LIMA

130 12 0
                                    

Akhir-akhir ini aku tidak pernah lagi merasa direpotkan oleh Torso. Kehadirannya di sampingku yang semula kuanggap beban kini sudah tidak lagi kuanggap demikian. Keberadaan Torso sudah seperti suatu kewajaran bagiku. Sudah seperti anggota tubuhku sendiri, melekat dan harus melekat di sana untuk menjadikanku bisa terus dianggap manusia.

Seperti saat itu. Beberapa hari setelah aku berhasil mencapai stasiun kota lalu berjalan mengendap-endap di sepanjang rel hingga tiba di tengah kota, kami memutuskan untuk tinggal satu hari di bekas klinik gigi yang terletak di dalam gang sempit. Sepengamatanku, tidak ada orang yang berada di area ini. Jadi cukup aman untuk ditinggali.

Di atas kursi praktek, aku sedang duduk dan makan sebongkah besar roti bagel yang jamur-jamurnya sudah kuambil dengan teliti. Roti ini kudapat dari dapur toko roti ritel di bangunan bekas mall. Bisa dibilang fresh from the oven. Walau dalam hati kecilku bertanya, bagian mananya yang fresh selain kenyataan bahwa roti ini kuambil dari tempat membuatnya langsung?

Torso mendadak mendekatiku dan beringsut di bawah kursi praktek.

"Mister."

"Hm?" kukunyah bagel pelan-pelan seperti mengunyah permen karet—karena memang rasanya seperti karet.

"Bagaimana nasib rusa kemarin?"

"Maksudmu?"

"Dia berhasil kabur atau tidak—dari manusia-manusia yang Mister sebut sebagai Sekte-Pemuja-Akhir itu..."

"Ooh... Tidak tahu, ya."

"Mister tidak peduli?"

"Mengapa kau peduli?"

Lalu sunyi. Aku kembali menggigit bagel yang tersisa. Torso beringsut lagi.

"Ya. Saya peduli. Karena rusa itu bukan makhluk yang ada di tengah 'akhir sebelum akhir.'"Oh, dia mengatakan hal yang menarik lagi. Pasti semacam filosofi atau apalah itu.

"Aku kurang mengerti," kataku masih sambil mengunyah sisa bagel, mencoba memancingnya untuk berfilosofi lebih banyak.

"Intinya begini," katanya meniruku lagi. Pancinganku bersambut. Lanjutnya, "Sebenarnya dunia ini sudah berakhir sejak lama. Bahkan sejak kita belum ada. Manusia menamakan 'akhir' itu sebagai: perang, war, sensou, yudha, dan lain sebagainya. Saat itu manusia tidak sadar bahwa mereka sedang hidup dalam sebuah 'akhir', di mana pada akhir itu, segalanya bisa berawal. Menurut saya, orang-orang yang paling bisa bertahan dari keadaan 'akhir dunia' berskala besar ini adalah mereka yang telah merasakan akhir sebelum akhir yang sebenarnya."

"Jadi maksudmu, aku tidak bakal bisa bertahan lama di kondisi ini karena aku adalah manusia yang selalu hidup dalam alam kedamaian?" tanyaku. Uh, rasa bagel ini semakin mirip karet saja.

Torso menjawab tanpa mengubah air mukanya, "Tidak tahu. Itu tergantung pada Mister sendiri."

Hm. Aku tidak tahu harus membalas apa. Alih-alih membalas teori singkatnya, aku justru menjejalkan segunduk penuh roti bagel yang tersisa lalu membuka resleting tas ransel dan mulai mengaduk-aduk isinya. Kukeluarkan buku harian dan pena, lalu mulai menulis. Sialnya saat mulai memasuki paragraf kedua, tulisanku mulai tidak tampak garis-garisnya. Tinta penanya macet lagi. Kucoba membuka tutupnya, kukocok isinya dan kutiup-tiup. Biasanya begini langsung berhasil. Namun, kali ini tidak. Rupanya tinta pena itu sudah menyerah duluan, mendahuluiku sebagai sang pemilik.

"Oh, tidak... Aku belum mau menyerah, pena tolol!" teriakku macam kesetanan (padahal hanya karena pena macet) lalu melemparkan pena malang itu ke langit-langit. Satu-satunya benda yang bisa kupergunakan untuk menulis misi berupa penulisan buku harian, suatu misi demi sebuah ambisi untuk meneruskan eksistensi, sebentar lagi justru akan menemui ajalnya. Sejak awal aku sudah tahu bahwa sepertinya tidak mungkin menuntaskan misi ini. Senjataku hanya kertas dan pena. Dan ia sudah sekarat menunggu detik akhir hayatnya.

Tea at The End of The WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang