Bab. 7 -- Teman baru

5 1 1
                                    


Pagi ini aku bangun dengan mata yang terlihat sangat sembab. Efek kemarin aku menangis terlalu lama.
Jam menunjukkan pukul 1 waktu Ares. Yang artinya di sini sudah hampir pagi. Efek jingga samar-samar pun mulai menghiasi langit. Namun tak akan lama, karna langsung tertelan dengan luas nya warna biru di langit Ares. Meskipun terlihat sangat cerah, namun suhu udara di sini begitu hangat namun terasa sejuk. Matahari terlihat sangat jauh, berbeda dengan bulan yang terlihat begitu besar dari sini. Planet Venus masih setia menemani Bulan. Planet itu akan menghilang beriringan dengan Bulan dan digantikan Matahari.

"Pagi ini aku tak ingin bersedih lagi." kataku dalam hati.
Kulangkahkan kakiku menuju meja nakas kecil dan menuangkan segelas penuh air dan meminum semuanya tanpa jeda nafas. Tenggorokanku terasa begitu kering. Mataku yang sembab ku kompres dengan kedua telapak tanganku yang sudah ku gosok perlahan untuk menciptakan gesekan agar telapak tanganku berubah hangat.
Aku bergegas menuju kamar mandi untuk sekedar membasuh muka dan mengosok gigi ku. Pasta gigi disini berbentuk seperti pil, yang perlahan jika aku mengunyahnya akan menjadi busa, baru aku bisa menyikat seluruh gigiku.
Di Planet Ares ini sudah di rancang sedemikian rupa agar menyerupai Bumi. Meskipun tidak 100% sama. Bahkan benda-benda di sini pun tidak akan melayang karna memiliki gravitasi yang sama dengan Bumi.

"Kau sudah selesai membersihkan diri?" tanya Ibu dari luar pintu.
"Ayo, lekas keluar dan sarapan, ok." lanjutnya.

Aku bergegas melanjutkan ritualku di pagi hari. Lalu keluar dengan wajah yang sudah lebih baik dari bangun tidur tadi. Kuhampiri meja makan tempat Ayah dan Ibu sudah menunggu dengan senyuman indah nya.

"Apa kau baik-baik saja hari ini?" kata Ibu cemas.
"Tentu saja!" jawabku dengan anggukan menyakinkan. Aku tak ingin mereka berdua khawatir.
"Mataku hanya sedikit lelah, tapi sekarang sudah mendingan kok." lanjutku. Tak perlu banyak basa-basi aku langsung menghabiskan seluruh sarapanku. Sungguh lezat, rasa yang mirip sereal. Andai saja itu tampak nyata sudah pasti akan terlihat lebih lezat.

"Aku ingin berjalan-jalan di Planet Ares hari ini, bolehkah?" tanyaku. Ibu dan Ayah berpandangan.
"Tentu saja boleh. Dengan berjalan-jalan mungkin bisa membuat kau lebih bahagia. Dan kau memang harus mengenal wilayah baru mu bukan." kata Ayah.
"Ayo ikut Ayah keluar sebentar." lanjutnya.

Sesampainya di luar Ayah menunjuk sebuah benda berbentuk bulat, terbuat dari kaca transparan. Didalam nya juga terdapat 2 buah kursi penumpang lengkap dengan setir berbentuk seperti tongkat panjang, mirip dengan tongkat mengemudi yang ada pada permainan bebek-bebekan di danau. Dengan hanya satu roda di bagian tengah, benda itu tampak seperti melayang.

"Benda itu bernama, Flexy." kata Ayah.
"Kau dapat gunakan itu untuk berkeliling Planet ini. Alat ini juga di lengkapi senjata. Meskipun Planet ini tampak tenang dan indah, namun di luar sana banyak hal-hal tidak terduga yang dapat terjadi. Ada berbagai jenis hewan disana yang tidak bersahabat dengan manusia seperti kita." Ayah menjelaskan.

"Hewan apa yang berbahaya disini." Tanyaku.
"Mereka hanya sejenis kadal dan mereka bisa menyemburkan api jika merasa terganggu. Namun tak usah khawatir berlebihan, karna disini juga banyak hewan-hewan yang jinak dan bisa berguna untuk manusia."
"Oh, ya. Kalau kau menemukan sejenis benda kecil berbentuk kotak dan berantena di sisi-sisi nya, abaikan saja, ok." Kata Ayah.
"Benda apa itu?" Kataku.
"Benda itu semacam alat pemancar sinyal milik Kota Briox. Mereka memang berkeliaran di mana-mana, jumlah benda itu lumayan banyak. Jadi jika kau menemukannya, lebih baik kau hindari dan pergi." Aku mengangguk.

"Boleh aku ajak Stefanus?" Tanyaku.
"Tentu boleh," kata Ayah. "
Ijin lah juga dengan om Gian. Beliau sempat khawatir tentang keadaanmu kemarin."

Kendaraan Flexy ini mirip seperti mengendarai kendaraan matic milik Bumi. Aku dengan mudah dapat mengendarainya. Aku arahkan Flexy ke Dome milik Stefanus.
Ku tekan tombol lonceng di sana. Lalu keluar lah dia dengan cengiran lebarnya.

"Aku sudah menunggumu, Marion." Katanya. Aku mengeryitkan dahi.
"Untuk apa menungguku?" Tanyaku.
"Tentu saja, aku tak sabar untuk mengajak mu berjalan-jalan disini. Tunggu sampai aku menunjukkan sesuatu padamu." Kata-kata terakhirnya dia sampaikan sambil sedikit berbisik di telingaku.

Saat aku ingin bertanya di mana papa nya, om Gian beserta tante Reni keluar bersamaan. Mereka tersenyum sangat ramah.

"Bagaimana kabarmu, Marion?" Tanya nya.
"Om sangat khawatir saat tahu kau belum siuman dari masa hibernasimu kemarin." Kata nya lagi.

"Aku sudah baik-baik saja, om. Hanya sedikit shock saja, tapi sekarang aku sudah baik." Jawabku meyakinkan.

"Itu wajar, tante pun mengalami nya, Marion. " tante Reni menimpali. Wanita bermata sipit dan berambut keriting ikal itu membelai punggungku. Dia sangat ramah. Wajahnya sangat mirip dengan Stefanus.

"Apa kalian ingin jalan-jalan bersama?" Aku dan Stefan mengangguk.

"Baik. Hati-hati, ok. Ingat Stefan, apa yang sudah Ayah peringatkan, jangan sampai kau melanggarnya, ok!" Kata Om Gian memperingatkan.

"Ok beres, pap!" Jawab Stefanus.
"Ayo jalan, Mari. Nanti keburu siang. Kau tau kan disini waktu pagi dan siang berlalu sangat cepat. Dan aku tidak mau kita sampai ke dome sudah larut malam, hiiiiiih." Lanjutnya sambil bergidik. Aku hanya memandangnya keheranan.
Setelah berpamitan dengan Om Gian dan Tante Reni, kami berdua pergi meninggalkan komplek kami. Di tempat ini, aku hanya baru berkenalan dengan keluarga Om Gian, karna beberapa Dome lainnya tampak selalu sepi, bahkan seperti tak berpenghuni.

"Boleh aku yang mengendarai Flexy, Mari?" Tanya Stefan.
"Tentu saja boleh. Aku ingin menikmati pemandangan baru ini dengan bebas." Jawabku.

Flexy keluar perlahan, bergerak pelan dan semakin jauh dari Dome kami.
Pemandangan rumput-rumput yang sempat aku lihat di jendela kamarku saat pertama aku sadar di Ares terasa begitu indah. Merah, kuning, hijau. Rumput-rumput itu seperti dengan sengaja di siram dengan cat warna hingga membentuk berbagai warna yang indah. Bunga-bunga kecil tampak menghiasi di sisi-sisi rerumputan itu. Serangga-serangga kecil terbang mengitarinya.

"Stefan, lihat!" Kataku tiba-tiba saat melihat benda kotak yang sempat Ayah ceritakan padaku.
"Kau tahu benda itu?" Katanya.
"Tentu saja. Benda itu kotak-kotak penangkap sinyal milik Briox kan." Jawabku.
"Betul. Dan sialnya aku pernah terkana sengatan listrik dari benda itu." Wajah Stefan berubah kesal.
"Oh, ya? Apa benda itu mengeluarkan semacam aliran listrik saat kau sentuh?" Tanyaku.
"Entahlah, pokoknya waktu aku menemukan benda kotak itu mengitari Dome kami, aku dengan sengaja menyentuhnya. Ternyata benda itu mengeluarkan sengatan seperti listrik. Aku sempat terjungkal saking kagetnya. Untung saja, kata Ayahku itu hanya sengatan kecil dan tidak berbahaya." Jawab Stefan menceritakan kejadian tak mengenakkan tersebut.
"Awas! Kau jangan sampai coba-coba menyentuhnya, ok. Seberapa penasarannya pun jangan sampai kau menyentuhnya." Kata dia memperingatkanku.

Flexy kami berjalan semakin jauh. Pemandangan gunung-gunung terjal yang sempat aku lihat di peta Ares waktu di Bumi, sekarang tampak nyata di hadapanku. Hutan-hutan pun ada disini, meskipun tidak selebat bumi, tapi ini cukup untuk menghasilkan oksigen bagi kami manusia disini.
Aku sempat terkejut saat benda bernama Flexy ini dapat melayang terbang meskipun tidak terlalu terbang jauh.

"Wow!" Kataku takjub. Aku berpegangan di sekitar kaca Flexy saking kagetnya.

"Keren kan?" Kata Stefan.
"Keren, sangat keren!" Jawabku sambil mengedarkan pandanganku ke kanan dan ke kiri.

Tak jauh dari tempat kami melayang, aku dapat melihat sebuah kota yang sangat modern. Berbagai bangunan keren menjulang tinggi. Tempat seperti itu pernah aku lihat di film-film yang menceritakan tentang manusia masa depan. Sungguh keren. Aku sampai mengganga menatapnya.

"Ini adalah tempat yang ingin aku kasih tahu sama kamu, Mari. Keren bukan? Berbeda sekali dengan kota Zena ini." Kata Stefan yang terlihat tak kalah takjub.
"Tapi hanya sebatas ini saja kita dapat melihatnya, Mari. Kau tau kan mereka punya batasan tipis yang tidak dapat di lewati manusia seperti kita." Katanya.

"Bagaimana ya jadinya jika kita melewati pembatas itu?" Tanyaku asal.

"Hmmm, mungkin saja kita bisa melewatinya. Bisa langsung mati maksudnya." Jawabnya asal sambil tertawa terbahak-bahak. Aku langsung menyerangnya dengan tinjuku.

"Tak ada yang tak mungkin bukan, Stefan. Siapa tahu saja suatu saat nanti kita dapat masuk ke dalam kota Briox yang keren itu." Kataku mengkhayal, disambut tatapan mengejek dari mata sipit milik Stefan.

***

New Life in The AresWhere stories live. Discover now