ENAM

87 16 0
                                    

"Kicau burung bernyanyi tanda buana membuka hari...

Dan embun pun memudar menyongsong fajar..."

Lagunya penyanyi legendaris Chrisye terdengar jernih dan hangat mengalun di dalam ruangan kafe dari piringan hitam yang diputar di atas turntable dari gramofon di pojok ruang. Aku mengobrol dengan Pemilik hingga tidak sadar lagu telah berganti.

"Yen ing Tawang ana lintang, Cah Ayu...

Aku ngenteni tresnamu..."

Wow, lagu berbahasa daerah! Entah apa yang ada di pikiran si Pemilik... Dan bagaimana ia bisa punya piringan hitam yang lagunya campuran random begitu? Karena lagu itu pendek, maka segera berganti pada lagu lainnya.

"Imagine there's no heaven

It's easy if you try..."

Kali ini Imagine-nya John Lenon?

"Selera lagumu memang random sekali, ya. Sesuai dengan kepribadianmu. Tapi bukankah itu terlalu bertolak belakang? Aku jadi perlu berpikir keras untuk penyesuaian bahasa setiap ganti lagu."

"Oh, gitu, ya? Buat aku sih sing penting asyik aja."

Sialan.

Lalu sang Pemilik pergi ke belakang konter untuk membuat pesanan—masih dengan bernyanyi-nyanyi pelan. Dia memang begitu. Sosoknya saja sudah kontradiktif apalagi dengan lingkungannya. Namun, entah dari mana seakan ia punya sebuah kekuatan ajaib untuk mengajak orang-orang di sekitarnya mengikuti alur ajaib yang dibuatnya.

"You may say I'm a dreamer

But I'm not the only one

I hope someday you'll join us

And the world will be as one."

Oh, lagu yang cocok sekali untuknya.

"Hei, bisa minta tolong putarkan lagu itu sekali lagi?" pintaku pada Pemilik. Ia mengangkat bahu.

"With pleasure, Sir," jawabnya dengan suara berlogat Jawa yang dipaksakan berbahasa Inggris lalu berjalan ke tempat gramofon berada. Kupandangi gerak langkahnya yang gontai namun berdebum ketika menapak tanah, lalu tangannya yang dilingkari oleh tato bunga mawar dan berbagai macam gelang batu-batuan dan biji-bijianitu menyentuh tangkai jarum turntable, kemudian...

Pet. Mendadak gelap.

"Oh, not again," bisik si Pemilik dari tempatnya berdiri. Lalu, tidak ada dua detik lamanya, suaranya sudah berpindah ke dalam ruang di belakang konter. Ia meneriakkan sesuatu seperti, "tolong segera nyalakan lilin, ya!"

Benar saja, setengah menit kemudian ruangan kembali terang oleh nyala lilin dengan aromaterapi. Gadis pramuniaga Tembam meletakkan lilin-lilin kecil itu di sudut-sudut tanpa suara, bagai telah terlatih. Ia melewatiku dengan cepat lalu meletakkan sebuah lilin di samping mesin espresso. Semerbak harum lavender memenuhi ruangan. Pasti berasal dari lilin-lilin itu.

"Gimana? Ini pertama kalinya kamu datang saat mati lampu, to?" tanya Pemilik, entah sejak kapan ia sudah duduk di kursinya lagi.

"Oh, wow! Jujur saja aku lebih suka suasana seperti ini..."

"Tapi ndak baik buat bisnis, mati lampu ini. Lilin juga perlu dibeli, to? Dan mana ada pelanggan datang di suasana seperti ini?"

Aku mengiyakan. Sepertinya tidak hanya aku yang mengagumi kecekatan pengelola dalam mengatasi mati lampu ini. Para mengunjung lain nampak berbisik-bisik memuji, beberapa malah terang-terangan memuji dengan suara keras. Bisa bikin besar kepala si Pemilik.

Tea at The End of The WorldWhere stories live. Discover now