Bab. 16

12 1 1
                                    

Suasana hening tak ada yang bersuara. Kata - kata yang baru saja terucap dari bibirnya benar - benar di luar dugaanku. Pria dingin yang sempat aku takuti karna akan memberikan hukuman untukku, justru malah menyukaiku?

"Maksudmu apa Tuan Leanor?" Tanyaku masih tak percaya dengan yang barusan terdengar oleh telingaku.
Dia diam memandangku. Melajukan pelan kembali Flexy menuju lebih dekat dengan menara.

"Turunlah, aku akan mengantarkan mu." Katanya lagi dan ikut turun dari Flexy.
"Tunggu! Tolong jelaskan apa yang kau bicarakan tadi, Tuan. Kau tahu, aku wanita yang sangat penasaran akan sesuatu hal. Kalo itu masih belum diterima akal ku, aku pasti tidak akan bisa tidur sampai kapan pun." Kataku sambil memegang erat lengan kekarnya. Dia tersenyum begitu lebar. Mengambil tanganku dan menggengam nya. Memgelus punggung tanganku perlahan. Dingin, tangan itu terasa dingin.

"Kau begitu hangat." Katanya lembut dan memandangku lekat.
Astaga, situasi macam apa ini, kataku dalam hati.

"Aku pulang. Terimakasih karna tidak memberikan hukuman untukku. Kau sangat baik, Tuan Leanor. Senang berkenalan denganmu dan hmm...terimakasih jalan - jalannya." Kataku pamit seraya melepaskan tanganku dari genggamannya. Aku turun dari Felxy nya dan menuju Dome ku. Aku berbalik ketika aku mengingat sesuatu.

"Ah, ya. Bagaimana dengan Feloxa." Aku menepuk jidatku sendiri karna sudah begitu lupa dengan Feloxa. Bagaimana kalo dia masih berada di sana.

"Dia sudah berada di rumahmu. Sampai bertemu lagi, Marion." Katanya dan langsung melajukan kendaraannya menuju langit dengan sangat cepat. Dan menghilang.

'Sampai bertemu lagi? Heh, memang nya dia akan menemuiku lagi' gumamku dalam hati.
Aku berlari kecil menuju Dome ku.

Dari jauh kulihat Stefan berdiri dengan gelisah di depan dome nya. Aku menghampiri nya dan tersenyum kepadanya. Dari jauh dia sudah melambaikan tangannya padaku. Memberikan isyarat padaku agar cepat menghampirinya.

"Hai." Sapaku dengan senyum lebar. Dia menghampiriku. Mengelilingiku, melihatku ke atas dan ke bawah. Memegang wajahku, di putar - putar kan nya wajahku.

"Apa sih?" Kataku menepis tangannya yang berada di wajahku.

"Kau tak apa - apa?" Katanya kemudian.
"Aku baik - baik saja. Kau sih di ajak ke sana gak mau." Kataku.

"Kau tidak di hukum?" Katanya masih menanyaiku.
"Tidak, kan tadi aku sudah bilang aku baik - baik saja bukan." Kataku menyakinkannya.
"Syukurlah." Dia mengelus dada nya dengan lega.

"Ceritakan padaku, apa saja yang kau lakukan di sana?" Katanya lagi, memandangku dengan mimik yang sungguh lucu.

"Besok saja. Besok ya, aku akan menceritakannya padamu. Ok." Jawabku sambil melangkahkan kakiku menuju dome ku dan menghiraukan pertanyaannya. Aku sangat lapar.

"Marion! Ah, kau ini. Besok aku akan menemuimu pagi - pagi." Teriaknya kepadaku. Aku hanya memberikan senyumanku padanya.

Tepat di depanku kini berdiri tetangga sebelahku, Rio. Dia memandangku dengan cemas. Wajah yang sempat aku lihat juga pada Stefanus saat aku memasuki area Dome kami.

"Besok saja, besok, oke." Perkataan yang sama seperti yang aku sampaikan pada Stefanus ku katakan pula pada Rio, saat kulihat dia hendak membuka mulutnya untuk bertanya padaku.
Sungguh, aku bukannya tidak ingin melayani pertanyaan dari teman - temanku ini. Tapi saat ini, aku hanya ingin pulang. Rio hanya diam memandangku.
"Baiklah." Katanya dan berlalu pergi menuju dome nya.

Saat aku membuka pintu, Ibu dan Ayah menghampriku. Memeriksa setiap inci bagian tubuhku. Di putar - putarnya tubuhku sama seperti yang Stefanus lakukan padaku. Kulihat Feloxa duduk di sofa dengan cengirannya yang khas. Aku menghampiri nya dan memeluknya erat. Aku acuhkan Ibu dan Ayahku.

"Marion! Ibu sangat khawatir seharian. Kau pulang bahkan belum berkata sepatah kata pun." Kata ibu merajuk padaku.
Aku tersenyum pada ibu.
"Kau baik - baik saja? Apa yang dia lakukan padamu di sana? Hukuman apa yang kau terima?" Kata ibu dengan pertanyaan memburu kepadaku.

"Seperti yang Ibu lihat. Aku baik - baik saja bukan." Kataku.
"Sang pemimpin Briox itu yang kukira sangat dingin dan kejam ternyata dia sangat baik kok, bu. Dia pun dengan baik hati tidak memberikan hukuman untukku. Sesuai janjinya padaku, dia hanya mengajakku berkeliling kota Briox." Lanjutku.

"Benarkah?" Tanya Ibu lagi. Aku mengangguk.
"Apa dia mengatakan sesuatu padamu, Mari?" Kata Ayah. Aku berpikir sejenak. Sebenarnya aku memang memikirkan kata - kata yang Leanor ucapkan padaku. Namun, tidak mungkin kan aku akan cerita pada Ibu dan Ayahku. Aku hanya menggeleng ke arah Ayah, memastikan bahwa yang dia khawatirkan tidak terjadi padaku.
"Syukurlah, bahwa kau baik - baik saja, Marion." Kata Ayah lagi dan memelukku.

"Aku lapar bu." Kataku memecah kecangungan ini. Tapi memang sebenarnya aku sangat lapar. Aku baru sadar bahwa di Briox aku tidak di tawari makanan.

"Baiklah, ibu akan menyiapkan makanan untukmu." Ibu melangkah menuju dapur dan Ayah memasuki ruangan kerjanya.

"Feloxa, kapan kau kembali? Dan siapa yang mengantarmu." Kataku padanya.
"Aku kembali sebelum matahari tenggelam. Aku  berniat pulang bersamamu, tapi salah satu penjaga di sana bilang, bahwa tuan Leanor akan mengajak kau jalan - jalan dulu dan menyuruhku untuk pulang ke Zena tanpa dirimu. Jadi aku meminta bantuan temanku untuk mrngantarkan aku pulang ke sini." Jawabnya.
"Dia sangat baik bukan?" Aku mengangguk dan tersenyum.

Aku menghabiskan makan malam ku yang telat sendirian. Membersihkan badanku dan langsung memasuki kamarku. Aku merasa sangat mengantuk. Padahal aku masih penasaran dengan apa yang Leanor katakan padaku. Biasanya kalo aku penasaran, aku akan menguliknya sampai aku benar - benar puas akan jawabannya. Tapi ingin menghubunginya saja aku bingung bagaimana. Huh, sungguh menyebalkan.

'Aku menyukaimu' aku mengulang kata - kata Leanor dengan bibirku sendiri. Ada perasaan aneh yang tercipta di dada. Padahal ini bukan kali pertama ada pria yang berkata bahwa dia menyukaiku. Namun saat dia yang mengatakannya, ada perasaan aneh yang menyeruak di dada. Aku langsung menyadarkan diriku, pria macam apa yang sudah dengan berani bilang bahwa dia menyukainya. Dia bukan sembarangan pria, marion, kataku dalam hati.
Mataku semakin mengantuk dan tak terasa aku lansung terlelap ke alam mimpi.

Di sana, aku pun bertemu dengannya.
Pria yang dingin dan gagah. Memandangku dengan senyuman indahnya. Melambaikan tangannya padaku, menyuruhku untuk mendekatinya.
Saat aku melangkahkan kakiku semakin dekat dengannya, tiba - tiba udara berubah menjadi begitu dingin. Kabut tebal mulai menyelimuti. Aku gugup dan berteriak memanggil namanya. Namun yang ku lihat hanya pemandangan yang begitu putih tertutup kabut. Aku berlari, berlari semakin jauh. Jalan ini terasa begitu panjang tak berujung. Aku berlari sambil meneriakkan namanya berulang kali.

'Siapapun..siapapun..tolong aku.' Kataku berteriak dalam mimpi.
Sampai sebuah lengan hangat menyentuhku.
Aku terperanjat dan terbangun.

"Feloxa." Aku lsg memeluknya. Tubuhku berkeringat dingin. Dadaku masih terasa begitu berat.
"Syukurlah, itu hanya mimpi." Kataku.
Feloxa memandangiku dengan cemas.

"Kau tak apa - apa?" Katanya. Aku mengangguk.
"Ya, aku hanya bermimpi buruk." Kataku.
"Tidurlah lagi, nona Marion." Katanya.
Aku pun merebahkan badanku kembali. Menata ulang nafasku dan kembali terlelap. Feloxa mengusap - usap pelan rambutku.
Aku semakin terlelap. Dan syukurlah mimpi itu tak datang lagi.
Aku tidur dengan damai.






New Life in The AresWhere stories live. Discover now