BAB. 4 -- Kehidupan baru Marion

15 1 0
                                    


Aku merasakan tubuhku melayang. Bebas, seperti tak ada berat dalam tubuhku, ringan dan lepas. Rasanya aku masih bisa merasakan himpitan erat saat sekumpulan awan hitam pekat datang ke arahku. Menekan, sesak, seakan meremukan seluruh tubuhku. Perasaan takut yang aku rasa benar-benar tak terkendali. Yang aku bayangkan saat itu hanyalah, bahwa aku telah mati.

Aku belum bisa membuka kedua mataku. Rasanya berat. Sampai ku rasakan ada satu kekuatan yang menguncang tubuhku. Aku terkesiap, lalu perlahan-lahan dapat membuka mataku yang tertutup rapat. Aku memicingkan mataku. Sinar terang yang tiba-tiba tertangkap retinaku membuat mataku perih. Ku paksa membuka mata perlahan-lahan. Dan hal pertama yang kulihat membuat mulutku ternganga. Aku berada di depan terjangan air terjun. Gemericik airnya menerpa wajahku. Aku melihat sekeliling. "Sungguh sangat indah" kataku.

Ku ulurkan tanganku, menyentuh sekumpulan air yang tampak jernih. Kubasuh wajahku, kuminum air itu untuk menyegarkan tenggorokanku yang terasa kering. Sungguh nikmat.

Kembali ku edarkan pandanganku. Hal pertama ku cari adalah sosok Ibu dan Ayah. Kulangkahkan kaki, menapaki sederetan rumput hijau yang tampak bagai permadani. Tak ada Ibu dan Ayahku disini. Aku mencoba memanggil mereka, berharap mereka sedang bersembunyi untuk memberiku kejutan. Namun tak ada satu manusiapun di tempat ini, kecuali aku.

Tempat ini sungguh sangat indah. Langit tampak sangat biru, seakan-akan  awan sengaja di hilangkan agar tak menghalangi keindahannya. Rumput hijau tumbuh dengan sangat rapih. Kicauan burung-burung terdengar begitu merdu, bersautan dari pohon satu ke pohon lainnya. Pohon-pohon pun tumbuh begitu tingginya. Berjejer rapi seperti serdadu yang sedang berbaris. Tempat ini begitu harum semerbak. Harum yang disebarkan oleh berbagai macam bunga yang mengelilingi tempat ini. Apakah ini surga? Apakah aku sudah mati? Berbagai macam pertanyaan berkelebat di otakku.

Ku lanjutkan langkah kaki ku. Terus jalan menyusuri, namun tempat ini seakan-akan tak berujung. Didepanku kini berubah menjadi hamparan gurun pasir yang sangat luas dan tandus. Sangat begitu panas, hingga peluh membasahi tubuhku. Kupaksa diriku untuk terus berjalan.
Langit tiba-tiba berubah menjadi sangat gelap. Namun bintang-bintang diatasnya begitu sangat indah. Pemandangan apa lagi yang tercipta disini. Udara pun berubah menjadi begitu dinginnya. Salju turun tiba-tiba. Jatuh perlahan dan kemudian berubah lebat menjadi badai salju yang menyeramkan. Disini begitu sangat dingin, aku membeku, seluruh tulangku serasa remuk. Dan tak ada tempat untukku disini bahkan untuk hanya sekedar berteduh dan mencari kehangatan. Oh, Tuhan, apa yang terjadi sebenarnya?

Dalam keputusasaaku, samar-samar aku mendengar seperi suara orang memanggil.
"Mari, Mariii, Marion!." Mereka menyebutkan namaku. Terdengar pelan lalu perlahan seperti berteriak. Menggema ditelingaku. Dan badanku seakan berguncang.

"MARION, BANGUN!." Aku merasa tubuhku di hentakkan dengan sangat keras. Dilemparkan dari atas langit dan di hempaskan begitu saja ke dasar yang tak berujung. Lalu seseorang mencengkram wajahku. Ditepak-tepaknya wajahku beberapa kali.
"Mariii, pliiis wake up!." itu suara Ibu. Kupaksa membuka mataku yang kembali begitu beratnya. Nafasku terasa tertahan, kemudian aku dapat melihat seberkas cahaya. Dalam ketidakberdayaan aku berusaha memanggil-manggil Ibuku. Saat sebuah pelukan merengkuh tubuhku,    aku terbangun.

"Ibu". Kata pertama yang bisa ku ucap saat pertama kali diriku tersadar.
"Marion..oh, syukurlah. Ibu hampir tak bisa bernafas. Ibu takut kehilanganmu, Mari." Ibu memelukku dengan sangat erat.

"Dimana ini, Bu?" tanyaku saat kulihat sekeliling sangat berbeda dengan hal aneh yang baru saja terjadi padaku.
"Apa yang terjadi padaku. Tadi aku tidak berada disini." aku menceritakan apa yang terjadi denganku sebelum tiba-tiba terdengar suara Ibu memanggilku.

"Kau mengalami 'Vivid Dream', Nak. Dimana mimpi terasa begitu nyata. Kau baru saja mengalami hal yang sangat menakutkan, hingga membuat dirimu stress. Dalam hibernasi mu kau mengalami mimpi aneh itu." kata Ayah.
"Harusnya kau sudah terbangun kemarin, Sayang, seperti Ibu mu. Namun kondisi mu tidak stabil. Bahkan hari ini seharian tubuhmu berguncang setiap jam. Ibu mu sudah sangat begitu khawatir. Ayah bahkan menyuntikkan obat penenang untukmu. Namun sepertinya hanya suara Ibu mu yang bisa mengembalikanmu ya. Ayah tenang sekarang. Kondisi mu pun sudah mulai stabil. Syukurlah, Marion. Terima kasih sudah mendengar suara Ibu mu dan kembali pada kami." Ayah memmelukku dengan hangat.

Ku pandang sekali lagi wajah Ibu ku, lalu kemudian ku alihkan memandang wajah Ayah ku. Kusentuh wajah mereka berdua, nyata. Syukurlah aku masih hidup.

"Ayah, apakah ini Ares?" tanyaku.
"Ya, Sayang. Kau sudah sampai di Planet Ares. Aku pandangi sekelilingku. Suasana tempat ini begitu putih. Aku seperti berada di sebuah kamar yang luas dengan kapsul Heler sebagai tempat tidurku. Tak ada apa-apa lagi di ruangan ini. Namun kulihat ada satu jendela kecil di atas kepalaku. Aku bangun dari tempatku berbaring. Berjalan menuju jendela kecil dan sedikit berjinjit disana.
"Astaga, ini sangat..sangat begitu indah." pekikku.
"Apakah ini nyata, Ayah?" tambahku.
"Tentu saja ini nyata, Mari." Ayah dan Ibu menghampiriku dan bersama-sama menikmati Planet Ares yang begitu sangat indah. Meskipun tak bisa dibandingkan dengan keindahan Bumi. Namun untuk sebuah Planet di Luar Angkasa selain Bumi, ini benar-benar indah. Aku kira pemandangan pertama yang akan aku lihat adalah gunung-gunung terjal yang tampak seperti gunung mati. Namun yang tampak pertama kali adalah hamparan rumput berwarna kuning, merah dan hijau dengan berbagai bunga warna-warni yang menghiasi sisi-sisi nya. Indah. Dan tiba-tiba sesuatu benda menabrak jendela tempat aku berdiri.

Braaaaak!
Suara itu begitu kencang. Aku sampai terjungkal kebelakang. Lalu kembali menghampiri lagi jendela itu. Saat mata ku tertuju ke suatu kolam kecil dekat bunga-bunga bermekaran, tampak sejenis hewan yang begitu aneh. Aku sampai terkejut.

"Itu Orion, sejenis burung kalo di Bumi. Bentuk mereka sangat aneh bukan. Tampak 2 tanduk di atas kepalanya. Badannya begitu panjang, dengan kaki yang berjumlah 4. Mereka ada hewan pemburu. Mangsa mereka adalah Obigus, sejenis katak berkepala dua." aku sampai ternganga mendengar penjelasan ayahku. Orion, burung itu sangat besar. Mungkin setinggi pinggangku.
"Bolehkah aku melihatnya dari dekat?" tanyaku.
"Tentu saja boleh, namun tidak hari ini." kata Ayah.
"Mengapa?". kataku penasaran. Padahal aku sudah sangat ingin melangkahkan kakiku keluar sana.
"Kau masih harus beradaptasi disini, Mari. Sebentar saja, bersabarlah. Nanti kau bebas menjelajahi Planet ini sesuka hatimu."
"Namun ingat, ada batasan yang harus kau hindari. Kau masih ingat penjelasan Ayah tentang Planet ini bukan? Bahwa ada sekat pemisah antara Briox dan Zena?" aku mengangguk.
"Apakah aku dapat melihat kota Briox?" tanyaku.
"Tentu saja bisa, kota itu tak kalah indah dengan Zena. Namun kau hanya dapat melihatnya dari kejauhan saja. Ada batasan bahkan sebelum kau menuju kota itu. Kau bisa berkendara dengan Zin nanti." kata Ayah.
"Apalagi itu, Zin?" dahiku berkerut. Ayahku tertawa.
"Anggap saja itu sebuah mobil seperti di Bumi untuk kamu bisa berkendara disini. Zin sejenis kuda berkepala seperti monyet. Dan mereka bisa berbicara seperti kau." Ayah mencubit hidung mancungku gemas.
"Whaaaat!" kepalaku berdenyut pening. Benar saja segala sesuatu di Planet ini tampak begitu aneh dan janggal. Namun mau tak mau aku harus menerima semua nya. Karna mau tak mau pula, mereka adalah bagian dari kehidupan baru ku disini.
Aku kembali berpaling menatapi jendela yang entah bagaimana sudah tampak begitu gelap.

New Life in The AresWhere stories live. Discover now