DUA

325 45 3
                                    

Deru kendaraan yang terjebak kemacetan sore itu terdengar sayup-sayup dari tempatku berada, yaitu sebuah kafe dengan konsep joglo dan berarsitektur kejawen. Padahal ini hari Sabtu setelah libur kejepit, tapi masih saja macet.

Aku sebenarnya sudah muak dengan kondisi ini. Kalau saja pekerjaanku memberikan kesempatan untuk pindah ke tempat yang lebih damai—ke Pulau Lombok misalnya—maka dengan senang hati aku akan pindah sambil memboyong seluruh koleksiku tanpa sisa.

"Silakan teh melati dan kue lapis legitnya," kata sang pramusaji dari konter bar-nya sembari meletakkan pesanan di atas meja. Wajahnya datar saja.

"Oh, terima kasih."

Lalu, pramusaji itu pergi. Kuperhatikan penampilannya yang sederhana. Gadis Tembam. Pipinya memang tembam. Dan satu-satunya pramusaji di tempat kecil ini, datang merangkap koki saat Si Pemilik tidak ada. Sepertinya masih muda jika dilihat dari raut wajahnya yang kekanakkan dengan semburat kemerahan di pipinya. Mungkin lulusan segar SMA. Atau mungkin saja memang masih SMA. Entah, aku tidak pernah berpikiran untuk menanyainya secara langsung. Sebab takut digigit.

Aku tidak tahu apa alasannya, tapi setiap bicara denganku, ia langsung menunjukkan raut wajah tidak berminat. Kadang sampai memutar matanya ke belakang. Mungkin dia malas meladeni tamu yang sudah mulai berkerut ini. Padahal sering kudengar kalau gadis zaman sekarang lebih suka pacaran dengan orang yang lebih tua. Mereka katanya tidak peduli soal umur lelaki yang dipacarinya. Meski begitu, rasanya kok cukup mengerikan ya, saat kubayangkan aku pacaran dengan anak seumuran dia. Yah, walaupun kalau dipikir-pikir sebenarnya aku masih cukup keren untuk seseorang berumur awal empat puluhan. Setidaknya rambutku masih tebal.

Huh, enyahlah segala stimulus soal 'pacaran' dari otak Pak Tua ini. Otak kriminal.

Setelah kelar menata pikiran yang sengkarut seperti jambangku, kurapikan kerah kemeja hitam yang tadinya kupakai di bawah jaket. Intro dari suatu kebiasaan saat akan minum teh. Sambil melipat tangan kanan, kujepit pegangan cangkir dengan jari telunjuk dan jempol tangan kiri lalu meniup-niup permukaan teh sebanyak tiga kali. Kupandangi sejenak pantulan mataku untuk memastikan apakah kerutku makin bertambah banyak atau malah berkurang—sesuatu yang kemungkinan terjadinya di bawah nol persen. Kuangkat pelan cangkir mendekati mulut lalu mulai minum.

Nah, masuk ke chorus.

Rasa teh dari perkebunan asli Jawa itu mulai merambati ujung lidahku. Terasa pahitnya. Lalu, cairan harum itu pun melewati batang tenggorokku dan menyisakan sensasi hangat di sana. Rasa yang mengingatkanku akan lingkungan di kampung halaman Paman sekaligus membuatku lupa pada pekerjaan yang menumpuk.

Outro.

Aaah.

Teh di kafe ini memang yang terbaik. Aku sudah menjelajahi beberapa teh di kafe-kafe ternama daerah sini, tapi tidak ada yang dapat membuatku terkenang kampung halaman Paman sehebat rasa teh ini. Rasa teh yang seperti itu, yang murni tanpa campuran dan tidak 'palsu', ternyata kutemukan di kafe kecil yang agak terpencil ini. Untuk menuju ke sini diperlukan perjalanan yang cukup lama, kurang lebih sepuluh menit dari kantor lalu berjalan lagi sekitar lima ratus lima puluh meter, belok ke dalam sebuah gang sempit dan sampailah pada gerbangnya. Semula kukira kafe ini adalah tempat spesialis masakan Jepang atau Cina karena di gerbangnya, alih-alih patung Gupala, yang ada justru patung sepasang singa—atau anjing—penjaga langit. Kalau di Jepang—negeri tempatku pernah menimba ilmu, makhluk ini disebut Komainu.

Misterius dan penuh filosofi, begitu kugambaran patung ini. Salah satu dari mereka digambarkan membuka mulutnya seakan mengucap huruf a yang dalam bahasa Jepang adalah huruf pertama dalam alfabetnya. Sedangkan yang satunya menutup mulut seperti mengucap kata n, yang terakhir dalam aksara Jepang. Itu artinya, makhluk blasteran anjing dan singa itu adalah simbol dari awal dan akhir, atau akhir dan awal. Bahwa semesta ini hanya tercipta oleh, dari dan untuk dua hal yaitu awal dan akhir atau akhir dan awal. Terus saja begitu. Seperti lingkaran Ouroboros, sang ular yang menggigit ekornya sendiri, tidak berbatas namun berbekas.

Tea at The End of The WorldWhere stories live. Discover now