SEPULUH (Bagian 3)

45 9 1
                                    

Keunikan ini sudah kusadari sejak kecil dulu.

Bermula dari kejadian di suatu hari itu. Kejadian saat aku masih beringus dan berambut batok. Sekitar umur lima kalau tidak salah. Aku yang seorang pelajar teladan dan tidak pernah membolos, hari itu merengek tidak mau berangkat. Alasannya satu: hujan deras.

Tidak seperti anak laki-laki kebanyakan, aku benci hujan. Setiap mendung menggantung, entah bagaimana caranya, aku harus sudah berteduh. Karena itulah, selama lima tahun hidupku itu, tidak pernah sekalipun aku berhujan-hujanan. Sama seperti bau karat wahana di pasar malam, aku benci bau angin yang menerbangkan uap-uap beraroma tanah saat hujan akan tiba.

Dan kembali pada hari itu, aku yang sudah berseragam lengkap—dengan botol minum dicangklongkan, sepatu hitam mengkilat serta berjas hujan warna kuning dengan gambar Mickey Mouse bergigi banyak—bertahan dari cengkeraman tangan ibu yang menyeretku untuk pergi bersekolah. Aku bersikukuh. Hujan bukan untukku dan aku bukan untuk hujan. Aku yang masih kecil saja bisa melihat bahwa hujan itu jahat buatku. Seakan rintik-tintiknya bisa menjelma laksana jarum tajam saat menyentuh kulit.

Ibu marah. Dan baru kali ini aku melihatnya betul-betul marah. Ia mengataiku anak laki-laki cengeng. Dan sebagai anak kecil, bukankah sudah sewajarnya cengeng? Namun, tetap saja aku menjawab amarah ibu dengan menangis sejadi-jadinya, meminta maaf. Semata-mata karena aku tidak ingin melihat wajah cantik ibu yang menjadi seram saat sedang marah. Masih dengan mengusap air mata, dengan berat hati aku melangkah keluar rumah. Hujan masih deras. Dan ibu yang menggenggam payung besar sudah menggandeng tanganku, membawaku memasuki dunia yang tidak kukenal. Dunia penuh air sebesar jarum-jarum jahit. Dan aku kembali mewek karena membayangkan apa yang akan terjadi setelahnya.

Namun, begitu kaki kami memijak halaman dan sudah tidak ada lagi atap rumah yang membayangi kepala, mendadak hujan berhenti. Benar-benar berhenti. Seakan tidak pernah hujan sebelumnya. Mendung memang masih menggelanyut namun tidak setitik airpun tumpah dari gumpalan mendung tersebut.

Ibu terkejut setengah mati—hingga ingin rasanya kugoyang-goyangkan badannya untuk mencegah dia bertindak macam maneken begitu. Ia memandangku sejenak dengan raut maneken-nya, membelai kepalaku, lalu seolah tidak terjadi apa-apa, berjalan kembali untuk mengantarku ke sekolah.

Sejak saat itu aku menyadari, bahwa hujan dan aku adalah dua kutub yang saling berseberangan. Saat orang-orang bersiap dan takut kebasahan karena hujan, aku tenang. Saat hujan turun deras, aku berteduh sebentar. Semata-mata untuk memberikan kesempatan hujan menunjukkan eksistensinya. Supaya tanah dan makhluk hidup di sekitarnya bisa merasakan manfaat yang dibawa oleh hujan. Setelah puas memandangi orang-orang yang kebingungan mencari tempat berteduh atau memakai jas hujan, aku melenggang memasuki medan pertempuran. Dan benar saja. Setiap aku keluar dari tempat berteduh, hujan selalu reda. Kadang tidak seratus persen reda tapi paling banter hanya gerimis tipis yang bahkan keberadaannya tidak nampak kecuali oleh kaca-kaca bus kota.

Oleh karena itulah, aku dijuluki "Pria Anti-Hujan" oleh kawan-kawan sekantor. Oleh karena reputasi itu pula lah, aku menjadi orang yang paling sering diajak pergi main golf atau tenis oleh para direktur. Sebab kalau ada aku, tidak mungkin hujan turun sehingga mereka bisa leluasa melakukan kegiatannya.

"Wow. Kalau gitu, mau coba bikin sekte kerajaan baru?" tiba-tiba teringat oleh pertanyaan Pemilik pada suatu malam di masa lalu, setelah kuceritakan kemampuan anehku itu padanya.

"Dan nabinya adalah aku, begitu? Mengerikan," jawabku sambil mengaduk wedang uwuh dalam cangkir.

"Kenapa ndak dicoba?"

Aku memincing padanya.

"Habis kamu terlalu keren untuk sekedar jadi manusia!" lanjutnya lagi.

"Kalau aku terlalu keren sebagai manusia, apa lantas aku bisa langsung jadi dewa?"

Tea at The End of The WorldWhere stories live. Discover now