TIGA (Bagian 2)

145 18 0
                                    

Kututup resleting baju terusan cleaning service berwarna kelabuku. Setelah membasuh diri dengan air kolam yang bening sampai terlihat dasarnya yang ditinggali ikan-ikan dan dipenuhi lumut, aku berniat jalan kembali untuk mencari makanan. Persediaan sudah mulai menipis. Hanya tinggal sekaleng sarden, setengah botol air mineral, dan sebungkus cokelat. Sebenarnya kadang aku bisa menemukan buah mangga atau kelapa dari pepohonan baru yang muncul sepanjang jalan, tapi akan lebih baik kalau tidak terlalu mengambil kebanyakan. Takut Alam marah lagi. Torso tidak perlu makan jadi aku boleh hanya memikirkan persediaan untuk diriku sendiri saja—walaupun tidak makan ia masih butuh tidur entah untuk apa.

Ups. Resleting baju cleaning service-ku macet di tengah sehingga perlu waktu dan sedikit paksaan untuk menaikkannya kembali. Ngomong-ngomong, baju jumpsuit cleaning service ini kutemukan di bekas kantorku. Setelah Peristiwa Itu, gedung kantorku termasuk yang hancur cukup parah, tapi untungnya masih sanggup berdiri. Pada hari-hari awal, aku masih memakai baju setelan necis hasil pertemuan dengan seseorang beberapa saat sebelumnya. Hari pertama masih lengkap, hari kedua juga, hari ketiga tasku sudah kubakar untuk bikin api. Hari keempat kemejaku basah kena hujan, hari kelima celana kerja ketatku sobek. Begitu kira-kira yang kuingat.

Orang-orang sudah tidak bisa dimintai tolong lagi. Mereka lebih sibuk mencari baju hangat untuk dirinya sendiri bahkan tidak sedikit yang merampas milik orang lain. Penjarahan dan perampokan menjadi sangat wajar. Berbeda dari alam yang mulai sembuh dan membaik, manusia yang ada pada masa ini seperti kembali pada zaman kegelapan. Tidak ada dan tidak perlu hukum. Manusia yang tersisa hanya mementingkan dirinya sendiri—karena memang tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan selain diri sendiri. Namun, aku tidak mau bersikap seperti orang lain. Maka aku pun menyelinap ke gedung bekas kantor untuk mengambil satu atau dua pakaian yang kusimpan di loker milikku. Sialnya, loker sudah terbuka dan semua pakaian yang tersimpan di sana sudah dijarah. Dengan langkah tergesa karena panik, aku menggeledah loker-loker lain. Tidak ada satupun pakaian yang tersisa, bahkan sekadar kaus kaki atau celana dalam. Hingga akhirnya aku menyerah dan memilih untuk bersikap seperti orang-orang lain: menjarah.

Kubuka paksa ruang petugas cleaning service yang masih damai terkunci dengan cara mencongkel kisinya pakai dongkrak yang kutemukan di sudut ruang—entah kenapa bisa ada di situ. Benar saja, di dalam ruang, aku menemukan beberapa celana training milik petugas kebersihan yang ditinggalkan.

Kusambar beberapa celana training yang masih berada di gantungan baju, tapi tidak kutemukan satu pun pakaian hangat atau jaket. Mungkin sejak awal dibawa pemiliknya. Kuacak-acak semua laci dan meja di ruangan, di pojok ruang, di dalam ember cuci, namun tidak kutemukan selembar pakaian pun. Aku bergidik ngeri membayangkan akan bermalam dengan hanya memakai cawat. Saat merasa panik itulah kakiku dengan cerdasnya menumbuk bak penampungan kain pel. Beberapa kain pel pun berjatuhan. Dan di dalam tumpukan kain pel, jreng jreng jreng, kutemukan sebuah pakaian petugas kebersihan yang masih terbungkus plastik penatu. Mungkin ini pakaian cadangan si petugas kebersihan kalau-kalau pakaian utamanya kenapa-kenapa saat bekerja. Baju itu masih terlipat. Saat lipatannya kubuka, kutaksir ukurannya sama dengan ukuran badanku. Buru-buru kupakai baju itu. Warnanya biru kelabu, terusan baju dan celana. Cukup praktis.

Celana training yang kutemukan tadi bisa kusimpan untuk cadangan. Di luar dugaan, pakaian cleaning service itu ternyata cenderung ketat di badan—terutama pada bagian lenganku yang berotot dan selangkangan. Celananya agak kependekan, tapi aku tidak peduli. Ini sudah lebih dari cukup untuk menjagaku tidak kedinginan di malam hari—daripada cuma pakai cawat.

"Mister, Anda terlalu lama melamun," sapa Torso dari belakang semak. Rambut kuning-pendeknya menyeruak sedikit di antara dedaunan. Entah apa yang dilakukannya di sana. Mendadak bayangan dirinya yang bercawat membuat perutku kejang.

Tea at The End of The WorldWhere stories live. Discover now