Bab. 9 --

10 1 1
                                    

Bissmillah, hari ini dari pagi sampai maghrib bener-bener keteteran sama kerjaan per-ovenan. Jam segini baru bisa lanjut nulis. Semoga bisa keburu sebelum jam 10 nanti.
Aamiin.
Makasih ya, yang sudah mau baca ceritaku :*

***

Kabut perlahan memudar bersamaan dengan menghilangnya sosok pria misterius yang datang ke wilayah Dome kami.
Rasa penasaran menyelimuti otakku. Kedatangannya pun membuat hawa Zena kami yang hangat di pagi hari, menjadi dingin sedingin es. Kabut tebal pun menyelimuti sekeliling Dome kami.
Jangan-jangan pria itu sudah mengawasi kami sejak semalam. Karna malam itu pun udara sekitar kamarku terasa dingin menusuk kulit, meskipun aku sudah mengatur tombol penghangat sampai level full, tetap saja hawa dingin masih menusuk sampai ke dalam bagian tubuhku.

Di sela-sela bebatuan berbentuk kristal di samping Dome ku, aku melihat seorang pria bersembunyi. Itu Rio, tetangga yang sempat Ibu ceritakan kisah sedihnya.

"Hei, kau sedang apa?" kataku berbisik  tiba-tiba setelah mengendap-endap menghampirinya. Dia terperanjat dan sedikit terjungkal kebelakang. Dia memang tidak melihatku datang, karna saat itu dia pun tengah fokus mengintip sesosok pria mierius yang hilang ditelan kabut.
"Oh, maaf..maaf, aku tidak sengaja membuatmu kaget." kataku seraya mengatupkan kedua telapak tanganku. Wajahnya kembali berubah dingin dan acuh tak acuh.
"Kita belum sempat berkenalan kemarin. Aku Marion." kataku sambil mengulurkan tangan. Dia hanya diam menatapku.

"Dia gak bisa ngomong, percuma kamu bicara panjang lebar." Stefan yang entah sejak kapan ada di sini datang menghampiri kami. Rio memberikan tatapan tajam padanya.
"Aku kemarin udah coba kenalan sama dia duluan dan reaksi nya sama nih, kaya gini." Stefan menunjuk Rio dengan telunjuknya disertai tatapan tak suka kepadanya.

"Kamu beneran gak bisa ngomong?" kataku kepo. Rio kembali menatapku. Dia menggelengkan kepalanya.
"Lah, terus kenapa kamu gak mau balas sapaan aku sih?" lanjutku.
"Males!" aku terngangga. Cuma kalimat sinis itu yang keluar dari mulutnya. Bener-bener aneh ini cowo, kataku dalam hati.
"Stefan, ikut kedalam sebentar deh. Ada yang mau aku tunjukin sama kamu." kataku pada Stefan sambil mengandeng tangannya menuju Dome ku. Aku berbalik dan menatap kearah Rio yang ternyata masih memandangi kami.
"Kamu Rio, kan? Aku tahu nama kamu dari Ibu ku. Dan aku sudah tahu semua hal mengenai kamu. Kita di sini sama-sama penghuni baru di tempat asing di Luar Angkasa yang luas. Aku harap kita nanti bisa berteman, ok. Aku yakin kamu gak akan mau sendirian di tempat asing ini bukan?" kataku dan aku langsung masuk ke dalam bersama Stefan.

Sesampainya di dalam aku mencari-cari apa yang ingin aku tunjukkan kepada Stefan.
"Lihat! aku punya hewan yang dapat berbicara. Dia sangat imuuut, Stefan." kataku sambil menunjuk ke arah Feloxa yang masih terlelap di sudut alas tidurnya.
"Aku sudah melihatnya." kata nya acuh sambil melangkah ke arah sofa dan menjatuhkan dirinya di sana.
"Hah, kapan? aku saja baru melihatnya kemarin malam. Meskipun kau sudah tahu duluan, baiknya kan kau berpura-pura tidak tahu." kataku kesal. Stefan malah tertawa terbahak-bahak. Ibu keluar dari kamar di susul Ayah di belakangnya.

"Wah, ada Stefan. Ada apa ini pagi-pagi kalian sudah bersama?" tanya Ibu lalu pergi ke arah dapur.
"Aku melihat pria misterius, Ayah. Dia mengendarai sejenis piring terbang. Ada manusia kerdil juga di sebelahnya. Dia mengawasi Dome kita." Ibu dan Ayah berpandangan. Menatap keheranan ke arahku.
"Aku serius!" Kataku lagi saat melihat ke tidak percayaan dari orangtua ku.

"Hei, Stefan. Kau juga melihatnya kan?" Kataku menatapnya.
"Hah, aku, tidak, aku tidak melihat apa-apa." Muka nya tidak sedang bercanda.
"Lalu kenapa kau tiba-tiba bisa ada di Dome ku?" Tanyaku.
"Waktu aku keluar, aku langsung melihat kamu lagi ngobrol sama anak tetangga itu. Ya aku samperin lah. Aku juga bingung kamu lagi ngomongin apa." Katanya.
"Kamu serius?" Tanyaku. Stefan mengangguk yakin.

"Ayah, aku serius. Kalau Ayah tidak percaya, Ayah bisa tanya sama Rio. Dia bersembunyi di balik batu kristal saat pria itu menatap ke arah Dome kita. Dia menatapku, Ayah." Kataku menyakinkan mereka. Ibu dan Ayah kembali berpandangan. Namun mereka diam, tak ada sepatah kata pun terucap. Aku menautkan kedua alisku. Reaksiku yang alami saat melihat ke anehan di sekitarku.

"Mari, hari ini kau ingin jalan-jalan lagi?" Kata Stefan tiba-tiba memecah ke canggungan karna pembahasan ku mengenai sosok pria misterius pagi tadi.
"Tentu saja!" Aku menyungingkan senyumku lebar.
"Kau ikut bersamaku  bukan?" Tanyaku.
"Tidak, maaf aku tidak bisa. Aku sedang malas." Katanya sambil menguap lebar.
"Ah, kau ini. Lalu aku sendiri? Ayolaaah ikut, ok." Kataku merayunya. Stefan kembali menguap dan menggelengkan kepalanya.

"Mari, apa kau pergi ke tempat 'terlarang'." Tanya Ayah dan menekankan kalimat terlarang kepadaku.
"Tidak. Kemarin kami tidak pergi terlalu jauh dari sini kok. Meskipun memang aku sedikit penasaran. Namun aku mematuhi perintahmu, Ayah. Tanya saja Stefan, dia yang mengendari Flexy, kau sendiri melihatnya kan, Ayah." Kataku menyakinkan.

"Baiklah, aku percaya padamu, Mari." Kata Ayah. Untung saja saat itu suara Ibu memanggil menyuruh kami untuk sarapan terdengar, sehingga Ayah tak jadi melanjutkan ceramahnya. Pagi ini, Stefan ikut sarapan di rumah kami.

"Waw, sosis." Pekiknya.
"Om Danu, bisakah kau membuat sosis yang tampak nyata untuk bisa ku makan disini. Aku sangat suka sosis, tapi ini tidak nyata." Katanya sambil membolak-balik kan makanan berbentuk kotak di hadapannya.
"Oke, om dan papamu akan berusaha mewujudkannya." Kata Ayah di sambut senyuman lebar milik Stefan.

Aku terdiam. Satu sisi aku memang sedikit takut. Kemarin aku dan Stefan memang sempat melanggar sedikit aturan dari Ayahku dan Ayahnya Stefan. Flexy berjalan-jalan terlalu jauh sampai sedikit melewati batas terlarang. Bahkan Stefan sempat menembakkan senjata untuk menghalau hewan aneh disana. Stefan melirikku. Mungkin dia menyadari ke galauanku.
Aku menghabiskan makananku dalam diam.
Aku membohongi Ayahku.

New Life in The AresTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang