?" aku berteriak-teriak sendiri. Seseorang berlari ke arahku dengan mencengkeram kotak yang penuh berisi apapun. Aku mencegatnya.

"Apa yang kau lakukan di saat seperti ini? Coba cari ambulans atau polisi!"

Namun, orang itu justru menabrak bahuku dan menggeram. "Makan tuh polisi!" lalu kabur sampai barang-barangnya yang berada dalam kotak berjatuhan ke tanah.

"Hei!" aku mencengkeram tangan orang yang lain lagi dan menghardik dengan cara yang sama, tetapi kali ini justru dihadiahi bogem mentah. Aku tersungkur memegangi pipi yang memar. Orang-orang berlarian membawa keselamatan mereka sendiri. Mereka saling rebut, saling pukul, dan saling cibir. Sementara aku, hanya merenungi keadaan yang tak kutahu padanan katanya dalam kamus besar bahasa. Lamat-lamat, akhirnya aku tersadar:

Kepedulian sudah tidak ada artinya.

Agar bisa bertahan, maka aku tidak boleh peduli. Ya, ya, kenapa baru sadar sekarang, Pak Tua? Hahaha! Hahaha!

Berkebalikan dari arah orang-orang yang berbondong-bondong menuju mall, aku merangsek ke arah jalan pulang ke kontrakan. Orang-orang itu boleh menjarah apa saja, tapi jangan boneka koleksiku!

Dengan kecepatan maksimal, aku berlari keluar kerumunan. Yang terpikir sekarang bukan makanan atau pakaian, tapi boneka koleksiku. Bagaimana mungkin aku bisa hidup tanpa mereka? Melewati tikungan jalan besar, aku menambah kecepatan. Kubuang dasi yang semakin terasa mengganggu. Aku telah melewati kantor. Bangunannya rusak parah namun belum runtuh. Setelah dari rumah, aku berniat pergi ke sana untuk melihat keadaan.

Tubuhku mulai merasakan kelelahan. Nafasku memendek dan lariku semakin pelan. Hingga akhirnya aku tidak sanggup lagi berlari. Ketuaanku mengambil alih. Untuk merebutnya kembali, kuambil nafas sebanyak-banyaknya sembari melihat sekeliling. Keriuhan di sekitar terlihat sepeti pusaran angin puting beliung saja. Terus berjalan santai walau menghancurkan setapak yang dilewatinya.

Aku mulai mencoba berpikir seperti orang lain.

Di depan lahan parkir sebuah bank, aku melihat beberapa mobil dan motor. Dengan langkah terseret aku menuju ke sana. Mengendap-endap seperti maling kampung. Beberapa mobil sudah rusak cukup parah akibat tertimpa sesuatu atau memang penyok tanpa sebab—seperti beberapa barang lain. Agak beringasan aku mengintip satu per satu mobil yang masih tampak bisa digunakan, berharap ada pengemudi—yang sebentar lagi jadi mantan—yang ceroboh meninggalkan kuncinya tergantung di sana.

Tea at The End of The WorldWhere stories live. Discover now