TIGA BELAS (Bagian 1)

33 9 0
                                    

Ingatan itu memantikku bagai korek api yang memercik pada sumbunya. Rasa sedih menyelubungiku tidak kira-kira.

Bagaimana bisa aku melupakan kenangan yang sebetulnya sangat berharga itu? Bagaimana bisa selama ini aku hidup tanpa kenangan akan perstiwa membangunkan itu?

Rasanya ingin memukuli diri sendiri. Namun bersamaan dengan otot yang tertahan oleh sesuatu sehingga tidak bisa segera memukul diri sendiri, kudengar suara gaib Pemilik membisikkanku sebuah ilham jawaban atas segala kegundahanku itu:

Karena dengan mengingatnya, sosoknya akan semakin terasa tidak pernah ada. Maka agar ketika tiba saatnya bagimu untuk mengingatnya, kau akan semakin mampu menyimpannya erat di dalam dada.

Aku akhirnya sadar. Kesadaran inilah yang terus diwanti-wanti oleh Pemilik dahulu sekali. Kesadaran akan misi dan tujuanku berada di sini.

"Puteri! Lakukan sekarang!" Panca berteriak seperti kesetanan lalu tertawa-tawa mengerikan. Dia memang sudah gila. Untuk melawan orang gila, aku harus menjadi lebih gila darinya.

Aku terus mengerang dan berusaha sebisa mungkin untuk melepaskan diri dari kungkungan. Kucoba menendang, mencakar, menaikkan punggung, tapi tidak satu pun berhasil membuat ikatan di kedua tangan dan kakiku mengendur. Dalam segala upayaku membebaskan diri itu, efek samping cairan pahit yang diminumkan paksa tadi membuat energiku cepat terkuras. Tubuhku terasa begitu lemas sebab segala kekuatanku hanya mau berpusat pada satu hal. Dan Hara masih menunduk sambil memandangiku nyalang.

"Hei, Hara, bantu aku! Kamu nggak kepingin melakukan hal ini, kan?" aku terus berteriak padanya, berusaha membuatnya sadar lalu syukur-syukur bisa membuatnya berubah pikiran dan justru balik membantuku membuka ikatan-ikatan di tubuhku.

Pada suatu waktu—ketika tenggorokanku mulai sakit akibat berteriak—Hara akhirnya mengangkat wajahnya. Betapa terkejutnya aku ketika kulihat di balik kedua manik matanya yang tadi menatap nyalang kini tersembul gumpalan-gumpalan air. Mata itu berkaca-kaca. Ia menahan tangis. Namun, kulihat ia berusaha membuka matanya lebar-lebar supaya air mata itu tidak tumpah.

Perlahan gadis itu berjalan semakin dekat padaku. Ketika ia tepat berada di samping kepalaku, ia menunduk lalu memiringkan kepala sambil tangannya kecilnya mengangkat, menyentuh bibirku lembut dengan dua jemarinya. Secara tersirat ia menyuruhku diam. Dan aku patuh-patuh saja—sebab kedua mata bulat itu membuatku sangat iba.

Dalam suasana yang ia ciptakan bagai obat bius bagiku itu, perlahan ia mengangkat kakinya untuk naik ke atas dipan. Satu, lalu dua kakinya kini berada di atas dipan, kemudian dengan gerakan yang sangat halus ia melangkahi tubuhku, berdiri tegak di antara tubuh tak berdayaku. Dengan gerakan yang lembut namun terasa mengerikan itu, tubuhnya menunduk begitu rendah. Ia menyandarkan kedua telapak tangannya pada dipan di samping kepalaku. Tidak bergerak. Kulihat dadanya kembang-kempis, seakan menahan sesuatu.

"Hara... Dengar. Kau tidak bisa melakukan ini. Selama berjalan denganku, kau sudah mendengar banyak ceritaku, bukan? Dari situ kau harusnya bisa menangkap sesuatu. Hara, aku harus menunaikan misiku. Aku harus segera kembali ke kafe atau kalau tidak—" kataku terbata karena menahan rongrongan rasa panas di sekujur tubuh. Aku tidak bisa melihat raut wajah Hara. Seperti orang sinting, aku terus bergumam mengulang-ulang perkataan barusan padanya, berusaha membawanya kembali pada kenyataan. Namun, tetap saja ia tidak mendengarkan, justru perlahan bergerak semakin mendekatkan tubuhnya padaku, menindih perutku dengan tubuh kecilnya seperti ketika pertama bertemu dulu.

Saat itu aku tercekat. Sosok Hara yang menindihku dengan rambut pendek itu mengingatkanku pada seseorang. Wajahnya peralahan berubah menjadi orang lain. Orang yang kukenal dan telah kulupakan. Sosok manifestasi dari sebuah penyesalan.

Tea at The End of The WorldWhere stories live. Discover now