TIGA BELAS KOMA LIMA

82 11 2
                                    

Sekembalinya saya dari gudang, saya menjumpai Mister yang sudah meninggal dalam ketenangan. Seperti tertidur saja. Benar kata Mister dulu, jasad yang sudah tidak bernyawa menjadi lebih baik keadaannya. Mister terlihat sangat tampan dan muda.

Si Bayi dalam pangkuannya menangis kencang, seakan tahu bahwa 'ayah angkatnya' telah pergi untuk selamanya. Bagaimana dengan saya? Apakah saya menangis? Anehnya, saya justru tidak menangis sama sekali. Saya tidak tahu dari mana pikiran ini berasal tapi saya meyakini bahwa, Mister tidak benar-benar mati.

Kemudian, bertemankan kesunyian, saya mencari lahan kosong untuk memakamkan Mister—sengaja menguburkannya agar sama dengan Si Gadis Hara. Tidak lain oleh sebab otak kayu saya yang terus merengek, minta buat membantu mereka kembali menyatu dengan Ibu Bumi.

Di belakang kafe, rupanya ada satu petak halaman yang ditumbuhi rumput-rumput liar. Saya membabatnya cepat lalu menyambar sekop yang tadi sengaja kami bawa dari tenda sirkus—yang semula kami maksudkan untuk senjata.

Seharian saya menggali lubang itu, lalu merapikan jasad Mister, memasukkannya dalam liang lahatnya, menyelimutinya dengan kain apapun yang saya temukan, memasukkan benda-benda kesayangan Mister (harmonika, topi tinggi dan masker gas), lalu menutup makam itu dengan tanah.

Terpekur agak lama saya memandangi gundukan tanah memerah yang melahap habis tubuh Mister. Dalam kesendirian yang datang tiba-tiba itu, mendadak saya teringat sesuatu. Lalu saya ambil sesuatu itu—berupa sebuah benda yang akhirnya bebas saya perlihatkan pada dunia.

Saya genggam kacamata hitam yang diam-diam saya simpan di bagian terdalam tas Mister. Menjadi semacam jimat keberuntungan. Kacamata ini saya dapat dari seseorang yang selama ini terus meminta bantuan saya... Orang aneh yang terus datang bersama dengan seekor rusa albino putih gemuk.

Ia membangunkan saya tidak pada waktunya lalu meminta saya untuk pergi menemui Mister. Saya mengikuti perintahnya. Lalu pria misterius itu memanggil saya lagi beberapa saat setelah saya ikut dalam perjalanan Mister. Ia menyuruh saya untuk membantu seorang ibu hamil yang sedang melahirkan anaknya. Saya tinggalkan si ibu bersama anaknya segera setelah ia melahirkan. Betapa terkejutnya saya saat kembali berjumpa dengan anak bayinya beberapa bulan kemudian. Anak itu adalah si kecil yang sedang saya gendong ini. Saya tidak yakin sepenuhnya, tapi sepertinya kebetulan ini adalah kerjaan si pria misterius juga.

Terakhir ia memanggil saya, ia menyerahkan jaket parasut dan pistol untuk saya berikan pada Mister, sebagai hadiah ulang tahun Mister, katanya. Tidak lupa ia memberikan saya sebuah kacamata hitam yang ia berikan hanya untuk saya simpan. Katanya, kacamata itu tidak boleh dilihat oleh siapapun terutama oleh Mister. Sebagai kenang-kenangan sekaligus jimat tolak bala, katanya. Sebab ia tidak akan bertemu lagi dengan saya untuk waktu yang lama.

Saya sama sekali tidak kenal pria itu. Ia pun tidak memperbolehkan saya bertanya. Jadilah dulu saya dicurigai oleh Mister sebab sering pergi tanpa penjelasan.

Tidak apa-apa. Efek domino dari segala permintaan si pria misterius sudah lebih dari cukup untuk menghibur saya.

Yah...

Saya tidak memungkiri bahwa sosok Mister sungguh luar biasa. Tidak menyesal saya terpilih untuk menemaninya. Tidak terdeskripsikan kekaguman saya pada Mister. Maka saya pun membuat sebuah patok untuk kuburnya. Dari batu pecahan dinding kafe yang saya ukir seindah mungkin. Sebuah patok dengan dua baris nama dirinya, saya patrikan di sana:

Mr. Tirto Yudho

atau

Raden Mas Tirto Yudho Tjokro Buwono

Mister Yudho telah menyelesaikan misinya mempertahankan eksistensi manusia dengan segala keterbatasannya. Misi itu berwujud dua buku harian penuh tulisan rapat-rapat mengenai kisah hidupnya yang kini telah saya simpan baik-baik untuk kelak dibacakan pada generasi bayi ini dan seterusnya.

Tubuh Mister Yudho memang telah lenyap. Segala bukti keberadaannya selama ini akan kandas dalam sekejap. Namun saya yakin, suatu saat Mister Yudho akan kembali lagi pada bumi ini dengan wujud berbeda, dengan tetap menunaikan misi yang sama. Dan buku hariannya adalah kontrak yang mengikat ia dan dunia.

"Ma-ma! Mamama!" si Bayi mendecak-decak bahagia, mengulurkan tangan pada saya yang juga ikut tertawa karenanya. Dengan mata bulat si Bayi sebagai saksi, saya berjanji pada Mister Yudho, bayi ini akan saya besarkan sepenuh hati. Sebagai perwujudan puteri kecil Mister Yudho. Kelak di masa depan, saya ingin sekali dia dapat mengenal ayah angkatnya yang luar biasa itu.

Si kecil terus tertawa. Saya membalasnya.

Tepat pada saat itu, pada senja yang mulai menampakkan siluetnya, saya seperti melihat silet rusa gemuk di belakang pohon beringin di muka halaman belakang kafe. Di sebelahnya, saya seakan menangkap keberadaan siluet manusia. Sedang berdiri saja, memperhatikan saya.

Saya sepertinya tahu siapa dia, tapi untuk kali ini saya tidak tertarik untuk menyapanya.

Sebab di tengah senja yang sunyi, saya telah dibawa larut dalam kedamaian sebuah kubur bertabur bunga indah itu. Saya pun menyenandungkan sebuah lagu yang terus terngiang di benak sejak pertama bertemu dengan Mister dahulu sekali.

"Don't they know, it's the End of The World? It ended when you said 'goodbye'."

+++

Suatu hari, tahun 2015

Digubah ulang Senin, 31 Mei 2021

Tea at The End of The WorldWhere stories live. Discover now