11. Maaf

481 88 2
                                    


.
.
.
.
.
Raka membuka matanya perlahan, yang pertama dia lihat adalah langit-langit berwarna putih dengan bau obat-obatan yang khas. Remaja itu menoleh kearah kanan saat merasakan tangannya digenggam, mata Raka membulat saat melihat Nath tengah tertidur dengan tangan yang menggenggam tangan Raka erat.

"Bunda." tanpa Raka sadari, air mata mya keluar begitu saja. Raka kembali diingatkan bahwa dimasanya dia telah kehilangan sang bunda. Raka sedikit terisak, meskipun sedari tadi dia mencoba menahan isakannya agar tidak mengganggu Nath yang tengah tertidur, tapi tetap saja Nath terbangun karena isakan tertahan Raka.

"Raka." Nath terkejut saat melihat remaja yang ditunggunya bangun sejak tadi itu tengah menangis.

"Raka kenapa nangis, ada yang sakit?" Raka yang mendengar pertanyaan lembut Nath justru semakin terisak, namun remaja itu juga menggeleng.

"Terus kenapa? Kamu kenapa nangis?" Raka memejamkan matanya saat tangan Nath mengelus lembut kepalanya.

"Jangan nangis ya, udah nangisnya, kamu bikin aku ikut sedih." Raka berusaha menghentikan isakannya saat mendengar Nath mengatakan itu.

"M-maaf...hiks..." Nath dengan perlahan menghapus air mata diwajah Raka, dia baru menyadari bahwa Raka memiliki kemiripan dengan dirinya.

"Sstt... jangan minta maaf, harusnya aku yang minta maaf karena gak percaya sama kamu." Raka masih sesenggukan saat Nath mengatakan itu, membuat Raka tidak fokus mendengar ucapan Nath.

"Mau minum?" Raka mengangguk kecil, Nath yang melihat itu tersenyum. Tidak sia-sia dia meminta Faras pulang dan meninggalkannya disini untuk menunggu Raka. Nath meraih segelas air dari atas meja dan membantu Raka minum dengan perlahan.

"Raka tidur lagi ya,  ini masih jam sepuluh malem." Raka hanya menatap Nath yang berbicara sangat lembut padanya.

"Bunda." Raka langsung memejamkan matanya saat menyadari dia kembali memanggil Nath bunda. Raka sudah bersiap jika saja Nath kembali marah seperti kemarin.

"Iya, aku disini, sekarang tidur." Raka membuka matanya, dia menatap Nath lekat. Apa itu artinya Nath percaya padanya?

"B-bunda." Raka kembali memanggil Nath dengan sedikit keras dan itu membuat Nath menggenggam tangannya.

"Iya, kenapa? Tidur lagi ya, biar besok udah bisa pulang." Raka hanya menurut dengan memejamkan matanya, dia bahagia saat ini, karena Nath tidak keberatan dia panggil bunda.

"Bunda maaf..."

Deg

Nath tidak suka jika Raka mengucap maaf padanya, seharusnya dia yang mengucap maaf pada Raka. Karena kelainan gen milik keluarga, Raka harus menderita sakit seperti itu.

"Jangan minta maaf lagi, udah ya."
.
.
.
.
.
Pagi ini Faras sudah buat pusing oleh Jatna yang terus saja bertanya bagaimana keadaan Raka, sejak menginjakan kakinya digerbang sekolah, Jatna sudah memberondong Faras dengan pertanyaa.

"Faras, Raka gimana?"

"Dia gak papa kan?" lagi, Jatna kembali menanyakan hal itu lagi.

"Semalem waktu gue tinggal dia udah gak papa, tapi gue belum tau kalau pagi ini, gue belum kesana." Jatna terlihat tidak puas saat mendengar jawaban Faras.

"Lo nanti siang kerumah sakit kan? Gue ikut!" Faras hanya mengangguk malas, kenapa pula dia punya teman yang merangkap menjadi wakil ketua osis seperti Jatna.

"Ya ya ya, asal lo bisa pastiin Aksa gak lagi ganggu Raka nantinya." Jatna menghela nafas, dia tau Faras tidak pernah suka dengan perundungan karena masa lalu kelamnya, tapi dia juga bingung kenapa Faras seperhatian itu pada Raka.

"Iya Faras, nanti gue yang bicara sama Aksa." Faras hanya berdehem, dia terlalu malas mengucapkan sesuatu hari ini.

"Nath gak masuk ya?" Faras berhenti berjalan, dia menatap Jatna kesal, bukan apa tapi karena Jatna tidak berhenti bertanya.

"Nath dirumah sakit, dan gak usah tanya lagi, sana pergi ke kelas lo!" setelah mengatakan itu Faras melangka masuk kedalam kelasnya, karena memang tadi dia berhenti didepan kelasnya.

"Nanti pulang sekolah tunggu gue." Faras kembali berdehem, dia melirik kearah Jatna yang sudah berlalu dari depan kelasnya.

"Berisik banget." Faras mengernyit saat menemukan dua buah coklat dimejanya, tanpa bertanya Faras sudah tau siapa yang meletakan dua coklat mahal itu diatas sana. Ya, siapa lagi kalau bukan Indra.

"Cih, bocah."
.
.
.
.
.
Jatna masuk kedalam kelasnya, sudah ada Dhika disana. Sebenarnya Dhika, Indra dan Aksa bukan pembuat onar yang parah, mereka hanya akan membolos kelas sesekali dan tidak mengerjakan pr. Ketiganya tidak pernah melakukan perundungan secara fisik sebelumnya, jika pun mereka melakukan perundungan biasanya hanya sekedar melemparkan kata-kata kasar, itu pun pada orang yang sebelumnya mencari masalah dengan mereka.

Tapi dengan Raka? Jatna sendiri heran. Setau Jatna, Raka tidak pernah mencari masalah dengan ketiganya, karena sejak awal pindah kesekolah ini Raka selalu menghabiskan waktunya dikelas atau bersama dia, Nath dan Faras. Apa benar hanya karena mereka cemburu pada anak baru itu, mereka melakukan perundungan?

"Jangan lupa kerjakan hukuman kalian nanti." Jatna mengingatkan Dhika yang hanya dibalas dengan anggukan.

"Jangan melakukan itu lagi Dhik, lo bukan hanya menyakiti secara fisik, tapi juga mental anak itu." Jatna kembali berucap, meskipun dia tidak yakin Dhika akan menurutinya, tapi dia tau jika Dhika pasti mendengarnya.

"Lo gak pernah tau rasanya jadi gue Jat." Jatna menghela nafas panjang.

"Memang, tapi lo juga gak pernah tau rasanya jadi Raka, yang setiap hari lo rundung." setelah mengatakan itu, Jatna kembali keluar kelas. Dia harus memastikan Indra, adik kelasnya itu melaksanakan hukumannya.

"Pantes aja Faras marah-marah terus kalau ada murid yang berulah, memang merepotkan sih."
.
.
.
.
.
"Raka kamu harus mau melakukan pengobatan itu ya." Nath menghela nafas saat melihat Raka kembali menggeleng, sudah tiga jam dia membujuk Raka untuk melakukan pengobatan untuk penyakitnya, namun sekali lagi Raka menolak hal itu.

"Raka..." Raka tetap menggeleng, dia benar-benar tidak ingin melakukan pengobatan itu disini.

"Jangan paksa aku kak." Nath menghela nafas, Raka memanggilnya kak saat ini, meskipun dia tau jika Nath sudah percaya bahwa dia adalah anaknya.

"Baik, tapi jangan pernah lupakan obat mu." Raka terpaksa mengangguk, jika tidak Nath tidak akan berhenti mengomelinya.

"Besok kamu ikut ke rumah ku, pindah kesana!" Raka melongo, kenapa tiba-tiba Nath memintanya tinggal bersama.

"T-tapi..." ucapan Raka terpotong saat melihat Nath melotot kearahnya.

"Kamu bilang aku bunda mu, jadi kamu harus nurut sama aku, pindah kerumah ku besok, aku gak terima penolakan!" Raka lagi-lagi hanya mengangguk nenyetujui, dia takut jika Nath justru kembali marah saat dia menolak.

"Bagus, sekarang istirahat. Aku udah turuti kemauan kamu buat pulang tadi pagi, nanti mungkin Faras akan kemari." Natha menghela nafas, dia tidak menyangka bundanya saat remaja adalah sosok yang sangat cerita dan cerewet tentu saja.

"Bunda." Faras bisa melihat Nath menatap kearahnya.

"Kenapa?" Raka menggeleng, dia memejamkan matanya menghindari menatap mata Nath.

"Jangan pergi." mendengar gumaman Raka membuat Nath ikut merebahkan tubuhnya di ataskasur sempit milik Raka, dia memeluk tubuh Raka yang ternyata lebih mungil dari tubuhnya.

"Aku disini, aku gak akan pergi. Nanti berjanjilah kamu akan memberitahu ku tentang kehidupan mu dimasa depan." Raka hanya mengangguk, dia menikmati hangatnya pelukan Nath juga elusan lembut dikepalanya.

"Kalau tidur jangan lupa bangun lagi ya, jangan buat aku takut."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.

DejavuWhere stories live. Discover now