DUA BELAS (Bagian 1)

22 9 0
                                    

"Sadarlah, Pak Tua!"

"Aah..."

Aku ambruk menjauhi api. Hanya bisa memandangi jilat-jilatan api yang semakin lama hanya menyisakan debu bara yang terbang ditiup angin. Di sana, mereka yang tak dapat kuselamatkan pasti sedang tersiksa berat...

"Tidak... Hidupku... Cintaku..." aku hanya bisa bergumam sambil terpaku. Melongo habis. Pasti saat itu wajahku sudah tidak karuan lagi.

Aku menggeliat, berusaha bangkit. Walau kutahu, bangkitku saat ini tidak lain hanyalah untuk semakin dekat memandang langit yang telah berubah merah merekah. Saat itulah, sebentuk kehangatan menjalari tubuhku yang semula dingin di antara panasnya kobaran api. Kehangatan itu hadir dalam bentuk tangan mungil yang terus memelukku dari samping, membenamkan wajahnya pada lenganku.

"Kita harus segera pergi dari sini, Pak Tua. Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan..." suara yang tak kalah mungil dari tangannya menyusul kemudian. Aku yang masih syok, memandang diam-diam dirinya yang masih juga memelukku. Kutemukan segumpal rambut bulat bersender kuat pada lenganku. Apakah ia anak yang sama dengan yang menangis di kereta dulu itu?

Pemilik rambut hitam tebal itu mendongak. Matanya tampak teguh. "Mari, Pak Tua..."

Oh...

"Mari pergi, sebelum api menjalar sampai sini," kata gadis berambut pendek itu lagi, sembari melepaskan pelukannya dan menarikku pergi. Aku menurut. Sebab pipinya yang tembam telah bercemong hitam, menandakan betapa ia merelakan menembus asap hanya demi menarikku pergi.

"Ya. Mari pergi," kataku singkat. Ia sepertinya menggigit bibir dari balik tudung jaketnya yang kebesaran. Lalu berdua kami pun pergi menjauh dari neraka yang meluluhlantakkan jatidiri Pak Tua ini dalam sekejap. Dan si Gadis Tembam masih menggenggam tanganku erat.

+++

"Bagaimana kau bisa tahu aku ada di sana?" tanyaku pada si Gadis Tembam. Saat itu aku sedang memboncengkannya dengan motor curian yang kutemukan beberapa saat lalu. Kami sedang menuju suatu tempat yang telah disepakati bersama. Aku sengaja berjalan dengan kecepatan agak di atas rata-rata, takut kena begal orang-orang yang sudah berubah gila.

Selama perjalanan, tidak kulihat satu pun petugas polisi atau militer. Jadi segera kusimpulkan, ini adalah kejadian luar biasa yang sangat luar biasa. Tidak ada yang bisa menanganinya bahkan orang-orang terlatih sekalipun.

Kembali pada pertanyaanku tadi. Si Gadis Tembam menjawab dengan agak berteriak agar kedengaran, sambil terus mencengkeram pinggangku erat. Katanya, "Ternyata kau belum menyadarinya juga, ya..."

"Ehm, maaf kalau begitu. Tapi, sadar soal apa?" tanyaku bingung.

Ia memberikan jeda untuk jawaban berikutnya. "Aku kan tinggal di depan kontrakanmu!"

Oh...

Aku gelagapan, tidak tahu harus berkata apa. "Masa? Sudah bertapa tahun?" bodohnya aku malah tanya begitu.

"Sejak kecil aku sudah tinggal di sana. Aku lihat ketika kamu pindahan. Ayahku yang membantu angkat-angkat barang..."

"Oh ya?" aku terkesiap. Tidak siap dengan kenyataan betapa anti-sosial dan anehnya diriku. "Maaf, aku terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak sempat mengenal tetangga..."

Si Gadis Tembam malah kedengaran terkikik. "Tidak apa-apa kok, Pak Tua. Ayah dan ibuku mengerti keadaanmu. Yah—walau banyak tetangga yang berpikir sebaliknya..."

Aku menelan ludah. Ini dia yang kuwanti-wanti. "Hahaha. Begitu, ya. Memangnya apa yang mereka pikirkan mengenai aku?" tanyaku pura-pura kegelian. Seperti orang bodoh saja.

Tea at The End of The WorldWhere stories live. Discover now