14. Semakin parah

498 84 1
                                    


.
.
.
.
.
Dhika benar-benar dibuat kesal oleh Raka, karena remaja itu sukses mengambil semua perhatian Nath. Raka sendiri tentu saja senang saat Nath tidak lagi menghiraukan Dhika.

Raka menatap Nath dengan lekat, sesekali remaja mungil itu akan menggigit bibir bawahnya saat mendengar tawa Nath mengudara. Tawa yang begitu lepas, seolah tidak ada beban yang ditanggung oleh Nath, berbeda dengan dimasanya. Yang Raka ingat hanya senyum lembut sang bunda, usapan lembutnya, tapi Raka tidak pernah mendengar sang bunda tertawa lepas seperti sekarang.

Raka menghentikan langkahnya, membiarkan Nath melangkah lebih dulu bersama Faras juga Jatna. Menatap punggung sempit yang akan menanggung banyak beban dimasa depan, bahkan hingga akhir hayatnya. Dengan perlahan Raka membalikan badannya dan melangkah kearah berlawanan, dia sedang ingin menjauh dari Nath, Faras juga Jatna, berharap jika langkahnya yang semakin menjauh akan sedikit mengurangi rasa bersalahnya.

"Maafin Raka bun." Raka bergumam, remaja itu memutuskan masuk kedalam perpustakaan, berniat bersembunyi disana hingga hatinya tenang.

"Gandy, apa yang gue lakuin ini bener?" Raka bergumam lirih sembari menatap ponselnya, pagi tadi dia sengaja membawa ponselnya, karena dia tau di akan membutuhkannya. Ya Raka memang membutuhkan itu untuk menatap wajah cantik sahabatnya.

"Gue kangen, tapi gue udah janji sama diri gue sendiri buat misahin mereka." Raka menelungkupkan wajahnya dimeja perpustakaan, beruntuk meja yang dipilih Raka berada di pojok, hingga remaja itu tidak akan terkena teguran karena membolos.

"Gue bolos lagi Dy, kalau lo tau pasti marah kan." Raka jadi ingat raut marah Gandy jika menemukan Raka membolos.

Ya harus Raka akui, dia termasuk siswa badung, sering membolos pelajaran hanya untuk tidur diperpustakaan atau melamun atap. Tapi Raka tidak pernah mendapatkan hukuman selain teguran halus, bukan karena dia berteman dengan cucu pemilik sekolah, tapi karena segudang prestasi yang telah dia berikan untuk sekolah. Semua orang di sekolah nya tau sejenius apa Raka Mahawira, bukan hanya satu sekolah tapi mungkin hampir satu indonesia tau tentang kejeniusannya. Remaja yang namanya selalu menyabet medali emas di olimpiade kimia, namanya selalu berdampingan dengan Madhava Gandy Lukito yang juga selalu menyabet medali emas dalam olimpiade fisika.

"Gue gak tau kalau ternyata anak yang dibela oleh ketua osis kita itu suka membolos pelajaran." Raka bergeming, dia tentu mengenal suara siapa yang tengah dia dengar saat ini.

Duk

"Hei pendek kalau diajak ngomong itu lihat orangnya!" sosok itu menendang kursi tempat Raka duduk hingga remaja itu mengangkat kepalanya, Raka menatap malas pada sosok yang sejujurnya tidak ingin dia lihat saat ini, Dhika.

"Apa?" Dhika mengepalkan tangannya saat melihat respon Raka yang terkesan biasa saja.

"Ikut gue, gue punya urusan sama lo!" Raka hanya diam saat Dhika menarik tangannya keluar dari perpustakaan, namun begitu sampai diluar perpustakaan Raka langsung menyentak tangan Dhika.

"Aku gak ada urusan sama kamu, jadi aku gak akan ikut." Raka diam saat ditarik karena dia tidak ingin ada keributan diperpustakaan.

"Lo berani ngelawan gue?" Dhika terlihat semakin geram, apa lagi saat tidak melihat ketakutan di netra hitam Raka.

"Kayaknya lo memang lebih suka bermain ya!" Dhika langsung menyeret tubuh Raka dengan paksa, membawa tubuh mungil itu kedalam toilet yang terletak diujung lorong lantai empat, toilet yang sangat jarang dikunjungi oleh siswa lain.

Brak

"Ugh." Raka bisa merasakan pinggangnya ngilu saat tubuhnya menabrak westafel. Raka hanya bisa menatap Dhika, wajah itu tidak berubah, mengingatkan dia akan penolakan Dhika dimasa depan.

DejavuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang