25. Marah

541 83 14
                                    


.
.
.
.
.
Gandy menatap tubuh Raka yang masih terbaring dengan sendu, seharusnya Raka bisa tersenyum bahagia saat ini, apa lagi jika Raka mengetahui bahwa sosok yang sangat remaja mungil itu sayangi ada disini. Nath sang bunda ada disini dan menunggunya, sesuatu yang entah bagaimana bisa berubah saat mereka kembali.

"Raka, mau tidur sampai kapan sih? Gak kangen bunda? Gak kangen gue?" Gandy bergumam lirih, dia tau bahwa dokter mengatakan bahwa Raka sedang beristirahat. Tapi ini sudah hari kedua dimana remaja mungil itu tertidur dan belum juga membuka matanya.

"Gue kangen Ka, ayo bangun. Om Faras kangen sama lo katanya." Gandy menggenggam tangan Raka yang terbebas dari infus. Beruntung Gandy sedang sendirian diruang rawat Raka, karena para orang dewasa itu belum juga kembali dari mencari sarapan.

"Ayo bangun, terus yakinin mama kalau aku pasti bahagia sama lo." Gandy sudah mendengar penjelasan Faras, tentang apa saja yang berubah dan tidak. Ternyata kepergian mereka ke masa lalu tidak bisa merubah kejadian pilu dikeluarga Raka, Nath dan Raka tetap tidak hidup bersama dengan Dhika. Ternyata laki-laki itu tidak menangkap sinyal terselubung dari Gandy sebelum kembali.

Cklek

Gandy langsung mengangkat kepalanya saat mendengar suara pintu dibuka, tatapan penasaran Gandy langsung berubah tajam saat mengetahui siapa yang tengah berdiri diambang pintu kamar rawar Raka.

"Kenapa anda ada disini?" Gandy bertanya dengan nada suara yang sangat dingin, dia tidak ingin sosok laki-laki itu kembali menyakiti Raka.

"Kamu anak Jatna kan?" Gandy berdecak kecil sebelum berdehem mengiyakan.

"Hm." Gandy sudah berdiri dari duduknya saat sosok itu mendekat.

"Lebih baik anda keluar selama saya masih sopan." Dhika menatap tajam pada Gandy saat mendengar pengusiran remaja itu.

"Apa Jatna dan Aksa tidak mengajarkan mu sopan santun terutama pada yang lebih tua?" Gandy tersenyum miring saat mendengar ucapan Dhika.

"Apa anda pernah berkaca? Apakah anda patut untuk diperlakukan secara sopan?" Dhika mengepalkan tangannya, ucapan Gandy sukses membuat dia meradang.

"Jaga ucapan mu, kau tidak tau apapun!" Gandy mendengus kesal.

"Anak yang anda bilang tidak tau apapun ini bahkan lebih tau bagaimana kehidupan Raka dibanding anda yang hanya bisa menyakiti Raka!" Dhika terdiam, di tau bahwa ucapan Gandy benar adanya.

"Lebih baik anda pergi, sebelum saya yang akan menyeret anda keluar dari ruangan ini! Cukup anda menyakiti Raka dengan segala sikap bajingan anda selama ini!" Gandy menaikan nada suaranya, bahkan remaja itu tidak sadar jika suaranya terdengar hingga luar ruangan, membuat lima orang dewasa yang baru saja tiba mematung didepan ruang rawat.

"Gandy kenapa teriak-teriak?" Jatna memutuskan masuk kedalam ruang rawat setelah rasa terkejutnya hilang.

"Dhika?" Nath bergumam pelan saat melihat laki-laki yang memiliki seluruh hatinya itu.

"Nath." Nath memalingkan wajahnya saat Dhika menatap kearahnya.

"Pergi dari sini, jangan pernah temui Raka jika kamu cuma mau menyakitinya!"
.
.
.
.
.
Pengusiran Nath terhadap Dhika ternyata tidak mampu membuat laki-laki itu pergi, bahkan sekalipun dia diabaikan oleh sosok manis yang pernah menjadi suaminya itu, ah atau mungkin hingga kini masih menjadi suaminya, karena kenyataannya mereka tidak pernah bercerai.

"Nath, tolong maafkan aku." Nath hanya bergeming, sama sekali tidak menoleh pada Dhika. Sedangkan Gandy sudah sangat ingin menghajar laki-laki itu jika saja tidak ada kedua orang tuanya itu.

"Lebih baik lo pergi dari sini Dhik, lo udah nyakitin mereka, dan gue gak mau liha sahabat gue sakit lagi gara-gara lo!" ucapan dingin Faras membuat Dhika menunduk, sejak Faras dan Indra kembali dari jepang, keduanya memang selalu menatap Dhika seperti musuh.

"Gue disini bukan mau nyakitin anak gue Ras, gue mau minta maaf." Gandy berdecak saat mendengar ucapan Dhika, berbeda dengan yang lain.

"Kalau pun bunda bisa memaafkan anda, apa anda yakin Raka akan memaafkan anda?" Dhika menatap putus asa pada Gandy yang tetap menatapnya tajam.

"Raka pasti mau maafin saya." lima orang dewasa lainnya hanya menatap dan memperhatikan bagaimana Gandy mengatakan semuanya.

"Kenapa anda sangat yakin? Jika Rala bisa memaafkan dengan mudah, Raka tidak akan membuat mesin waktu untuk pergi kemasa lalu hanya untuk memisahkan kalian!" Dhika terpaku, bahkan Indra dan Nath juga ikut terdiam.

"A-apa maksud kamu Gandy?" Gandy menatap Nath yang sudah siap untuk menangis karena ucapannya.

"Gandy tau bunda adalah salah satu orang yang ingat akan kehadiran kami dimasa remaja kalian, bunda pasti ingat gimana dia, ngebully Raka dengan segala alasan konyol dan gak masuk akal!" Nath hanya diam saat melihat Gandy menunjuk Dhika, berbeda dengan Faras yang sudah menghela nafas.

"Gandy baru menyadari bahwa kepergian Raka ke masa lalu sudah mengubah sesuatu di masa ini, bahkan sebelum Gandy menyusul kesana." Aksa mendekati Gandy dan mendekap tubuh putranya itu.

"Gandy hentikan." Gandy menggeleng.

"Gandy gak akan berhenti ma, mungkin sekarang mereka harus tau apa yang dialami Raka selama ini sampai Raka mutusin ide gila soal mesin waktu itu!"

"Ceritakan Gandy, katakan semua yang bunda gak tau soal Raka." Faras langsung mendekap tubuh Nath saat melihat tubuh mungil itu bergetar.

"Seberapa banyak Raka nyembunyiin sesuatu dari gue Ras? Kenapa gue gak tau apapun soal dia? Bahkan gue gak tau kalau Dhika sama Raka pernah ketemu waktu gue sakit!" Faras mengelus punggung Nath pelan.

"Kita dengerin Gandy dulu ya, lo Dhika, duduk dan gak usah macem-macem!"
.
.
.
.
.
Gandy mengepalkan tangannya dengan mata tertutup, mencoba mengingat apa saja yang sudah dia lihat dengan mata kepalanya sendiri tentang perlakuan yang diterima Raka. Entah dari warga sekitar, teman-teman sekolahnya bahkan dari keluarga sang ayah kandung.

"Gandy, kalau belum siap, kamu gak perlu cerita." Gandy menatap tidak percaya pada Faras yang juga tengah menatapnya lembut.

"Apa Gandy harus nyembunyiin ini lagi om? Waktu itu Gandy gak jadi bilang karena Raka ngelarang, sekarang Raka udah disini, jadi Gandy gak perlu takut kehilangan Raka." Faras menggeleng, bukan soal itu yang dia khawatirkan melainkaj emoai Gandy yang akan meledak saat menceritakan semua tentang Raka.

"Biarin Gandy cerita, biar om Dhika tau kalau dia selama ini udah jadi bajingan pengecut yang nyakitin darah dagingnya sendiri!" Gandy menatap satu per satu orang dewasa yang ada disana, hingga netranya berhenti tepat saat menatap wajah sang ibu.

"Sehabis Gandy ceritain semuanya, Gandy mau ngobrol berdua sama mama, boleh?" Aksa hanya mengangguk, dia tau bahwa Gandy juga akan membicarakan soal Raka dengannya.

"Boleh, kamu gak perlu ijin cuma buat bicara sama mama." Gandy tersenyum lembut.

"Tolong jangan ada yang memotong cerita Gandy."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.

DejavuWhere stories live. Discover now