Bab. 11 -- Tatapan Mata 2

10 1 2
                                    


Ayah serius soal hukumannya. Dia melarangku keluar Dome meskipun hanya sekedar menghirup udara pagi. Ku dengar juga Stefan mendapat hukuman yang sama denganku. 

"Ayah benar-benar kecewa padamu, kau tahu?" kata Ayah. Aku hanya bisa mengganguk.
"Sudah Ayah bilang itu sangat berbahaya tapi kau tidak mengerti, hah! Ayah dan Ibu mu sebenarnya sudah curiga sejak pagi tadi, saat kau bilang melihat sosok pria berjubah datang kesini dan memandang ke arah Dome kita. Kau tahu siapa dia?" Kata Ayah melanjutankan.
"Dia Leanor, kau tahu. Pemimpin kota Briox."  aku terkejut. Aku tundukkan kepalaku semakin dalam. Aku bingung harus berkata apa.

"Mengapa kau sampai senekat itu, Mari?" suara lembut Ibu bertanya padaku.

"Aku hanya penasaran Ibu." kataku masih dengan kepala tertunduk pasrah.

"Rasa penasaranmu berdampak buruk pada semua penghuni Zena. Kita ini penghuni baru, untuk bisa tinggal satu Planet dengan mereka saja, Ayah dan semua yang bekerjasama dalam misi ini banyak mengalami masa sulit. Mereka hanya meminta kita jangan sampai melewati batas wilayah mereka. Dan kau se enaknya melanggar. Tak heran semua yang terlibat merasa kesal kepadamu. Bahkan Stefan pun mendapat hukuman yang sama denganmu. Kalian ini benar-benar.." Ayah menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku mengerti dia pasti sangat kecewa.

"Aku akan meminta maaf kepada mereka semua, Ayah." kataku.
"Sudahlah, tak perlu. Kau jalani saja hukuman yang Ayah berikan dan jangan coba-coba bermain ke wilayah yang sudah Ayah larang itu lagi, ok." aku mengangguk dan beranjak menuju kamarku.
Di sudut kamar ku lihat Feloxa yang memandangku dengan iba.

Langit sudah terlihat gelap saat aku memasuki kamarku. Aku rebahkan tubuhku di Heler yang nyaman. Di otakku banyak terlintas kejadian hari ini. Mulai dari pria asing berjubah dan kejadian di gurun Briox.  Apa sih masalahnya, aku kan mengintip saja tidak sampai memasuki wilayah mereka. Sesensitif itu kah?
Leanor..Leanor..dia ternyata pria yang aku lihat di tengah-tengah kabut di pagi hari. Dia sang pemimpin Briox. Pria gagah bermata tajam. Aku malah semakin penasaran tentang sosoknya. Dan juga dengan kota nya yang indah.

"Makan malam dulu, Mari." Ibu masuk ke kamarku dan membuyarkan lamunanku.
"Aku tidak lapar, Bu. Aku mengantuk." Kataku bohong.
"Baiklah. Kalau kau lapar bilang Ibu ya, ibu akan buatkan sesuatu." Kata Ibu. Aku hanya mengangguk.
Tak lama Feloxa masuk ke kamarku. Cukup lama dia memandangiku sesaat setelah menutup pintu.

"Ada apa? Kemarilah." Kataku. Dia duduk bersila di bawah Helerku. Aku mengikutinya. Duduk di depannya.
"Ada apa?" Aku mengulangi pertanyaanku. Memandangnya dengan serius. Sebenernya sungguh aneh bagiku berbicara seperti ini dengan seekor kelinci besar. Namun semua di sini memang tampak aneh bukan.

"Briox, bukan sembarang tempat yang kau bisa kunjungi." Katanya memulai pembicaraan.
"Di sana berbeda dengan tempat mu di sini, Marion. Kita yang berada di sini sangat hangat dan di sana begitu dingin. Semua yang tinggal di sana pun bukan manusia murni seperti mu, meskipun wujud mereka seperti dirimu." Lanjutnya. Aku mengeryit.

"Ah, ya, aku tahu, setengah dari tubuh mereka robot bukan?" Kataku. Feloxa mengangguk.
"Apakah mereka jahat?" tanyaku.
"Sebagian dari mereka memiliki sifat yang jahat dan sebagian lagi dari mereka sangat baik. Termasuk pemimpin Briox yang tadi pagi kau lihat." jelasnya.

"Dia baik? Kau yakin?" tanyaku. Feloxa mengangguk.
"Tidak mungkin! Dia menatapku seakan mau memakanku, kau tahu." Feloxa tertawa, gigi depannya terlihat sungguh lucu.
"Tentu saja dia terlihat seperti itu. Ayahmu saja marah padamu bukan?" aku mengganguk mengiyakan.
"Kau diam-diam saja dulu dirumahmu sampai keadaan mereda kembali." katanya lagi kemudian berdiri untuk meninggalkan kamarku.
"Feloxa." panggilku. Dia menoleh.
"Trimakasih, aku senang kau ada di sini." kataku sungguh-sungguh dan dia tersenyum. Saat dia berjalan telinganya yang terkulai di samping badannya ikut bergoyang.
Aku kembali merebahkan badanku dan mencoba untuk tertidur. Malam ini tidak terasa dingin seperti dua hari lalu.

***

Pagi ini berlalu seperti biasanya. Bedanya aku tidak dapat menikmati udara pagi di luar sana. Aku sama sekali tidak di ijinkan untuk keluar rumah.

Di sebuah ruangan, tempat Ayah menghabiskan hari-hari nya, aku mengintip karna pintunya sedikit terbuka. Kulihat Ayahku sedang berbicara dengan seseorang lewat layar monitor di depannya. Aku tak dapat melihat siapa yang dia hubungi. Ternyata di Dome kami terdapat alat komunikasi. Ku pikir hanya di menara utama saja kita dapat berkomunikasi dengan dunia luar.

Ayah beranjak dari kursi kerjanya. Aku buru-buru menuju sofa dan merebahkan santai badanku. Ayah hanya melirikku sebentar lalu keluar dan ku lihat dia pergi mengendarai Flexy. Dome ini pun terlihat sepi. Tak kulihat Ibu dan Feloxa di sini.

Dasar aku mempunyai rasa penasaran yang tinggi. Di rasa aman diam-diam aku menuju ruang kerja Ayah. Di dalamnya terdapat banyak alat-alat yang aku sendiri tak tahu fungsi dari alat itu apa. Aku mengacuhkan semua yang ada di sini. Aku hanya penasaran dengan area monitor dan monitor itu pun masih menyala. Tujuanku siapa tahu saja aku juga dapat berkomunikasi. Aku ingin sekali menghubungi Stefan dan ingin tahu juga bagaimana keadaanya. Namun yang kulihat justru di luar dugaanku.
Sesosok pria tampan dan bermata tajam tengah memandang lurus ke arah depan layar. Dia sedikit memiringkan kepalanya. Mungkin dia sendiri bingung kenapa bukan Ayah yang berada di depannya. Aku sendiri bingung bagaimana caranya menghindar. Karna saat ini pun aku hanya bisa diam terpaku, memandang wajahnya yang juga tengah memandangku.

***

New Life in The AresDonde viven las historias. Descúbrelo ahora