SEMBILAN (Bagian 1)

49 14 0
                                    

Pagi itu aku memutuskan untuk meneruskan perjalanan menuju pantai. Bekas pasar malam itu memang nyaman namun kurasa agak terlalu mencolok, jadi sangat rentan dilirik orang. Masih dengan mengenakan topi tinggi dan masker gas, membuntutlah Torso (dengan sendi-sendinya yang ber-kriet-kriet mengerikan) dan Hara (yang sepanjang jalan terus menjelek-jelekkan Torso. Hari ini dia memakai celana yang kuberikan lagi).

"Masih jauh?" keluh Hara saat matahari sudah condong di atas kepala. Ia sudah mencopot jaket merahnya sehingga hanya mengenakan singlet hitam.

"Tidak tahu. Seingatku beberapa kilo lagi kita akan sampai di pantai."

"Itu saat dunia belum berakhir..."

"Ya. Benar sekali. Dulu rasa-rasanya dekat sekali, dari kantor ke pantai. Karena selalu naik... Naik... Apa namanya? Alat yang bisa dikendarai untuk pergi ke mana-mana?" tanyaku kikuk. Aku terkaget-kaget sendiri. Benar-benar lupa dengan nama benda di masa lalu!

"Mobil?" jawab suara serak Torso.

"Ah, iya, iya, mobil. Ada bahasa Inggrisnya, apa ya, aku lupa..." kataku tambah kikuk. Nyaris kubuka masker gas saking paniknya.

"Car," jawab Torso dengan wajah badaknya.

"Benarkah itu?" tanyaku kurang yakin pada Hara.

"Entah. Aku juga sudah lupa. Lebih tepatnya sih, tidak peduli..." jawab gadis itu sambil memain-mainkan ujung rambutnya. Sepertinya ia masih canggung bicara banyak-banyak padaku setelah peristiwa celana kemarin malam.

"Kalau itu namanya bus."

Aku mengikuti arah yang ditunjuk oleh jari Torso. Benar juga. Itu namanya bus... Sebuah mobil besar yang muat dinaiki beberapa orang. Dulu rasa-rasanya aku sering naik benda itu. Bagaimana rasanya, aku sudah lupa... Entah lupa karena sudah sejak lama tidak naik, atau karena aku yang semakin tua...

Bus yang sudah menghijau karena ditumbuhi tanaman rambat itu berada agak menjorok ke dalam semak-semak rimbun dengan bunga-bunga indah. Sepertinya memang sengaja ditinggalkan di situ. Mungkin kehabisan bahan bakar. Ya, kalau tidak salah, seingatku benda semacam itu hanya bisa bergerak kalau diberi minyak apalah itu namanya.

Benar juga kata Pemilik dulu. Kalau salah satu dari bagian siklus telah terputus, maka bagai efek domino, semuanya akan ikut kacau juga. Ah, tapi mengapa sampai sekarang aku masih juga ingat dengan perkataan Pemilik, ya? Lelaki itu rupanya memang sudah memodifikasi otakku sedemikian rupa.

"Bagaimana kalau kita tinggal di sana saja? Cukup tertutup," usul Hara. Rambutnya berkibaran tertiup angin. Memang hari ini angin bertiup cukup kencang. Di zaman dulu, angin kencang semacam ini seingatku menandakan jika sebentar lagi akan turun hujan. Namun di masa ini, aku tidak bisa jamin. Toh cuaca masih begitu panas. Terkadang hujan pun bisa turun dengan deras di cuaca sepanas ini. Kalau sudah begitu biasanya malam akan dingin dan tunas-tunas bunga baru akan bermunculan keesokan hari.

"Bagaimana? Kita tinggal di sana saja?" ulang Hara. Aku mempertimbangkan usulnya.

"Hm... Ya. Kita bisa tinggal sementara di bus itu. Begini saja. Hara dan Torso, kalian masukkan barang-barang ke bus itu. Habis itu jangan ke mana-mana. Tetap tinggal di dalam bus. Aku akan cek sekitar, kalau-kalau ada sumber air dan makanan," kataku berlaku macam komandan pasukan.

"Oke," kata Hara dan Torso nyaris bersamaan. Mereka saling lirik, lalu seperti dikomando, berjalan saling memunggungi dengan arah berlainan untuk menuju bus. Aku menghela nafas di dalam masker gas.

Aku pun melangkahkan kaki meninggalkan bus untuk masuk ke dalam area yang dipenuhi pepohonan teduh. Rumput ilalangnya tinggi-tinggi. Bisa dimanfaatkan untuk bersembunyi para penjahat. Namun setelah kucek, tidak ada tanda-tanda tempat itu pernah didatangi orang karena tidak ada jejak api unggun atau tanah lembek bekas ditiduri.

Tea at The End of The WorldWhere stories live. Discover now