16. Aku datang

498 90 7
                                    


.
.
.
.
.
Gandy menatap tidak percaya pada tumpukan uang lama yang ada diatas meja belajarnya itu, baru kemarin sore dia meminta hal itu pada sang ayah, dan pagi ini uang-uang lama yang berlaku pada tahun 2000-an itu sudah ada di atas meja belajarnya.

Gandy segera berlari masuk kedalam kamar mandi, lebih baik dia cepat membersihkan tubuhnya dan menemui kedua orang tuanya dibawah, sebelum dua orang yang suka lupa usia itu melakukan hal aneh didapur.

"Papa memang terbaik."

Setelah menyelesaikan acara mari mandinya, Gandy bergegas turun ke lantai satu rumahnya, dari tangga dia bisa melihat ayahnya yang sedang sibuk menggoda ibunya diruang makan.

"Tolong ya, Gandy gak mau punya adek ma, pa." Gandy melangkah keruang makan, dan itu membuat Aksa memukul tangan Jatna yang sedari tadi bertengger di pinggangnya.

"Kamu ini ganggu kegiatan papa sama mama aja." Jatna yang mendapat pelototan Aksa langsung melepaskan pelukannya dan duduk dimeja makan.

"Ya habisnya papa suka gak sadar umur ingat udah tua." Jatna berdecak, dia rasa dulu dia tidak sering mengejek Nath saat Aksa hamil Gandy, tapi kenapa anak tunggalnya itu menyebalkan seperti Nath waktu remaja.

"Kenapa sih kamu gak bisa ngalah sama anaknya?" Gandy tersenyum menang saat sang mama membelanya.

"Mama terbaik." Aksa mengelus kepala Gandy, setelah meletakan sepiring pancakes dihadapan Gandy.

"Udah habisin sarapannya." Gandy mengangguk, jangan lupa senyum manisnya yang terus terlukis. Senyum Gandy membuat Aksa maupun Jatna bahagia, mereka tentunya tidak akan membiarkan senyum bahagia putra mereka menghilang.

"Uang yang kamu minta sudah papa taruh dikamar kamu, kamu yakin akan berangkat hari ini?" Gandy yang mendengar pertanyaan papanya mengangguk, dia menatap kedua orang tuanya bergantian.

"Iya pa, ini sudah hampir dua minggu Raka disana, papa tau sendiri kalau Raka gak boleh lebih dari sebulan disana, kalau memang gak ingin apa yang Raka mau terwujud." Aksa yang mendengar nada sendu dari suara Gandy langsung memeluk remaja itu.

"Aku gak mau kehilangan Raka ma, pa. Aku bahkan gak tau apa aja yang akan berubah saat aku berhasil bawa Raka pulang nanti." Jatna menepuk pelan kepala Gandy, hal itu membuat Gandy menatap sang ayah.

"Kamu pasti bisa bawa Raka kembali kesini, yakinkan dia kalau disini banyak orang yang sayang dan nunggu dia buat pulang." Gandy mengangguk, dia tersenyum.

"Pasti, Gandy pasti akan bawa Raka pulang pa."
.
.
.
.
.
Gandy sedang menyiapkan barang yang akan dia bawa menyusul Raka saat Faras mengetuk pintu kamar nya. Lelaki cantik dan dingin itu hanya tersenyum tipis saat Gandy mempersilahkan dia masuk kekamarnya.

"Kamu akan menyusul hari ini?" Gandy mengangguk, meskipun dia sudah mengenal Faras hampir dua minggu, tapi Gandy masih tidak bisa berbicara banyak pada pria itu.

"Ya, aku harus segera membawanya pulang." Faras tersenyum, remaja dihadapannya ini sangat menyayangi Raka seperti nya.

"Kamu begitu menyayangi Raka ya?" Gandy terdiam sejenak sebelum mengangguk.

"Aku mencintai Raka, bukan hanya menyayanginya." Faras terdiam mendengar jawaban Gandy. Remaja delapan belas tahun itu bahkan dengan sangat yakin mengatakan bahwa dia mencintai Raka.

"Jika seperti itu, maka bawalah dia kembali kemari secepatnya Gandy, dia harus mendapatkan apa yang harus dia dapatkan selama ini." Gandy mengernyit bingung saat Faras mengatakan itu. Bahkan sejak dua hari lalu, kadang Gandy sama sekali tidak mengerti ucapan Faras.

DejavuWhere stories live. Discover now