Bagian 2 : Part 2

127 8 0
                                    

Dini menarik kopernya agak kesulitan dari bagasi bus

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Dini menarik kopernya agak kesulitan dari bagasi bus. Isinya mungkin bukan macam-macam, tapi melihat ukurannya yang lumayan besar dan sintal. Sepertinya isinya bukan lagi hanya baju dan pakaian dalam. Cukup menyesal membawa barang-barang yang tidak perlu di perjalannya ini. Kalau begini dia yang kerepotan. Di masa-masa kesulitannya, sebuah tangan tiba-tiba meraih kopernya tanpa permisi. Gadis itu sontak menoleh, sedikit terkejut mendapati Iyan-lah orang yang membantunya. Laki-laki itu menarik kopernya keluar dari bagasi, lalu menyerahkan itu padanya.

"Sama-sama!" Katanya asal.

Dini sempat lambat merespon, buru-buru dia tarik koper hitam miliknya itu. "Terima kasih, Iyan!"

Iyan hanya menjawab dengan gumaman. Dia sendiri perlu mengambil tas miliknya. Satu tas gendong dan satu tas selempang yang bisa di tebak di sanalah semua baju miliknya berada. "Kamu---" seruan Dini membuat Iyan membeku di tempatnya. Dia perlahan menghadap pada gadis itu. Menunggu. "--bagaimana kabarmu? Apa baik?"

"Ya, baik!" Balas Iyan cangung. Beberapa saat mereka saling diam, kebingungan harus bicara apa selanjutnya. "Bagaimana denganmu?"

"Eh? Eng, ya, baik. Sama sepertimu. Sudah lama sekali kita tidak bertemu lagi. Kapan terakhir kali kita bicara? Terakhir kalinya kita bicara itu saat---" Dini langsung bungkam sendiri ketika mengingat kapan terakhir mereka bicara. Terlebih saat Iyan kini menatapnya begitu datar, apa yang mereka pikirkan saat ini pasti selaras. Yaitu saat dia meminta Iyan untuk berhenti menyukainya dan melupakan perasannya. Itu kenangan yang cukup buruk. Bahkan bagi dirinya. "Maafkan aku, Iyan! Aku tidak bermaksud untuk membahas masalah itu,"

Iyan hanya menaikan bahunya. Nampak tidak perduli tentang masa lalu mereka. Dia tampak tidak menunjukan hal-hal jika dia masih jatuh dalam kesedihan. "Aku bahkan sudah lupa. Tidak perlu minta maaf," Dini menganguk tidak nyaman. Menyesal telah merusak perbincangan ini. "Boleh aku bertanya sesuatu?"

"Ya, soal apa?" Balasnya antusias.

Tangan Iyan terangkat, refleks mengusap telungkuknya. Sekarang sikapnya jadi buncah. "Apa benar kamu sudah tu---"

"Hei!" seruan itu mengejutkan Iyan. Dia sampai terjatuh ke rumput hijau yang tengah mereka pijaki. Begitu dia melihat pelakunya justru tertawa. Iyan kesal bukan main. "Kamu sedang apa sih? Aku bilang bawakan tas milikku. Kamu malah bicara dengan Dini,"

Dini tersenyum ramah. "Kamu juga tidak berubah, Rizam!" Iyan di sana bangkit. Membersihkan celananya. Laki-laki yang masih geli dengan tingkah Iyan, dia adalah Rizam. Jika Iyan adalah laki-laki palling tampan di kelas, Rizam adalah yang terpintar. Pada zamannya dia yang paling banyak mengikuti perlombaan, contohnya lomba komputer dan lomba antar jurusan. Walaupun bukan jadi juara, tapi itu sudah cukup untuk menjadi paling terdepan di kelas dan jurusan. Dia dan Dini beberapa kali juga jadi saingan nilai di kelas.

Tapi tetap, Dini masih jadi nomor satu.

"Memangnya aku akan berubah jadi apa? Power ranger?" balasnya asal. Jangan heran, orangnya memang agak sedikit berbeda. Di bagian otaknya. Mungkin itu karma untuk orang pintar. Pintar memang cocok dengan sifat gila. "Bukannya yang terlihat jelas kamu yang berubah?"

REUNI (TAMAT)Where stories live. Discover now