DELAPAN

60 14 0
                                    

Well.

Aku selalu berusaha fokus pada diri sendiri, berusaha tidak membuat ikatan yang terlalu kencang dengan orang lain.

Bisa dibilang aku tidak peduli dianggap manusia jahat atau baik—bagiku itu hak orang lain, bukan bagianku untuk menentukan mau dianggap apa. Aku memang nampak mudah bergaul dengan siapa saja, tapi di lain pihak aku selalu membangun benteng tak kasat mata antara diriku dengan orang lain. Aku tidak ingin terlalu terikat secara emosional dengan mereka karena aku pun tidak dapat memberikan banyak perhatian pada mereka seperti orang lain saling memberikan perhatian. Aku kadang heran, mengapa mereka bisa berlaku sangat pedulian seperti itu?

Namun, segala pasal yang kubuat untuk diriku sendiri itu menjadi tidak berlaku di hadapan si Pemilik. Ia adalah tipe orang yang tidak memberi izin pada orang lain untuk mengerti dirinya secara penuh, tetapi sekaligus ia juga mengikat orang-orang dalam ruang lingkup teritorinya. Memaksa orang lain tanpa sadar mengiyakan segala lakunya.

Intinya, dia adalah satu dari sedikit orang yang kukagumi di dunia ini.

"Jangan-jangan kamu suka padaku?" tanyanya tiba-tiba, membuatku nyaris tersedak wedang uwuh yang kali ini kupesan sebagai selingan. Sebab kemarin aku mulai merasa masuk angin lagi.

"Meski nggak tahu apa itu rasa suka antara laki-laki dan perempuan, tapi aku nggak mau kamu suka sama aku," bantahku.

"Heheheh," ia terkikik, "Habis kau selalu melamun sambil memandangiku dari pantulan wedang-mu itu."

Bagaimana ia bisa tahu?!

"Ada-ada saja."

"Hei, suka itu bukan hanya berarti rasa cinta lelaki dan perempuan. Bisa saja kau suka padaku karena kau kagum pada kepribadianku. Kagum pada keunikanku!"

Dia mulai menyombong walau tidak bisa dipungkiri bahwa perkataannya benar. Bahunya naik tanda bangga. Namun aku tahu, ia melakukan itu bukannya benar-benar berniat menyombong. Ia adalah seseorang dengan selera humor tinggi.

"Kemarin aku ikut seminar tentang kiamat. Yang dulu selebarannya kutemukan di depan pintu masukmu," kataku mengalihkan topik.

"Oh ya? Bagaimana? Menarik?" ia ikut mengenyahkan topik mengenai suka-menyukai tadi.

Aku menghela nafas sejenak setelah menyeruput wedang uwuh. Kurasai pandangan Si Tembam pada tengkukku.

"Pembicaranya bukan penulis. Dia ketua sekte pemuja akhir dunia."

"Woha! Hahahaha! Akhir-akhir ini memang banyak yang seperti itu. Dan kau salah satu yang kena jebak."

"Kali ini kau benar. Aku terjebak. Telak."

Pemilik terkekeh lagi sebelum bicara, "Ramalan-ramalan akan datangnya kiamat semakin gencar dalam lima tahun belakangan, tapi tidak satupun yang tepat. Seakan kiamat adalah tren mode yang bisa muncul pasang-surut. Yah, tapi aku bikin kafe dengan nama ini sudah sejak lama sekali, jadi bukannya aku ambil kesempatan atau aji mumpung. Mumpung topik tentang akhir dunia sedang hangat-hangatnya. Ini murni hasil kreasiku sendiri."

"Kiamat. Hangat-hangat tahi ayam."

"Ya, ya. Bisa dibilang begitu. Entahlah. Cepat atau lambat akhir juga akan menjelang," ia terdiam setelah mengatakan kalimat itu. Mendadak matanya yang terlihat sedikit dari samping—di celah antara kacamata hitam dan mukanya—seperti bersedih secara tiba-tiba. "Itu artinya..." lanjutnya, "awal juga akan segera menjelang."

Lalu suasana menjadi sunyi. Canggung. Hanya terdengar alunan Nocturne No.2 Op. 9 milik Frederic Chopin, sayup-sayup dari gramofon tua di sudut kafe. Wedang uwuhku sudah tinggal menyisakan ampasnya saja, tapi aku belum berminat untuk beranjak dari End of The World.

Tea at The End of The WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang