[6]

4.6K 851 38
                                    

Terhitung dua hari sejak Jihoon terkena efek mabuk dari soulmate-nya itu. Sejauh ini, tidak ada lagi hal aneh yang terjadi.

Hidupnya aman dan damai. Begitu sentosa.

Kira-kira itu terjadi sampai istirahat kedua.

Jihoon tengah menikmati sepotong goreng bakwan beserta segelas jus rasa jeruk bersama Sunwoo yang menempelinya setiap saat.

Sesekali matanya tertuju pada para siswa yang tengah berdesakan, mengantri di setiap kedai jajanan guna mengisi perut kosong mereka.

Begitu sesak dan panas. Benar-benar penuh, tempat duduk yang seharusnya di tempati tiga orang menjadi lima orang.

Sunwoo bahkan menumpangkan satu kakinya pada paha Jihoon saking penuhnya kantin itu.

Itu normal, terasa biasa bagi Jihoon yang sudah hampir dua tahun menjalani rutinitas ini. Yah, Jihoon masih seorang siswa menengah atas kelas sebelas, yang akan marah dan tersulut emosi jika melihat salah satu temannya dilecehkan.

Tapi, tidak.

Itu tidak terjadi di tempat ramai nan sesak ini. Lagipula, orang tolol macam apa yang melecehkan seseorang di tempat umum?

Tidak ada.

Jadi, Jihoon menikmati makan siangnya dengan celoteh Sunwoo yang tidak berhenti berdengung di kedua telinganya.

Bahkan si Aries masih terus berbicara ketika mereka hendak kembali menuju kelas. Berhenti bersuara kala ia melihat seseorang tengah dipojokan di bawah tangga oleh tiga orang yang memakai atribut berbeda. Ciri khas tingkat akhir.

Sunwoo menahan Jihoon dengan menarik ujung baju pemuda itu, membuat Jihoon menoleh dan mengernyit. "Apa?"

Bukan suara yang menjadi bentuk respon atas pertanyaan Jihoon, tapi telunjuk Sunwoo mengarah pada apa yang ia lihat.

"Itu bukannya Junkyu, ya?"

Jihoon tidak tahu apa jelasnya yang terjadi pada Junkyu, yang pasti, Jihoon tidak akan diam saja melihat Junkyu dikerumuni kumpulan kakak kelas dengan tampang sok senior.

"Woy!" ia langsung saja berteriak, menyela seseorang yang sepertinya hendak cium leher Junkyu.

Tiga orang itu menoleh, melepaskan pegangan mereka dari Junkyu yang ternyata hampir menangis.

"Gak usah ikut campur. Pergi, pura-pura gak liat."

"Ah, tolol. Brengsek lo semua." mungkin seharusnya Jihoon tidak mengatakan itu, mungkin seharusnya Jihoon memanggil seorang guru,

Karena detik selanjutnya setelah ia mengatakan itu, kakak kelasnya bergerombol datang dan mulai menghajarnya.

Tidak, tidak. Jihoon bisa bertarung, melawan dua sampai tiga orang bukan masalah baginya. Ia sudah diajarkan cara membela diri sejak dini. Tapi tujuh orang jelas bukan tandingannya.

Karena entah bagaimana empat orang lainnya tahu-tahu datang dan memukuli Jihoon. Menendang perut dan punggungnya bergantian.

Yang lain menonjok wajahnya tanpa ampun, membuat beberapa memar mulai terlihat mengerikan.

Jihoon mengerang, melindungi perutnya yang hampir tidak teras.

Tentu saja Jihoon kalah. Satu banding tujuh itu jelas tidak sepadan. Satu, karena Sunwoo pergi, memilih menjadi pintar dan tidak sok jagoan.

Ia memanggil guru, membuat kerusuhan itu bubar dengan Jihoon yang memiliki tiga memar ungu menghiasi wajah tampannya.

Belum lagi perut dan tulang rusuknya yang teramat sangat ngilu. Lupakan tentang punggung, tulang keringnya bahkan membiru.

My Stupid Soulmate [✓] Where stories live. Discover now