03. Siapa sih kamu?

574 95 16
                                    


.
.
.
.
.
Raka memilih berjalan kaki saat pulang sekolah, kedua netra kembarnya sesekali menatap jalanan yang dilewatinya. Bukan, remaja itu bukan tengah menghafal jalan yang akan membawanya pulang kerumah, namun pemuda itu tengah memperhatikan kendaraan yang lalu lalang.

Raka tersenyum lirih saat mengingat semua cerita ibu nya tentang kehidupannya, kehidupan semasa sekolahnya hingga beliau menikah. Sejak dulu ibunya hanya akan menceritakan tentang dirinya, dan bagaimana bahagianya beliau saat tahu bahwa dirinya tengah mengandung Raka.

Raka tidak pernah tau siapa ayahnya, karena ibunya memang tidak pernah menceritakan tentang sosok itu padanya. Raka pernah berasumsi bahwa mungkin ayahnya sudah meninggal, namun disatu waktu sang ibu mengatakan bahwa ayahnya masih hidup, namun sang ibu selalu melarang Raka mencaritahu atau bahkan menemui sosok yang seharusnya dia panggil ayah itu.

Raka tidak tertarik menaiki bus atau taxi untuk membawanya pulang, remaja itu masih setia melangkahkan kakinya, tanpa peduli sebenarnya jarak yang akan dia tempuh sangat jauh. Remaja itu bahkan tidak menyadari bahwa ada seorang yang terus mengikutinya sejak dia keluar dari gerbang sekolah.

"Sebenarnya anak itu mau kemana?"
.
.
.
.
.
Raka masuk kedalam rumah petak sederhana, tidak ada kamar tidur disana, hanya ada satu ruangan yang langsung bersambung dengan dapur, sebuah pintu yang merupakan kamar mandi, sebuah lemari yang terbuat dari kayu tipis, juga sebuah kasur kapuk yang terletak dilantai. Tidak ada meja atau kursi, hanya ada satu meja pendek disana yang akan Raka gunakan untuk alas makan, atau mungkin nanti untuk mengerjakan tugasnya.

Jika dilihat dari sekolah yang saat ini menjadi tempat Raka menuntut ilmu, sepertinya sangat tidak mungkin jika Raka tinggal dirumah petak seperti itu. Memang kenyataannya bukan Raka tidak memiliki uang untuk mencari rumah yang lebih baik, namun hanya rumah itu satu-satunya yang dia temukan saat dia datang malam itu, malam dimana dia meninggalkan rumahnya.

"Sepi, biasanya tiap pulang pasti denger suara bunda." lagi, Raka kembali mengingat sang bunda. Memang berat harus menerima kenyataan bahwa satu-satunya orang yang menjadi tumpuannya kini telah pergi.

"Bunda sekarang udah gak sakit lagi kan? Bunda udah sehat, jadi gak usah khawatirin Raka. Raka baik-baik aja disini." Raka tersenyum saat dia menatap potret sang ibu yang tengah tersenyum sambil memeluknya.

Bruk

"Ugh, debu." Raka menggerutu saat kasur yang dia duduki sedikit mengeluarkan debu. Ini pertama kalinya Raka melihat dan duduk dikasur kapuk, tidak seempuk dikasur busa yang biasa ada dirumahnya atau dirumah Gandy.

"Bunda, Raka tadi ketemu sama papa, sama mama juga, tapi kayaknya mama gak suka sama Raka. Tatapannya sinis dan tajem banget, beda sama tatapan mama biasanya, atau karena mama memang belum kenal Raka ya." Raka sedikit tersenyum saat menceritakan tentang sosok tinggi yang dia temui disekolah tadi. Sosok yang selalu menatap tajam padanya saat dikelas, Aksa.

"Raka juga ketemu sama sahabat bunda itu, Raka harus hati-hati kan bun biar gak ketauan. Sahabat bunda itu terlalu peka, Raka tau dia curiga sama Raka, tapi gak bilang apa pun." Raka merebahkan dirinya, dia masih terus bercerita tentang kesehariannya, seperti kebiasaannya selama ini. Hanya saja sekarang sudah tidak ada lagi tanggapan atau elusan lembut dikepalanya dari sang bunda.

"Raka kangen bun, kenapa bunda cepet banget pergi dari Raka? Bunda gak mau lihat Raka sukses dulu ya? Bunda capek ya? Maafin Raka bun maaf." Raka membiarkan airmata nya mengalir melewati hidungnya dan berakhir menetes dibantal. Bagaimana pun Raka hanya remaja delapan belas tahun yang baru saja ditinggal oleh ibunya.

"Raka tadi sempet lihat ayah sama mama, dia ngeliat bunda terus, tapi maaf bun, Raka gak akan biarin dia deketin bunda, Raka gak mau bunda sakit dan hidup susah seperti yang selama ini bunda alami. Raka harus pastiin bunda bahagia, bahkan kalau resikonya Raka harus hilang, Raka ikhlas bun." Raka memejamkan matanya, dia cukup lelah hari ini. Bukan lelah karena kegiatan disekolah, karena nyatanya sekolahnya yang sekarang hanya berlangsung hingga siang hari, berbeda dengan sekolah lamanya yang berlangsung hingga sore bahkan terkadang menjelang malam.

"Raka sayang sama bunda."
.
.
.
.
.
Faras menatap tajam pada Jatna yang sedang menunjukan layar komputer padanya. Setelah sebelumnya Faras memaksa Jatna untuk mencari tahu semua tentang Raka, bahkan membobol kedalam data kependudukan, tapi hasil yang mereka dapat nihil. Sama sekali tidak ada hal yang bisa mereka temukan tentang Raka.

"Lo yakin?" Jatna mengangguk, dia sebenarnya heran kenapa sahabatnya itu tiba-tiba datang kerumahnya dan memintanya mencari tau apapun tentang Raka.

"Lo lihat sendiri, gak ada yang kita temuin disini, bahkan data yang masuk kesekolah juga minim." Jatna tau alasan Faras curiga pada murid baru seperti Raka. Bukan hanya karena remaja itu pindah kesekolah mereka di pertengahan semester, tapi juga karena remaja itu terlihat cukup asing dengan lingkungan nya.

"Udah lah Ras, dia begitu mungkin karena dia emang baru pindah dari jogja." Faras akhirnya menghela nafas, dia mengangguk, meskipun begitu, remaja itu tidak akan lengah mengawasi Raka.

"Tapi aneh Jat, sekolah kita gak pernah nerima murid pindahan dipertengahan semester kayak sekarang." Jatna menghela nafas.

"Mungkin aja dia spesial, anak pemilik sekolah mungkin." Faras rasanya ingin sekali memukul kepala Jatna, apa yang baru saja diucapkan Jatna membuktikan, mau sejenius apapun dia, pasti akan bodoh pada saat nya.

"Anak pemilik sekolah?" Jatna mengangguk.

Plak

"Kenapa lo mukul gue?!" Jatna mengelus pahanya yang kali ini menjadi sasaran pemukulan Faras.

"Sejak kapan lo punya adek segede itu!" Jatna mengerjap, dia baru saja menyadari sesuatu saat Faras berteriak marah.

"Lah iya juga, kan itu sekolah punya bokap gue, dan gue gak punya adek." Faras rasanya ingin menenggelamkan dirinya di selat sunda.

"Terserah lo deh Jat, terserah lo."
.
.
.
.
.
Hari ini Raka datang lebih pagi dibanding kemarin, dia sudah harus menyesuaikan diri untuk berada disekolah barunya. Seragam yang dikenakan Raka pun sudah berbeda, tidak lagi putih abu-abu seperti kemarin. Hari ini Raka sudah memakai seragam khusus dari sekolahnya.

"Oh pagi Raka!" Raka mengerjap saat netranya menemukan Nath sudah duduk manis dibangkunya.

"Pagi." Raka menunduk saat melihat senyum manis Nath.

"Sudah sarapan?" Raka mengangguk saat Nath bertanya padanya. Saat ini hanya ada mereka berdua di kelas, karena yang lain belum ada yang datang.

"Bagus, jangan suka lewatin sarapan, nanti bodoh kayak Jatna." Raka hanya bisa tersenyum, dalam hati remaja itu bertanya sejak kapan Jatna berubah bodoh.

"Raka." Raka langsung menoleh saat Nath memanggil namanya.

"Iya?" Nath menggeleng.

"Gak papa, semoga lo betah jadi temen sebangku gue ya." Raka tersenyum dan mengangguk.

"Pasti." Nath yang gemas melihat senyum Raka langsung saja menarik remaja itu dan memeluknya erat. Nath bahkan tidak menyadari bahwa apa yang dia lakukan itu membuat sepasang mata menatap marah, juga sepasang mata yang menatap aneh padanya.

"Sialan anak baru itu, berani banget dia peluk-peluk gebetan gue!"

"Gue gak pernah liat Nath sesayang itu sama orang baru, bahkan ke gue pun dia gak gitu, sebenernya lo siapa? Sampai bisa bikin Nath kayak gitu?"
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.

DejavuOù les histoires vivent. Découvrez maintenant