[26]

5.4K 702 231
                                    

Jihoon tersentak dari tidurnya yang terasa amat panjang. Ia memijat pelipisannya pelan sebelum bangun dan meneguk segelas air putih yang tersedia di meja nakasnya.

Sedikit berpikir untuk mengingat-ingat mimpi aneh yang ia alami sebelum terbangun di kamarnya.

Mimpi yang sialnya tidak bisa Jihoon ingat sama sekali karena pikirannya terasa kosong, segalanya terasa hampa dan menghilang.

Terasa sesak begitu ia mengingat kejadian semalam.

Semalam...

Buru-buru Jihoon mengambil ponselnya, hanya untuk memeriksa waktu yang sial seribu kali sial sudah menujukan pukul sepuluh pagi.

Ia mengumpat dalam hati, bisa-bisanya ia bangun siang hari. Benar-benar aneh, karena apapun yang terjadi, selelah apapun Jihoon, ia tidak akan pernah bangun siang.

Desahan gundah lolos dari bilah si Maret, mengusak rambutnya begitu kasar kala ingatannya kembali melayang pada pertengkarannya dengan

Dengan...

Dengan siapa...

Jihoon berpikir keras, siapa... Siapa yang ia ajak bertengkar dan kenapa dia bertengkar dengannya?

Apa yang terjadi semalam, kenapa Jihoon ingat ia bertengkar dengan seseorang tapi tidak ingat siapa atau apa yang menjadi alasan pertengkarannya itu?

Sampai sebuah nama bergema keras dalam kepala dan hatinya. Memenuhi ruang kosong itu dan Jihoon terhenyak seolah menerima sengatan listrik jutaan volt.

Jantungnya berderu hebat, keringat dingin tak lagi bisa ia tahan. Ribuan prasangka buruk memenuhi segala yang tersisa dalam benaknya, membawa Jihoon pada ketakutan terbesar dalam hidupnya.

Secepat mungkin Jihoon berlari, keluar dari kamarnya dan mengendarai motor tanpa peduli pada Seolhee, pada penampilannya ataupun pada pengendara lain yang marah karena Jihoon mengemudi ugal-ugalan.

Jihoon tidak peduli apapun selain kekasihnya, bahkan mati sekalipun Jihoon tidak masalah asal apa yang ia pikiran tidak benar-benar terjadi.

Begitu ia sampai di kosan, Jihoon langsung memanjat pagar yang menghalangi, tidak mau repot-repot menekan bel dan menunggu seseorang membukakannya.

Menerobos masuk tidak sopan, membuat para penghuni terperanjat heran.

"Heh, ada apa?"

Tak Jihoon hiraukan, yang dilakukannya hanya berjalan menuju kamar dengan pintu yang ditempeli banyak catatan pengingat. Persis seperti pertama kali Jihoon mengunjungi kamar itu.

Air matanya hampir terjun begitu ia mengingatnya.

"Kak, buka pintunya. Kamu nggak bener-bener ngelakuin apa yang kamu bilang, 'kan?" ada rasa takut dalam kalimatnya, terselip begitu jelas.

"Kamu nggak ninggalin aku, 'kan?" karena Jihoon tidak merasakan ikatan apa-apa dengan Hyunsuk, ia bahkan tidak merasakan keberadaan Hyunsuk dan sesuatu terasa menghilang darinya.

Jihoon mengetuk-ngetuk pintu itu tidak sabar, mengabaikan Yohan yang mengatakan mungkin Hyunsuk masih tertidur.

"Kak, aku mohon. Kamu punya waktu tiga detik buat keluar atau aku masuk paksa."

Tiga detik berlalu dan Hyunsuk tak kunjung menampakkan hidungnya. Membuat Jihoon secara tidak sabaran mendobrak pintu itu sekuat tenaga.

Dan Jihoon langsung menyesalinya.

Jihoon ingin kembali ke rumahnya, ingin kembali tidur dan tidak akan pernah bangun untuk selama-lamanya.

Tidak jika sosok kecil yang seharusnya Jihoon dekap sepenuh hati kini malah terbaring kaku di atas kasur penuh darah, bersimbah memenuhi fabric putih itu.

My Stupid Soulmate [✓] Where stories live. Discover now