TIGA (Bagian 1)

243 28 0
                                    

"Sayang saya tidak boleh baca," gumam suara artifisial itu lagi. Koak burung gagak yang semula menggangguku kini terdengar tidak penting. Aku mematung. Matanya yang serupa mata ikan halibut segar yang baru saja ditangkap dari perairan lepas menatapku nyalang. Selain itu kutaksir ia sedang tersenyum karena mata itu nampak berbinar walau bibirnya tidak bergerak sama sekali.

Buru-buru kurapatkan masker gas menutupi seluruh wajah, lalu kupakai topi tinggiku yang biasanya. Berakting. Sebenarnya aku berlaku seperti itu untuk menutupi kegugupanku. Tidak, daripada gugup lebih tepat dibilang takut. Aku tidak paham betul mengapa ia terus mengikutiku. Apa yang dia mau dariku? Kalau ada yang ia inginkan dariku, kenapa tidak segera ia lakukan lalu dor, selesai.

Entahlah. Yang pasti dia selalu menakutiku setiap kali muncul.

"Anda takut?" tanyanya dengan memelengkan kepala, kelihatan sekali membaca pikiranku.

"Tidak. Apa aku tampak begitu?" tanyaku dengan suara tertahan masker gas. Ia mengangkat bahu lalu berjalan ke sebelahku duduk setelah sebelumnya melemparkan buku harianku ke atas ransel tanpa sedikitpun mengintipnya. Sesaat ia bergumam sendiri, lalu diam. Dengan tergagu, kuaduk-aduk isi kaleng. Kuah ikan sardennya sebenarnya sudah terlihat mendidih, tapi aku malas mengangkatnya. Begitu ia datang, selera makanku mendadak hilang entah ke mana. Kutatap cairan saus merah dari sarden yang mulai mengeluarkan gelembung-gelembung tanda kepanasan. Aku terus berupaya mengaduk-aduk dengan sendok untuk mengalihkan perhatian sementara dia justru semakin lekat mengamatiku. Ingin kupukul muka kayunya dengan sendok ini.

"Tidak makan?" tanyanya. Aku menggeleng pelan.

"Nanti. Belum matang."

"Kelihatannya sudah."

"Oh, begitu, ya," jawabku sekenanya lalu mengambil penjepit dari ranting basah yang kupatahkan menjadi dua, menjepitkannya di sisi kaleng dan untuk menghindari kecurigaannya, kuangkat kaleng itu dari api. Bagian bawah kaleng sudah penyok karena kelamaan dipanggang. Aku menarik topi tinggiku agak ke bawah agar menutupi sisi mataku yang menampakkan semburat bayangannya.

Sial. Dia yang penampakannya sempurna tapi sialnya terlihat sangat mengerikan ini...

Kriet kriet terdengar. Rupanya ia mengambil topi dari kepalaku dan memakaikannya di atas kepalanya sendiri. Begitu terpasang, topi itu langsung meluncur turun menutupi matanya. Terang saja. Sebab kepalanya terlampau kecil jika dibandingkan dengan ukuran kepala manusia kebanyakan.

"Hei, kenapa kau kembali?" tanyaku padanya sambil menunggu sarden agak dingin. Agak menyesal sudah membuka topik pembicaraan. Ia mengangkat topi tingginya dan mengerling padaku lagi.

"Tidak boleh?"

Tidak boleh.

"Tentu saja boleh," kataku bohong.

Ia melebarkan matanya. Mengerikan sekali.

"Pembohong," katanya. Aku menelan ludah.

"Maaf," kataku pelan.

"Anda tidak ingin saya datang, tapi saya harus datang."

Aku masih mengaduk sarden. Kuahnya tampak menjijikkan.

"Kenapa kau kembali?" tanyaku lagi. Nyala api sudah mulai meredup apalagi angin malam mulai berhembus kencang. Seakan tahu, ia mengambil beberapa ranting yang kukumpulkan di samping ransel, lalu melemparkan dua tiga batang ke dalam api. Terasa hangat lagi.

"Karena urusan saya sudah selesai dan saya tidak ada tempat pulang," jawabnya.

Sunyi merambat. Hanya terdengar kelontengan sendokku yang beradu dengan kaleng penyok sarden. Kalengnya sudah agak dingin maka kuangkat dengan tangan yang bergetar, menyuapkan seekor ikan yang masih panas ke mulutku. Rasanya asam. Apa dulu rasa sarden kalengan memang seasam ini? Tidak tahu. Aku sudah lupa.

Tea at The End of The WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang