Bab. 17--

8 1 1
                                    


Aku bangun dengan seluruh badan yang terasa remuk. Kepalaku sedikit pusing dan badanku terasa hangat.

Aku langkahkan kaki ku menuju dapur. Mengambil segelas air dan meneguknya habis tanpa sisa. Ku arahkan pandanganku, tak ada siapa pun di sini.  Aku berjalan menuju sofa panjang dan merebahkan diriku di sana. Ini adalah sakit pertamaku di Ares.

Pintu depan terbuka. Seseorang mmenghampiriku. Dia mengoyang - goyangkan tubuhku.

"Hei..hei..bangun Marion." perlahan aku membuka mataku.
"Apa?" kataku. Ternyata Stefanus yang datang.
"Kau berhutang cerita padaku hari ini. Ayo, ceritakan perjalananmu kemarin. Aku mengelung tubuhku dengan malas.
"Nanti saja, aku sedang tidak enak badan." Kataku dan kembali memejamkan mataku yang berat.
"Kau sakit?" tanyanya lantas memegang keningku.
"Kau demam, Marion. Akan aku panggilkan Ibu mu, oke." Stefanus keluar dengan tergesa. Tak lama dia kembali bersama Ibuku di sampingnya.

"Kau demam, sayang?" kata Ibu panik. memeriksa suhu ku dengan tangannya. Ibu berlalu ke ruangan kerja Ayah dan kembali dengan membawa sekotak peralatan p3k. Ibu mengambil sejenis plester kecil dan menempelkannya di dahiku. Lantas memberikan sebutir pil berwarna putih kepadaku.

"Minumlah. Ibu akan memanggil Ayahmu, agar dia menyuntikkan sesuatu kepadamu." Katanya, lalu masuk kembali ke ruangan Ayah dan menghubungi Ayah lewat alat komunikasi yang berada di sana. Stefanus  memandangiku dengan cemas, dia duduk di sampingku.

"Ah, sial! padahal aku sudah sepenasaran ini, kau tahu."gerutu nya sambil memandangku. Aku hanya tersenyum padanya.
"Setelah kau sehat, janji kau akan bercerita padaku, ok. Semuanya!." katanya lagi. Aku hanya mengangguk. Ibu kembali menuju tempatku dan Stefanus setelah menghubungi Ayah.

"Ayah sedang sedikit sibuk. Dia akan kesini secepatnya dan mengobati mu. Sekarang istirahatlah. Kau pulanglah, Stefan." Kata ibu.  Stefan megangguk dan berlalu kembali pulang kerumahnya. Aku kembali masuk ke dalam kamarku dan merebahkan badanku kembali di sana. Obat yang ibu berikan membuatku mengantuk.

Aku bermimpi. Aku berada di suatu padang rumput hijau yang luas. Tak ada siapapun di sini. Udara terasa begitu sejuk. Aku berjalan menyusuri jalan setapak yang ada di sana. Padang rumput ini membawa aku berjalan menuju bukit yang dipenuhi oleh bunga matahari yang menjulang tinggi, semua terlihat berwarna kuning. Aku terkagum dengan pemandangan ini. Di ujung jalan setapak ini ku lihat sebuah pohon tua yang begitu besar. Dibawahnya tampak sebuah gazebo kecil dengan hiasan mawar yang juga berwarna kuning di sekelilingnya. Ku langkahkan kaki ku kesana. Tiba - tiba langkahku terhenti. Di ujung sana tampak seorang pria tinggi, sedikit gondrong dan bermata biru sedang memandang  ke arahku.

"Leanor." Kataku bertanya sendiri. Aku menajamkan mataku agar dapat melihat jelas sosok yang berada di gubuk kecil itu. Aku langkahkan kakiku semakin cepat hingga sekarang terlihat jelas siapa pria yang saat ini sedang tersenyum ke kepadaku.

"Kau, mengapa kau ada di sini, di mimpiku?" Kataku padanya.
"Kau sakit, aku hanya ingin melihatmu." Katanya. Di tersenyum manis. Aku langkahkan kaki ku semakin dekat dengannya. Duduk di bangku kecil yang tersedia di gazebo indah ini.

"Kau tak bisa begitu saja masuk se enaknya ke mimpi orang." Kata ku berpura-pura kesal. Dia hanya terkekeh. Dia tak memakai jubahnya di sini. Sehingga badannya yang tegap semakin terlihat sempurna. Dia layaknya manusia  sepertiku.

"Kau baik - baik saja." Katanya lembut.
"Ya, aku baik - baik saja." Aku mengangguk.
"Maaf karna memaksamu ketempatku kau jadi sakit." Katanya lagi, sedikit raut cemas di sana.
"Aku tidak apa - apa, percayalah. Hanya sedikit demam. Mungkin mau flu." Kataku menyakinkannya. Leanor menatap lurus ke langit biru.

"Dengan apa kau bisa masuk ke mimpiku?" Tanyaku penasaran. 
"Melalui sebuah portal." Jawabnya. Aku tak mengerti.
"Hanya datang melalui mimpi aku bisa melihatmu tanpa takut kau akan merasa kedinginan dengan hadirnya diriku." Jelasnya.
"Maaf aku sudah membuat sakit, Marion." Katanya lagi dan memandangku lekat.
Saat itu, kulihat tubuhnya menjadi kasat mata. Leanor seakan tembus pandang.

"Hei, ada apa denganmu?" Kataku panik.
"Tidak apa - apa. Kau harus segera bangun. Semua mengkhawatirkanmu." Katanya, kemudian dia memegang tanganku. Hangat, berbeda dengan saat dia memegang tanganku  kemarin.
"Tubuhmu, seperti sebuah hologram." Aku bertambah panik. Dia hanya tersenyum.
"Akan senang sekali jika bisa bertemu denganmu dengan keadaan yang normal. Bangunlah, kita akan bertemu lagi, Marion." Tiba - tiba dia menghilang begitu saja.
Suasana berubah menjadi suram. Aku merasa tubuhku terguncang - guncang dengan keras. Dan aku merasa baru saja terjun ke jurang yang begitu dalam. Aku membuka mataku.
Terlihat ibu dan ayah membangunkanku dari tidur. Ya, ini hanya mimpi.

"Kenapa kau sulit sekali di bangunkan sih." Gerutu ibu ku. Aku tersenyum kikuk.
"Ayah akan menyuntikkanmu  obat. Jika kau tidak membaik hari ini beritahu Ayah. Di tempat kita ada seorang dokter ahli. Biar dia yang lanjut mengobatimu." Kata ayah dan kemudian menyuntikanku sejenis cairan berwarna biru kehijauan.

"Apa tidurku terlihat aneh?" Tanyaku pada mereka.
"Tidak. Kau hanya sulit di bangunkan." Kata ibu. Dia mengusap kepalaku.
"Syukurlah." Kataku.
"Kau tidurlah lagi, nanti setelah kau bangun ayah harap kau sudah membaik." Kata Ayah dan bersiap keluar dari kamarku.

"Ayah, apa tuan Leanor mencariku lagi?" Kataku dan ayah langsung menghentikan langkahnya. Ibu dan ayah saling pandang.

"Tidak dan dia tidak akan lagi menemuimu!" Ayah pergi setelah mengatakan itu. Ibu hanya tersenyum.

Aku terdiam memandangi mereka berlalu.

New Life in The AresWhere stories live. Discover now