Bab. 15 --

12 2 1
                                    

Aku menerima bantuannya untuk berdiri.
"Trimakasih." Kataku.
"Mari ikut aku." Katanya lalu berjalan di depanku.
"Kau tidak ikut?" Kataku berhenti berjalan dan berbalik menghadap Duxi. Dia menggelengkan kepalanya dan tersenyum.
"Kau akan pergi berdua saja denganku." Kata pria di depanku yang kini sudah berjalan ke arahku. Aku mengeryit sedikit bingung.
"Ayo. Nanti kau akan ku antar pulang sebelum malam." Aku menggangguk saja dan mengikutinya.

Kami melewati beberapa pengawal yang menunduk seketika ketika tuannya melewati mereka.
Gadis bernama Luna pun ada di sana. Dengan tatapan yang masih sama seperti yang dia tunjukkan saat berada di ruangan tuannya. Tatapan itu menunjukkan ketidak sukaannya padaku. Aku hanya berusaha tersenyum kepadanya. Dan dia langsung memalingkan wajahnya. Leanor melirikku sekilas dan dia tersenyum.

Lorong panjang bernuansa silver ini membawa kami ke sebuah ruangan yang tersembunyi. Karna pintu ruangan itu tak tampak. Ketika sang tuan menekan sebuah benda yang mirip seperti remote mini, tiba - tiba saja dinding di hadapanku ini membentuk semacam surai tipis yang bisa langsung di lewati oleh kami berdua.

Tak ada siapapun di sini selain aku dan Leanor. Namun ada satu pria tua di dalam ruangan ini yang sedang mengotak - atik sebuah monitor di depannya. Pria tua itu sedikit kecil, namun tidak seperti manusia kerdil yang setia menemani tuannya kemanapun. Saat kami memasuki ruangan itu, pria tua itu menghentikan pekerjaannya dan menghampiri kami berdua.

"Salam nona Marion." Katanya dengan suara serak. Dia membungkuk ke arahku. Janggutnya sangat lebat seperti santa claus.

"Emil, apa itu sudah bisa di pakai olehku." Tanya Leanor kepada pria tua itu dan menunjuk sebuah benda mirip seperti Flexy.
Pria tua itu mengangguk dan tersenyum lebar.
"Apa kau ingin mencoba nya?" Tanyanya lagi.
"Tentu, aku akan membawa nya berkeliling bersamanya." Jawab Leanor dan melirik ku.
"Baik, akan aku persiapkan." Jawab sang pria tua dan tersenyum lebih lebar.

"Kau punya satu di rumahmu bukan?" Tanya Leanor kepadaku. Aku mengangguk.
"Namun ini sedikit lebih besar." Jawabku sambil menunjuk benda itu.
"Ya betul. Namun di sini, Flexy hanya kendaraan paling kecil. Kami punya kendaraan yang jauh lebih besar dari ini." Katanya.
"Oh.." aku mengangguk lagi.

"Ini sudah siap." Pria tua itu berkata setelah memeriksa beberapa elemen di dalam kendaraan Flexy itu.

"Mari, ayo." Kata Leanor  lembut kepadaku. Aku mengikuti arahannya. Masuk ke dalam kendaraan berbentuk bulat ini dan duduk di samping nya. Kupasang sabuk pengaman dengan erat. Leanor memberikan jempolnya ke arah pria tua itu dan secara tiba - tiba atap  ruangan di atasku ini terbuka dengan lebar.
Flexy meluncur pelan menuju atap dan melayang tinggi.

"Waaaw.." hanya kata itu yang keluar dari mulutku saat kami sudah berada di luar ruangan dan melayang di atasnya. Kota Briox terlihat sangat jelas. Ternyata gedung yang Leanor tempati ini adalah gedung paling tinggi  yang sempat terlihat olehku saat aku berjalan - jalan dengan Stefanus. Aku sempat mengagumi nya, sekarang, saat ini aku malah berada di sini di samping sang pemimpinnya.

"Kota mu sangat indah." Kataku.
"Tidak. Semua bernuansa sama. Zena lebih indah, lebih mirip dengan Bumi bukan?" Katanya. Aku mengangguk mengiyakan.
"Ya benar. Di sini lebih terlihat modern, seperti kota masa depan." Kataku. Dia tertawa pelan.

Kami masih melayang di atas kota ini. Melewati berbagai bentuk rumah dengan atap membulat, berjejer rapih dan bersih. Orang - orang berlalu lalang, memakai jubah yang sama seperti tuannya. Namun tidak se mewah dia tentunya. Ada beberapa orang juga yang sedang berkerja.

"Maaf, boleh aku bertanya." Kataku  sambil memandangnya dari samping. Percayalah bohong kalau kau tidak gugup berada di samping pria setampan dia. Namun aku harus tetap mengendalikan diri bukan. Leanor menekan tombol auto di depannya dan menghadap ke arahku. Ya, Tuhan..

"Hmm...aku hanya ingin tahu. Apa benar semua orang - orang di sini tidak seratus persen manusia?" Dia mengangguk.
"Semuanya?" Dia mengangguk lagi. Masih memandangku.
"Aku memang melihat beberapa, seperti wanita bernama Luna tadi. Kedua kaki nya adalah kaki robot. Beberapa pengawalmu pun ada yang terlihat jelas bagian robotnya. Bahkan, pria tua tadi di bagian lengannya adalah lengan robot. Namun, Duxi dan kau terlihat seperti manusia biasa." Tanyaku lagi.

"Kau tahu, dulu aku dan semua yang ada di sini ada lah manusia normal seperti mu. Aku dan mereka semua mungkin sudah mati sejak lama jika saja 'dia' tidak menciptakan bagian robot untuk kami." Jawabnya.
"'Dia' , siapa dia?" Tanyaku.
"Kakekku. Prof. Xander." Katanya.
"Ah, ya, aku pernah mendengarnya dari ayahku." Kataku setelah mengingat- ingat nama familier yang dia sebutkan tadi.

"Aku adalah komandan perang pada zamanku." Dia tersenyum berbangga diri.
"Namun saat tubuhku terkena ledakan dan menghancurkan sebagian kaki dan beberapa organ dalamku, aku hampir mati saat itu. Kalau saja kakekku yang seorang ilmuwan tidak mempunyai inisiatif untuk menjadikanku bahan percobaannya dan membuatku mempunyai kehidupan kedua." Lanjutnya.

"Lalu?" Kataku lagi ingin mengetahui lebih jauh tentang kisahnya di sini. Sungguh menarik, kataku dalam hati.

"Lalu..sebaiknya aku antar kau pulang. Sebentar lagi akan malam." Dia menunjuk langit yang memang sudah berubah warna ke abu-abuan pertanda langit akan menjadi gelap. Aku mendesah.

"Baiklah." Kataku akhirnya. Leanor membelokkan kendaraan ini dengan cepat. Sampai pada sebuah surai yang membentang luas, yang bisa dengan mudahnya kami lewati. Pemandangan tak asing sudah tampak di depanku. Ya, aku sudah kembali ke kota Zena.

Entah mengapa kedatangan Leanor ke Zena selalu di tandai dengan datangnya kabut. Meskipun yang sekarang tidak setebal waktu aku melihatnya di depan Dome ku tempo hari.  Udara terasa begitu dingin.

Mendekati menara Zena, dia menghentikan Flexy ini. Dia menatapku lekat.
"Kau tidak mengingatku ya?" Katanya tiba-tiba.
"Maksudmu?" Kataku balik bertanya.
"Kau tidak ingat ada pria yang masuk ke dalam mimpimu saat kau masih terjebak dalam hibernasi awal kau masuk ke Planet ini?" Katanya lagi.
"Pria, dalam mimpiku?" Aku masih memutar otakku mengingat-ingat kejadian itu. Aku menggeleng.
"Mengapa kau mengetahui nya?" Kataku lagi.
"Karna saat itu aku menembus alam mimpimu, Marion." Dia berkata. Aku memandanginya tak percaya.
"Dan aku, menyukaimu sejak saat itu." Katanya lagi, yang membuat tubuhku tiba-tiba membeku saat mendengar Leanor berkata 'dia menyukaiku'.

Dan suasana menjadi hening tak ada suara.

New Life in The AresDonde viven las historias. Descúbrelo ahora