SEBELAS (Bagian 1)

28 9 1
                                    

Torso tidak kunjung kembali. Luka bekas panah di tanganku sudah mulai mengering walau masih terasa berdenyut-denyut. Hara tidak bicara sesering dulu padaku. Dan bekal kami semakin menipis. Sehari-hari hanya kuhabiskan dengan menulis buku harian yang akhirnya habis juga kertasnya. Untung entah Hara atau Torso atau orang lain membawakanku satu lagi buku tulis usang yang kemudian kugunakan sebagai buku harian jilid II. Aku tidak ambil pusing bagaimana dia bisa mendapatkan buku tulis ini maupun apa yang sedang ia rencanakan terhadapku. Untuk kali ini saja, dia sengaja kujadikan celah kosong untuk penyeimbang dari segala kepenatan.

Kemarin kami—aku dan Hara—baru saja tiba di bekas planetarium di atas bukit di ujung kota. Kubahnya yang sudah bobrok tidak tampak mencolok dari kejauhan. Selain itu kurasa tidak ada orang lain yang mau repot-repot kemari. Bagaimana soal Torso, ya? Entah mengapa aku yakin, ke mana pun aku pergi, Torso pasti akan mengikuti.

Dalam keremangan sore yang muram itu, aku menapaki tangga-tangga planetarium sambil termenung. Di planetarium rusak yang sunyi itu, suara cekikikan anak-anak seakan terdengar nyaring, memantul di tembok yang masih menampakkan gambar benda-benda langit plus beberapa kata keterangannya. Dulunya tempat ini pasti terasa riang dan menyenangkan bagi anak-anak. Mempelajari hal baru, bertemu kawan baru, melihat dunia baru...

Apakah dulu mereka sadar jika keriangan itu akan segera berakhir? Entahlah. Bangunan planetarium yang teronggok sendiri inilah saksi bisunya.

Di anak tangga paling atas, tepatnya di sebelah teleskop yang tidak lagi berfungsi—anehnya aku ingat nama benda itu—aku duduk dan mulai menatap langit senja. Di saat seperti ini lagi-lagi aku ingat langit-langit kamarku dulu yang ditempeli bintang-bintang hasil kreasiku. Lalu bayangan wajah ibu menghinggapi kepalaku. Entah mengapa wajah ibu selalu hadir setiap kali aku bersinggungan dengan urusan bintang gemintang. Rasanya baru kemarin ia mengadiahiku stiker bintang yang bisa menyala dalam gelap untuk dipasang di langit-langit kamar. Kenangan itu terasa begitu nostalgik namun menyiksa dalam waktu bersamaan. Di balik kenangan indah itu, hari ini teringat olehku mengenai bagaimana Pamanku yang tercinta, selalu tampak sedih wajahnya ketika ia menyanyikan lagu 'Paman Tukang Kayu' pada lirik bagian 'lihat-lihat anakku'.

Dan malam ini, saat semua kenangan itu terasa sangat fana dan buyar, aku baru menyadari betapa banyak kemiripanku dengan Paman seiring aku bertambah dewasa. Rambut ikal tebal yang hitam kelam, hidung yang kokoh, jambang yang tak hentinya tumbuh, iris mata kelabu yang unik, serta tubuh tegap yang meski tidak diusahakan pun tetap akan berbentuk begini. Apa mungkin kini aku sudah mencapai cita-citaku yang dulu: menjadi sosok seperti Paman? Kalau memang begitu, aku harusnya senang. Namun, ada suatu perasaan mengganjal tepat di tengah rasa senang itu. Tidak lain adalah kata terakhir ibu sebelum ia pergi dari rumah malam itu.

Maafkan ibu dan Pamanmu. Kami melakukan semua ini demi meneruskan trah. Tidak lain.

Kepalaku mendadak sakit. Luka di lenganku pun kembali terasa seperti terbakar. Untuk mengusir rasa sakit itu, segera kukeluarkan harmonika dari saku. Kumainkan nada-nada apapun yang kuingat.

Terereeet... tererereet. Tereet tetetereeet...

Bumi yang dulu, terasa sangat jauh, jauh, jauuuuh.

Tetetetet... Tereeerereeet...

"Pak Tua! Pak Tua!" suara Hara menyusup di sela nada-nada harmonikaku. Aku melongok ke bawah dan menjumpainya melambai-lambai. Ia tidak bersuara kencang, hanya berpantomim, menggerakkan bibirnya untuk mengeluarkan kata-kata tanpa suara dengan raut wajah tegang. Tangannya menunjuk-nunjuk pintu masuk.

"Torso?" tebakku. Ia mengangguk-angguk cepat. Seperti dikomando, aku pun beranjak mengantongi harmonika lalu melompat turun dari tangga dua-dua.

"Aku lihat dia jalan menuju kemari saat aku ke semak-semak tadi. Mungkin lima menit lagi sampai sini! Apa yang harus kita lakukan?" Hara berseru panik begitu aku sampai di dekatnya.

Tea at The End of The WorldWhere stories live. Discover now