BAB. 1 -- Bumi

49 7 3
                                    


Diiiiiiiiiiittttttt....... goongggggggg......diiiiiiittttt......

Bunyi sinyal FRB (FAST RADIO BURST) dan suara menggema seperti gong yang dbunyikan memang sering aku dengar beberapa minggu ini. Agak aneh menurutku memang, Ayahku, Danu Atmaja, adalah seorang ilmuwan yang meneliti tentang virus bukan ilmuwan antariksa. Tapi, entah mengapa, semua alat-alat aneh itu bisa berada dirumahku. Bahkan, sekarang, dirumahku, aku punya sebuah ruang bawah tanah yang dipenuhi dengan alat-alat aneh, yang kadang berbunyi sangat bising, bunyinya seperti pencari frekuensi radio. Ada pula satu ruang tertutup disudut dengan tulisan yang membuat siapapun yang membacanya akan bergidik karna takut, "JANGAN COBA-COBA MEMBUKA PINTU INI, JIKA KAU TIDAK INGIN CELAKA!".

Beberapa minggu ini pun, Bumi tampak agak sedikit ekstrem. Langit tampak selalu gelap, sudah beberapa kali terjadi kebakaran hutan karna suhu bumi yang kadang terlampau panas. Semua manusia di Bumi wajib memakai masker tebal untuk keluar rumah, bahkan hanya keluar yang berjarak belasan meter saja, masker tidak boleh ketinggalan. Kalo sampe nekat, siap-siap saja terkena batuk hebat dan gatal-gatal ditenggorokan, bahkan Melissa, tetangga sebelahku yang nekat buang sampah kedepan tanpa masker, langsung keluar mimisan dari hidung dan batuk-batuk hebat selama beberapa hari. Sungguh mengerikan.

"Mariiii..jangan sampai ketinggalan inhaler nya." teriak Ibu ku dari lantai atas.
"Okeeeee, bu." jawabku sambil tergesa bergegas berangkat sekolah karna bus sekolahku sudah berisik membunyikan klakson daritadi.

"Marion!" Eli, teman sebangku ku berteriak tepat di telingaku saat aku berjalan ditaman sekolah menuju kelasku. Aku memelototinya dengan marah.
"Bisa gak usah teriak!" marahku.
"Hehehe, ya maaf bestie." jawabnya lesu.
"Tadi teriak-teriak sekarang sedih. Ada apa, El?" tanyaku, saat tiba-tiba kulihat matanya yang berkaca-kaca.
"Ibuku di bawa ke Rumah Sakit. Tadi malam ibuku mimisan hebat, badannya menggigil dan nafasnya berat. Aku takut, Mari. Dua hari lalu berturut-turut Om, Tante dan Sepupuku meninggal tiba-tiba. Sekarang, ibu ku." cerita nya dengan isak yang mengalir begitu saja di pipinya yang kecoklatan. Gadis mungil dengan mata bulat itu terlihat sangat tak berdaya.
"Jangan khawatir, ibu mu akan baik-baik saja." hiburku.

Aku memandang jauh ke atas langit. Seram, begitu sangat menyeramkan.

"Mari, ku dengar dari Sabian, kalo mulai besok sekolah diliburkan sampai kondisi Bumi stabil kembali." katanya saat kami memasuki kelas.
"Benarkah? Sedih sekali, kita bakal jarang ketemu, Eli." Aku memeluknya erat.
"Marion, apa Ayahmu benar-benar tak punya solusi masalah virus ini. Ayah mu kan Ilmuwan, mungkin saja ada obat penangkal yang manjur." tanya Eli dengan antusias.
"Hmm.. entahlah, El. Karna sejak virus aneh melanda Bumi, ayah ku sudah tidak pernah lagi terlihat bekerja di Laboratorium. Dia lebih terlihat sibuk di rumah. Bekerja di ruang bawah tanah. Entah, aku sendiri tak tahu apa yang ayahku kerjakan." jawabku sambil membayangkan suasana kerja ayahku yang baru dengan segala jenis alat yang berbunyi bip..bip..bip. Seperti suara alat pemanggil Alien.

Siang itu, sepulang sekolah, rumah terasa sangat lenggang. Biasanya ku lihat Ibu sibuk memasak di dapur, tapi sampai ku panggil-panggil ke lantai atas pun, tak terdengar balasan Ibu menyambut panggilanku. Karna rasa penasaran, bergegas aku menuju ruang bawah tanah, siapa tahu Ibu sedang bersama Ayah disana.
Benar saja, Ibu sedang berbincang  dengan Ayah dengan raut wajah yang sangat serius. Bukan! Lebih tepatnya wajah Ibu tampak sangat ketakutan.

"Apa maksudmu, sayang. Aku tidak mengerti." tanya Ibu pada Ayahku.
"Ana, dengarkan aku baik-baik. Bumi ini sudah tidak layak lagi untuk kita tempati. Tidak sampai waktu sebulan ini, Bumi akan musnah, sayang." Shock, kulihat raut wajah Ibu yang berubah cemas, tegang dan ketakutan. Ku kira bukan hanya Ibu saja yang merasakan ketakutan. Karna saat ini pun, badanku sudah bergidik mendengar apa yang Ayahku bicarakan.
"Musnah? Apa maksudnya musnah? Bukankah Pemerintah bahkan para ilmuwan di seluruh dunia sudah mempunyai solusi untuk masalah virus ini?" cecar Ibuku.
"Ya, benar. Mereka punya solusi. Kita harus meninggalkan Planet ini." kata Ayahku.
"Apa! Yang benar saja, apa maksudmu meninggalkan Planet ini. Meninggalkan Bumi? Mati maksud kamu?" Ibu terlihat sangat marah. Marah karna situasi aneh ini.
"Bukan..bukan seperti mati maksudku. Kita harus meninggalkan bumi, pindah ke PLanet lain." jawab Ayah serius, serasa tidak ada kebohongan pada setiap kata-katanya. Ibu ku tertawa dengan canggung. Belum sempat Ibu berbicara, Ayah sudah menyela dengan pernyataan yang sungguh di luar nalar otak manusia.
"Dengarkan aku baik-baik, tahan emosimu dulu, ok. Kita akan pindah ke Planet lain di Luar Angkasa, Ana. Aku, Kau dan juga Marion. Selain kita bertiga tidak ada lagi yang bisa ikut bersama kita. Mungkin ada sekitar 100 orang yang akan tinggal disana. Disana memang tidak senyaman Bumi, tapi setidaknya disana kita bisa hidup Ana."

Apa yang sebenarnya terjadi, setelah penjelasan Ayahku barusan, otakku tiba-tiba membeku. Planet lain? Maksud Ayah, Mars? Atau Bulan? Sekalian saja Matahari. Benar-benar tidak masuk di akal.
Aku turun ke lantai bawah, kulihat Ibu duduk termenung didepan jendela, matanya pun nya sembab merah.

"Ibu, apa yang Ibu lakukan disini? Ibu menangis?" tanyaku hati-hati.
"Ibu hanya sedang memikirkan nenekmu, Mari." jawabnya tersedat.
"Nenek? Ada apa dengan Nenek, apakah sakit?"
"Nenekmu kan memang sedang sakit, Mari. Ibu hanya mengkhawatirkannya saja. Dan Ibu sedang memikirkan, bagaimana nasib nenekmu jika Ibu meninggalkannya sendirian." Ibu kembali menangis.
"Apa maksud Ibu sendirian? Ada Tante Laras dan Om Iqbal yang setia menemani. Nenek akan baik-baik saja, Bu. Tidak usah khawatir." hiburku, entah mengapa bukannya terhibur, Ibu justru semakin terisak. Dari tempatku berdiri, kulihat dari pantulan kaca, Ayah sedang mengamati kami sambil menundukkan kepalanya.

Keesokkan hari, disuatu pagi yang sangat begitu terasa dingin. Dingin sekali, sampai aku harus memakai sweater double untuk sekedar mendapat hangat di tubuhku. Kulihat jam sudah pukul 8 pagi, tapi anehnya, langit diluar sangat begitu gelap, seperti akan turun hujan yang sangat deras. Rasa nya sangat pengap. Buru-buru aku mengambil inhalerku, ku hirup dalam-dalam agar nafasku tidak terasa sesak lagi.

Ibu, dimana Ibuku?
Aku menuju kamarnya dan kulihat Ibu sedang menyiapkan beberapa barang dan juga beberapa baju dalam 2 buah koper besar.

"Ibu mau kemana?" tanyaku keheranan.
"Ana, bantu Ibu nak, lekas. Ibu sudah menyiapkan beberapa baju beserta beberapa peralatan pribadimu di koper ini, Ibu sendiri tidak yakin apa semua perlengkapan ini berarti bagi kita disana." Ibu menunjuk koper yang sedikit lebih kecil dari 2 koper lainnya.
"Mau kemana kita, Bu?" tanyaku untuk kedua kalinya.
"Kita akan pergi jauh sayang. Sangat jauh, meninggalkan Bumi ini, pindah ke Planet lain." katanya, disambut keningku yang berkerut 1000 lapisan dan mulut yang menganga lebar saking terkejutnya dengan kata-kta Ibu barusan.
"Jadi semua benar apa yang kudengar kemarin, saat Ibu berbicara dengan Ayah diruang bawah tanah?" tanyaku.

"Kau mendengarnya, Nak?" tanya Ayahku yang tiba-tiba sudah berada tepat dibelakangku.

Aku menghadap Ayah dengan raut wajah penuh tanda tanya.

"Apa maksud semua ini, Ayah? Benarkah kita akan pindah ke.. Planet lain?" tanyaku hati-hati.
"Benar, Sayang. Apa yang kau dengar tidak salah sama sekali. Semua benar, Marion. Maafkan, Ayah, Nak." Ayah memelukku dengan erat.

"Nenek, bagaimana dengan Nenek, Ayah?" tanyaku antusias. Lantas memandang Ibu yang saat ini sudah berlinang air mata. Memandangku dengan tatapan yang tak bisa aku mengerti.
"Maafkan Ayah, Marion. Nenekmu tidak bisa kita bawa. Ayah hanya dapat jatah tiket 3 orang saja, satu keluarga kita. Kau, Ayah dan Ibu mu."
"Tiket? Tiket apa, Ayah? Pesawat? Kereta Api? Atau Kapal Laut?"
"Tiket untuk masuk kedalam Planet yang akan kita tempati nanti." jawab Ayahku.
"Apakah jauh? Dengan apa kita kesana?" tanyaku penasaran.
"Kita akan menaiki kapsul teleportasi. Kapsul yang dapat membawa kita langsung ke Luar Angkasa. Kapsul itu berada di ruang bawah rumah kita." jawab Ayah. Kukira dia bercanda, tapi mata coklat teduh milik Ayah menggatakan bahwa semua itu benar adanya.

"Lalu, apa nama Planet yang akan kita tempati nanti, Ayah?"

"Ares!"

New Life in The AresWhere stories live. Discover now