Bab. 8 -- Tatapan Mata 1

8 1 1
                                    

Aku dan Stefan menyerah untuk hari ini. Semakin medekati wilayah Briox tak kupungkiri, suasananya memang semakin mencekam. Berbagai jenis hewan aneh pun banyak berkeliaran di sana. Bahkan Stefan sempat menembakkan sejenis cairan yang keluar dari celah bawah Flexy ini untuk menghalang sejenis ular berkepala tiga, itu jenis ular yang sangat besar. Dan saat langit tiba-tiba berubah abu-abu, Stefan bergegas memutar kemudi Flexy untuk segera kembali ke wilayah Zena. Untung saja kami bisa kembali sebelum langit menjadi sangat gelap.

"Apa kau besok mau menemaniku kesana lagi, Stefan?" tanyakus saat dia hendak turun dari kursi pengemudi. Dia mendenggus.
"Hhhhh.. lihat besok saja ya, Mari. Kalau aku mood aku akan menemanimu lagi kesana." katanya seraya berlari ke arah Dome nya. Lalu dia tiba-tiba berbalik dan bertanya padaku.
"Apas ih yang membuatmu penasaran?" katanya. Aku menyipitkan mataku serti berpikir.
"Entahlah, aku hanya ingin tau lebih banyak saja." kataku akhirnya sambil kulajukan Flexy dan memarkirkannya di samping Dome ku.

Saat aku keluar dari kendaraan kaca itu, seorang pria tinggi yang usia mungkin sedikit lebih tua dariku, keluar dari pintu di sebelah Dome ku. Tetangga terdekatku ini belum pernah terlihat. Aku bersyukur bahwa masih ada lagi anak yang seusia denganku di tempat ini. Setidaknya bisa jadi teman mengobrol di saat-saat bete.

"Hai." aku menyapanya sambil melambaikan tangan. Pria itu membalas dengan anggukan pelan. 'Pria yang manis' kataku dalam hati saat sebuah senyuman yang tipis namun terlihat cekungan kecil lesung pipit di kedua pipinya. Aku urung berkenalan lebih lanjut karna saat ini dia terlihat sangat begitu fokus memandangi langit malam. Aku masuk ke dalam Dome ku. Aku akan berkunjung ke tempatnya esok hari.

"Halo, Bu." kataku saat aku melangkahkan kakiku ke arah dapur. Ibu terlihat sibuk menyiapkan sesuatu. Aku bawa segelas air menuju sofa di ruang tamu. Aku sempat terpekik dan berteriak saat sesuatu benda, oh, bukan, sejenis hewan berukuran lumayan besar tiba-tiba keluar dari selah sofa tersebut. Untung saja gelas yang kupegang tidak sampai aku jatuhkan. Ibu menghampiriku yang masih tekejut. Lalu dia tertawa.

"Perkenalkan, ini Feloxa, Mari. Dan dia bisa.." belum sempat Ibu melanjutkan kalimatnya, hewan itu tiba-tiba berdiri tegak dan mengucapkan sebuah kalimat "Hai". Oh, Tuhan! hewan besar ini dapat berbicara. Saat ini gelas benar-benar sudah jatuh kelantai dan airnya tumpah semua membasahi lantai dan kaki ku.

"It..itu a..apa, Bu?" Tanyaku langsung berhambur memeluk punggung belakang Ibu ku. Sementara hewan itu berjalan ke dapur dan membawa alat penyedot sejenis vacum cleaner dan membersihkan semua tumpahan air yang membasahi lantai berbahan marmer ini.

Feloxa, hewan berjenis seperti kelinci. Telinga nya terkulai sangat panjang ke bawah, di antara sisi badannya. Gigi depannya terlihat sangat lucu. Berwarna putih bersih dengan sedikit totol kecil berwarna hitam di sekitar mata dan ekornya yang bulat. Mata nya hijau kekuningan, Dan dia bisa berbicara. Sungguh luar biasa, sampai membuatku takjub.

"Feloxa adalah penghuni Planet ini. Sebelum kita disini, dia dan koloni nya sudah berada sangat lama di sini. Saat ada rencana Planet ini akan di jadikan tempat pengganti Bumi, beberapa hewan sejenis Feloxa dengan bulu yang lebih lebat pindah ke kota Briox. Sementara yang berjenis persis sepertinya harus menetap disini karna suhu disini lebih bersahabat dengan mereka. Dan yan lebih menakjubkan, dia bisa beicara dengan bahasa Bumi." kata Ibu menjelaskan. Dan memberikan sebuah mangkuk kepada Feloxa yang berisi makanan kering berbentuk wortel.
"Beberapa di antara mereka masih menempati rumah brbentuk gua disebelah sungai kecil di dekat tebing Giok. Saat ayah bertemu Feloxa, dia pun sangat kaget karna ternyata dia dapat berbicara. Kemudian Ayah menawarkan padanya untuk tinggal bersama kita disini. Dan dia setuju, karna dalam koloni nya, Feloxa sudah tidak memiliki keluarga." Lanjut Ibu sambil mengelus pelan telinga terkulai kelinci itu. Feloxa duduk dengan tenang sambil memakan makanan yang di berikan tadi oleh Ibu.

Aku mencoba medekatinya. Perlahan ku ulurkan tanganku menyentuh setiap inci tubuhnya. Bulu-bulu nya sangat halus dan hangat.
"Apa kau ingin berteman denganku?" kataku kepadanya.
"Tentu." dia mengangguk dan menyentuh lembut pipiku.

"Oia, Bu. Dimana dia tidur?" tanyaku.
"Disana." jawab Ibu sambil menunjuk sebuah alas berbahan bulu di sudut dekat dengan kamarku.

"Ibu, saat ku pulang tadi, aku melihat tetangga sebelah kita keluar. Seorang pria. Kukira mungkin dia seusiaku atau mungkin lebih tua sedikit dariku." kataku.

"Ah, dia Rio. Orangtua nya juga salah satu ilmuwan yang membantu misi antariksa ini. Salah satu teman Ayahmu juga. Namun.." ibu menghembuskan nasfasnya berat.
"Namun kenapa, bu?" tanyaku penasaran.
"Orangtua nya dan juga adik satu-satu nya terlambat memasuki Heler saat bencana dahsyat tiba-tiba menguncang Bumi. Rio yang terlebih dahulu masuk selamat dan sampai disini sendirian. Dia sangat pendiam sejak pertama datang. Ibu tahu dia pasti sangat bersedih. Kau berkunjunglah kesana esok hari, Mari. Ajak dia mengobrol." kata ibu.

"Tentu, Ibu. Aku memang sudah berniat mengunjungi nya esok hari. Akan aku ajak Stefan bersamaku. Aku senang memiliki banyak teman sebaya disini."kataku. Aku menguap. Rasanya mengantuk sekali.
"Aku tidur dulu, bu." setelah berpamitan aku lekas menuju kamarku dan langsung merebahkan diriku di dalam Heler. Tak lupa aku menyetel tombol penghangat di sebelah lengan kiri baju ku, karna cuaca Ares ketika malam begitu dingin. Tak lama aku langsung terlelap.

***

Aku terbangun karna mendengar suara bergemuruh yang  sangat berisik. Suara nya bergema beberapa kali. Lalu terdengar suara seperti ledakan kecil di langit malam. Aku langsung berlari keluar. Di sofa ruang tamu aku melihat Ayah tengah sibuk mengetik sesuatu dengan alat yang mirip dengan laptop. Ayah melihatku saat aku keluar dengan raut wajah gugup.

"Suara apa itu di luar, Ayah?" kataku sedikit gemetar. Beliau tersenyum.
"Kita tinggal di Luar Angkasa kau ingat. Di Planet yang berbeda dengan Bumi. Itu hanya beberapa ledakan meteor kecil yang menabrak cincin yang mengelilingi Ares. Kau tidurlah lagi, jangan khawatir, tidak ada hal yang serius." katanya lagi sambil menuntunku kembali menuju kamar. Kulihat di sudut kamar Feloxa tengah diam memandangku. Aku tersenyum padanya. Aku kembali terlelap dalam kapsul Helerku.

***

Pagi hari terasa masih dingin menusuk. Aku menyetel tombol penghangat lebih tinggi agar tubuhku tidak terlalu kedinginan. Langit sudah sedikit terlihat terang. Perlahan aku membuka pintu Dome ku. Banyak sekali kabut pagi ini. Aku sampai tak dapat melihat sekelilingku. Dan mengapa udara begitu sangat dingin hari ini?

Sekilas aku melihat sekelebat cahaya melintas melewati wilayah Dome kami. Aku menajamkan penglihatanku, memaksa retina ku agar dapat melihat ke arah lebih jauh.

Ya, aku dapat melihatnya. Sesosok pria tinggi, mengenakan baju seperti jubah panjang sedang memandang ke arahku. Dia terlihat seperti melayang. Atau lebih tepatnya dia mengendarai sesuatu seperti piring terbang. Disebelahnya terlihat manusia kerdil yang memegang sejenis kemudi berbentuk bulat.
Aku mencoba bersikap ramah dengan melambaikan tanganku ke atas, seperti berkata 'Hai'. Namun diuar dugaanku, pria itu justru menatapku tajam. Tatapan seperti ingin memangsa makhluk di hadapannya. Aku bergidik. Tak ku pungkiri aku sangat takut. Namun rasa penasaranku mengalahkan segalanya.
Saat aku coba melangkahkan kaki ku agar lebih dekat dengan nya. Pria itu memberikan aba-aba kepada manusia kerdil di sebelahnya. Tanpa banyak basa-basi dia terbang hilang melesat secepat kilat. Perlahan kabut menghilang dan pandanganku kembali normal. Aku langsung arahankan mataku ke segala penjuru. Pria misterius itu tidak ada dimanapun di tempat ini.
Sampai detik ini pun aku masih dapat mengingat dengan jelas tatapan mata tajam yang dia arahkan padaku. Begitu tajam...

New Life in The AresWhere stories live. Discover now