Bab. 13 --

11 1 1
                                    

Pria itu menatapku dengan tajam. Tubuhku serasa di pindai olehnya dengan mata birunya yang sebiru lautan.
Tak berbeda denganku, ku lirik Stefanus yang hanya bisa tertunduk ketakutan.

"Kalau saja aku tidak mengikuti mu kemarin." bisikku padanya. Dia hanya tersenyum kikuk sambil melirikku. Aku sangat tahu perasaannya saat ini.

"Ehem!" sang pemimpin di balik layar monitor di depanku ini berdehem saat melihat aku dan Stefan hanya terdiam dan tertunduk.

"Katakanlah sesuatu, Mari." kata ibu menghampiriku dan berbisik.

Aku mengangkat wajahku. Menatapnya sekilas. Pria itu masih menatapku tajam. Suasana di depanku ini benar - benar membuatku sangat kacau.

"Hmm..Leanor, ah bukan..hmm..maksudku tuan Leanor. Saya Marion dan juga teman saya Stefanus dengan sungguh - sungguh meminta maaf karna ketidaksengajaan kami telah memasuki wilayah batas kalian." kataku dengan terbata - bata. Aku menyenggol lengan Leanor.
"Katakan sesuatu." kataku berbisik padanya.

"Ya benar tuan. Kami berdua minta maaf." Stefan menunduk kembali. Aku sedikit terkikik melihat tingkahnya, namun aku menahannya. Sungguh saat ketakutan sikapnya sangat berbeda dengan dia yang sedikit konyol.

"Mengapa kau sampai melanggar perjanjian yang sudah di buat oleh ku dan para tetua di belakangmu." sang pemimpin bertanya.
Aku memandangnya sebentar.

"Awalnya memang kami tidak sengaja. Eh, ehmm.. mungkin sedikit sengaja, karna kami memang sengaja melajukan Flexy masuk terlalu jauh kedalam hutan. Tapi, sungguh kami tidak melewati wilayah anda, Tuan." kataku menyakinkannya.

"Lalu yang kedua kali nya?" dia bertanya lagi.
"Untuk yang kedua kali aku memang sengaja. Aku minta maaf." jawabku. Terdengar beberapa orang di belakangku mendesah kecewa.
"Tapi sungguh, yang kedua kali nya pun ak tidak sampai memasuki wilayah batas kalian." kataku lagi. Meskipun aku ingin, kataku dalam hati.

"Apa rencana kalian berdua sebenarnya!" dia bertanya lagi. Kali ini dengan nada sedikit tegas.

"Aku..kami..tidak memiliki rencana apa pun, sungguh." kataku menyakinkannya dengan mengangkat jari membentuk huruf 'V'. Dia memiringkan sedikit kepalanya.

"Lalu untuk apa kalian kesana?" katanya kemudian.
"Awalnya kami sangat penasaran. Lalu perasaanku berubah menjadi takjub." jawabku.
"Mengapa?" tanyanya penuh selidik.
"Awalnya ku pikir kota kalian menyeramkan. Namun saat aku melihatnya dari jauh, itu begitu sangat indah. Sangat begitu modern." jawabku berbinar. Tersenyum, ya aku melihatnya sedikit menyunggingkan senyum. Tak berbeda dengan Duxi, dia juga tersenyum begitu lebar mendengar jawabanku.

"Apa yang kalian katakan pada anak - anak ini sampai mereka berpikir kota kami sangat menyeramkan?" kali ini tuan Leanor bertanya kepada orang - orang tua di belakangku. Ku lihat mereka saling berpandangan.

"Kami hanya berniat berjaga - jaga, Tuan, agar tidak ada yang berani melangkahkan kaki nya kesana." Ayahku yang menjawab pertanyaan sang pemimpin Briox.
"Namun aku sendiri lupa bahwa anak ku satu - satu nya ini adalah anak yang suka akan tantangan dan begitu penasaran akan semua hal yang ingin dia tahu." Ayah melanjutkan sambil melihatku tajam. Aku mengerucutkan bibirku.

"Hmm..baiklah. Kira - kira hukuman apa yang cocok bagi mereka berdua?" tanya nya. Aku dan Stefan saling berpandangan. Saling menelan saliva kami masing - masing.

"Kalian ingin tahu bagaimana kota Briox bukan?" tanyanya padaku dan Stefan. Aku mengangguk namun Stefan hanya terdiam dan menggeleng kencang.

"Ah! Jadi hanya kau saja yang ingin tahu?" aku mengangguk lagi.

"Apa yang kau lakukan." bisik Ibuku sambil mencubit pelan pinggangku.

"Aku mengundangmu untuk ketempatku. Besok!." aku menatapnya tak percaya. Tatapan kaget yang sama pun di tunjukkan pula oleh orang - orang di sekelilingku.

New Life in The AresWhere stories live. Discover now