Bab. 10 --

10 1 1
                                    

Selepas sarapan dan mandi aku bergegas menuju Flexy untuk kembali berkeliling Ares hari ini. Ada satu tempat tujuan yang ingin aku kunjungi. Aku sudah sangat begitu penasaran sejak pertama kali aku berada di sini.

"Ayah, Ibu, aku pergi." kataku.
"Janji kau tidak akan pergi ketempat yang sudah Ayah larang kan, Mari!" kata Ayah tegas.
"Iya..iyaa, aku janji Ayah." kataku berbohong. Justru tempat yang ingin aku kunjungi hari ini adalah ketempat terlarang itu.
'oh, Ayah, maafkan aku' kataku dalam hati.

Setelah pamit aku menjalankan Flexy ku. Karna Stefan berniat tidak ikut, ya terpaksa aku sendiri yang akan berkelana kesana.

"Tunggu! Aku ikut." Tiba-tiba Rio menghentikan laju Flexy ku. Aku berhenti tepat di sampingnya. Ku buka benda berbentuk bulat ini.

"Sungguh? Kau ingin ikut bersamaku?" tanyaku.
"Ya!." tanpa basa-basi dia langsung menaiki Flexy ku. Aku masih memandanginya tak percaya.

"Ayo, lekas. Nanti keburu siang." katanya membuyarkan lamunanku.

"Ah, ya. Baiklah." kataku dan langsung menjalankan Flexy ku.

Cuaca Flexy hari ini sungguh hangat. Langit sangat begitu biru. Hari ini aku memilih melewati jalan menuju utara. Di sini hanya memiliki sedikit penghuni. Mungkin hanya sekitar lima atau enam Dome. Ku lihat ada seekor hewan berbentuk kura-kura yang dapat berjalan. Dia sedang membersihkan halaman salah satu Dome di sana. Saat aku melewatinya dia tersenyum ke arah aku dan Rio.

"Hei, kau melihatnya kan kemarin?" Tanyaku memecah keheningan. Dari awal perjalanan Rio hanya diam mematung. Ngomong apa kek gitu, aku kan bete. Dia memandangiku.

"Aku melihatnya semalam. Ku kira salah satu penghuni di komplek ini. Tapi kulihat dia hanya diam saja berdiri di depan menara. Lalu pagi hari, aku kaget dengan kabut yang begitu tebal menyelimuti Dome kita. Samar-samar aku melihat pria itu masih berada disana. Namun pandangannya tertuju ke arah Dome mu." kata nya panjang lebar.

Bukannya takut aku malah tertawa terbahak-bahak.
"Hei! Kau kenapa?" tanya nya sinis. Aku tersenyum sambil menahan tawaku.

"Ah, ya maaf, ok. Aku hanya kaget, ternyata kau bisa berbicara sangat lancar. Aku hanya heran kenapa kau sangat pendiam, aku hampir percaya bahwa kau memang bisu tahu." kataku sambil melirik dan tersenyum ke arahnya.
"Maaf ya." lanjutku.
"Oh, iya. Mengenai Stefan, jangan kau ambil hati ya. Pertama kali aku kenal dia anaknya memang sudah terlihat sangat tenngil kok. Tapi, percaya deh sama aku, dia anak yang baik." kataku lagi.

"Ya aku tahu. Aku juga minta maaf karna memberikan kesan yang tidak baik sama kalian berdua. Ya, ehm..kau tahu kan?" katanya.

"Bagaimana pun kisahmu di sini, aku turut berduka, Rio. Tapi disini sekarang kita satu keluarga. Jadi aku harap kau tidak perlu bersikap seperti itu lagi, ok." kataku padanya yg di susul dengan anggukan pelan dari kepalanya.

Karna saling mengobrol tak terasa aku sudah sampai ketempat yang aku tuju.
"Nah, sampai." kata ku sambil mematikan mesin Flexy ku. Aku dan Rio memadang ke sekeliling tempat tandus ini. Hanya ada bebatuan besar saja di sini. Tempat ini sedikit menyerupai gurun pasir yang luas. Aku dan Rio turun perlahan dan bersembunyi di bawah bebatuan yang begitu besar.

"Kau lihat, keren bukan?" Kataku menunjuk jauh ke arah depan.  Terlihat samar-samar sebuah kota modern yang sempat aku lihat dengan Stefan kemarin. Tempat yang aku lihat kemarin dengan Stefan terhalang pohon-pohon tinggi. Namun disini aku bisa melihat seluruh kota indah itu. Karna tempat ini berupa gurun tak ada pohon-pohon tinggi yang menghalangi.

"Kau tahu kan ini daerah terlarang?" Katanya khawatir.
"Aku tahu. Aku hanya penasaran, ok. Jangan kau adukan Ayah ku ya, plis." Kataku memohon.

"Kau lihat itu, Rio." Kataku menunjuk lagi ke arah tengah gurun.
"Itu surai tipis yang memisahkan Briox dan Zena. Kira-kira, apa yang akan terjadi ya kalau kita menyentuhnya." Kataku iseng.

"Kau gila! Kalau tempat ini sudah di katakan terlarang, sudah pasti jika kau nekat kau akan ditangkap." Katanya serius. Aku memandang wajah Rio yang tampak sedikit ketakutan. Aku tertawa tertahan.

"Haha, tenang saja aku tak senekat itu, Rio." Kataku. Padahal dalam hati aku berkata bahwa nanti aku akan mencoba mendekati kota itu diam-diam.

"Marion, ayo kita kembali. Lama-lama aku takut berada disini." Kata Rio yang langsung berjalan tergesa ke arah Flexy. Namun, belum sampai Rio menaiki kendaraan itu, sebuah kotak pemancar milik Briox menghadangnya.

"Astaga, apa ini?" Kata Rio dan mundur beberapa langkah dari tempatnya tadi berdiri.
"Jangan kau sentuh!" Kataku sedikit berteriak.
"Kenapa?" Dia bertanya.
"Kau akan terkena setrum. Kata Stefan, kotak itu memiliki sengatan listrik." Rio kembali mundur mendekati ku lagi.

"Oh, astaga, Marion. Aku.menyesal ikut denganmu. Ku kira kau akan berjalan-jalan santai di sini, ternyata kau memiliki misi ya." Katanya.

Benda berbentuk kotak itu masih berada di dekat Flexy kami. Aneh nya makin lama malah semakin banyak benda kotak itu dan hampir mengelilingi kami. Aku dan Rio berubah panik.

"Oh, Tuhan." Pekiknya.
"Bagaimana ini, Mari. Bagaimana kalo kita tertangkap." Katanya lagi. Nada suara nya seperti ini menangis. Dan aku berusaha menahan diri dari ketakutan yang menyelimuti seluruh tubuhku.

"Kau tenang. Kita berjalan pelan-pelan ke arah Flexy, ok." Kataku,  kemudian berjalan pelan menuju arah kendaraan kami. Ingin rasanya aku pergi dari sini.

Ternyata tak hanya benda berbentuk kotak itu saja yang membuat aku dan Rio ketakutan. Didepan kami tiba-tiba saja muncul tiga makhluk kerdil membawa sebuah senjata di setiap tangan kanan nya. Aku bergidik ketakutan.

"Kalian tahu kan ini daerah terlarang!" Kata salah satunya bertanya dengan tegas. Aku dan Rio mengangguk.

"Maafkan kami. Kami hanya penasaran." Jawabku.
"Bolehkah kami pergi dari sini?" Kataku lagi memohon.

"Kalian sudah diberi peringatan dan kalian melanggarnya. Ini adalah wilayah privasi kami. Ada batasan yang tidak boleh kalian masuki." Kata pria kerdil yang sedikit lebih besar dari kedua pria yang lain.

Salah satu pria kerdil itu mengeluarkan benda semacam walkie talkie dari arah belakang. Dan berbicara dengan bahasa yang tidak aku mengerti. Dia mengangguk beberapa kali lalu kemudian manatap kembali ke arah aku dan Rio.

"Tuan kami sudah berbicara dengan pemimpin kalian. Ingat, jangan sampai kami menangkap kalian para manusia bumi berada disini lagi." Kata nya tegas.

Aku dan Rio hanya mengangguk pasrah. Benda-benda kotak itu pergi sedikit menjauh dari kami. Ketiga orang kerdil itu pun berjalan memutar dan menghilang tiba-tiba.
Aku menjalankan Flexy secepat aku bisa. Aku melirik ke arah Rio yang wajahnya tampak sangat ketakutan.

"Maafkan aku." Hanya kata itu yang terucap dari bibirku.

Akhirnya kami sampai di menara pusat. Perasaanku sedikit lebih tenang. Namun saat memasuki Dome kami, orang-orang sudah banyak berkerumun sambil menatap ke arah kami. Ku lihat disana Stefan menatapku dengan raut wajah cemas nya. Om Gian menggeleng-gelengkan kepalanya ke arahku. Semua melihatku dengan tatapan aneh. Saat sampai ke area Dome ku sendiri, di depan pintu sudah terlihat Ayah dengan tatapan wajah tak sukanya. Ibu melihatku dan langsung berbalik masuk ke dalam Dome.
Rio keluar dengan tergesa-gesa. Setelah menyapa kikuk Ayahku dia lari terbirit mamasuki Dome nya.

'Sial!' Kataku dalam hati.
Setelah memarkirkan Flexy ku, aku menghampiri Ayah dengan hati-hati.

"Apa yang sudah kau lakukan, Marion!"
Aku hanya bisa menunduk ketakutan.
"Sudah Ayah peringatkan kau tidak boleh memasuki wilayah terlarang. Dan apa yang kau lakukan!" Tanyanya lagi.

Aku mengangkat kepalaku.
"Maafkan aku , Ayah, sungguh aku hanya penasaran saja. Kota itu sangat indah, aku ingin melihatnya dari dekat." Aku mengucapkan alasanku.

"Tak perduli seberapa penasarannya kau pada tempat itu, saat itu sudah menjadi sangat terlarang untuk di kunjungi, kau tidak boleh mendatanginya, Mari." Kata Ayah.

"Terimalah hukuman yang akan kau dapatkan dari Ayah!" Kata Ayah lagi. Dan aku hanya mengganguk pasrah.

***

New Life in The AresWhere stories live. Discover now